Haru biru dinamika Pilkada DKI Jakarta telah selesai, meninggalkan pelajaran politik dan nilai-nilai bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terkoyak, sekaligus membuka mata bangsa akan rawannya gejolak psikologi massa yang ingin mengganti dasar negara Pancasila. Anomali perilaku kolektif ini terjadi karena faktor globalisasi yang membawa nilai-nilai baru, seperti individualisme, materialisme, budaya Barat dan Timur Tengah, ditambah kepentingan politik domestik dan “kekosongan batin ideologi” yang bercampur menjadi satu dan diramu melalui media sosial.
Sebenarnya saat ini, telah terjadi kegelisahan kolektif, karena kita hidup di era yang serba terbuka. Kita merasa terancam oleh peradaban baru yang serba terbuka. Perubahan perilaku yang disebut “gelombang populisme” ini terjadi di berbagai belahan dunia, seperti Timur Tengah yang sudah tidak aman lagi, di boikotnya Qatar oleh beberapa negara tetangga, masyarakat Inggris melalui referendum memutuskan Brexit, Amerika Serikat memilih Presiden Donald Trump yang menggelorakan kampanye politik dengan isu ras kulit putih, pun nativisme–agama di India dan Myanmar yang terkait Hindutva, politik kebangsaan di Perancis dan Polandia untuk melawan gelombang migrasi, dan di Indonesia mengambil agama sebagai tindakan politik manipulatif populis.
Sikap Bangsa
Dalam Munas ISKA 2017 di Medan yang bertema “Revitalisasi Peradaban Pancasila Menuju Seabad Indonesia” pada dasarnya mengandung dua unsur. Pertama, membangun budaya politik yang sesuai dengan masa depan tanpa tercerabut dari akar kebangsaan. Kedua, membangun peradaban Pancasila bagi generasi milenial atau Y Generations dengan segala cirinya, seperti start up business, instant life style, dan yang lain. Lebih dari dua dekade, Indonesia hidup tanpa kejelasan way of life. Restorasi Pancasila sebagai Santiaji Republik akan melahirkan masyarakat Indonesia gotong-royong modern, sesuai dengan perkembangan umat manusia dan siap melaksanakan pembangunan peradaban Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila, seperti harmoni dalam kehidupan dengan dilandasi falsafah “perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan” harus menjadi sikap setiap manusia Indonesia, khususnya elite politik. Hal ini menjadikan manusia Indonesia sebagai individu yang mengejar hal-hal terbaik (excellence) dalam hidupnya, tapi juga selalu hidup dalam kebersamaan dengan warga Indonesia lain untuk menjadikan masyarakat Indonesia maju dan sejahtera, karena di situlah letak hakiki sifat bangsa kekeluargaan.
Peran Gereja
Dalam upaya memantapkan kesadaran umat akan panggilannya sebagai warga Gereja dan warga negara, agar berperan serta dalam hidup menggereja dan bermasyarakat dengan semangat Kristiani. Komisi Kerawam KWI beberapa tahun terakhir ini telah mengambil ladang garapan sosial-politik dan bekerja sama dengan semua organisasi kemasyarakatan Katolik, serta berbagai paguyuban pemberdayaan umat yang membidangi sosial politik. Untuk itu, telah dilahirkan kebijakan Konsolidasi Komitmen, yang lalu berubah menjadi Konsolidasi Partisipatif.
Selain itu, secara strategis, Keuskupan Agung Jakarta juga telah membuat gerakan Rosario Merah Putih serta mencanangkan tema “Amalkan Pancasila: Makin Adil Makin Beradab” pada 2017. Semua ini tentu dibuat bukan tanpa sebab dan kajian yang mendalam. Gelombang populisme yang mengancam komitmen kebangsaan ini layak disikapi seluruh Keuskupan. Meski ada perbedaan gradasi tantangan di setiap Keuskupan, secara umum ancaman itu telah hadir. Lebih jauh, Seksi Kerawam Paroki perlu lebih banyak bersilaturahmi membangun relasi dan peradaban Pancasila secara nyata di lingkungannya. Tentu tidak adil bila membebankan semua ini pada Hierarki Gereja. Maka, peran awam dan orang muda untuk menggelorakan kembali budaya politik (kebangsaan) berbasis Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, harus didorong. Gereja menjadi “jangkar budaya politik bangsa”, menjadi kompas penunjuk arah para politisi Katolik dan umat dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Ketika ancaman mengganti dasar negara Pancasila sudah di depan pintu, itulah panggilan nyata Ibu Pertiwi. Kita harus memilih, diam dan terlindas atau berdiri dengan langkah tegap membawa panji-panji komitmen kebangsaan seraya lantang menyerukan, “Saya Indonesia, saya Pancasila, saya Katolik!”
Muliawan Margadana
Sumber artikel: http://majalah.hidupkatolik.com/2017/07/21/6280/membangun-peradaban-pancasila/
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Salam Sehat bagi semua saja,,,,Menarik dengan topik ini,