Pastoral Digital Saat Pandemi Covid-19

Katekese digital saat pandemi Covid-19

1 1,551

Katolikana.com – Pandemi Covid-19 mempunyai dampak yang besar terhadap segi-segi kehidupan kita mulai dari aspek sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dampak Covid-19 juga mempengaruhi kehidupan beragama kita secara khusus cara kita bermisi dan berpastoral. Misalnya, merayakan Ekaristi online, berdoa Rosario online, maupun berkatekese secara online.

Pandemi Covid-19 telah menyentak kesadaran kita akan “tantangan yang ditimbulkan oleh komunikasi digital terhadap pelayanan pastoral”. Pastoral digital bukan lagi sekedar pastoral ikut trend tetapi suatu kategori penting bahkan suatu keharusan cara berpastoral karena “lingkungan digital bukanlah dunia paralel atau murni virtual, tetapi merupakan bagian dari realitas sehari-hari banyak orang” (Paus Emeritus Benediktus XVI).

Pastoral digital bukanlah hal baru. Beberapa pengalaman dalam pastoral digital “sudah berlangsung dan harus didorong, diperdalam dan dibagikan” (Dokumen Akhir Sinode Para Uskup kepada Paus Fransiskus pada tanggal 27 Oktober 2018). Akan tetapi menjamurnya pastoral digital akibat pandemi Covid-19 sekaligus menampilkan kepada kita betapa pelayanan pastoral digital yang sudah ada, mesti diperdalam karena belum efektif dan efisien dengan visi dan misi yang jelas.

Pastoral digital, secara sederhana, mengacu pada semua rangkaian tindakan yang mengekspresikan dan mengungkapkan tindakan keselamatan Kristus sendiri sebagai Nabi, Imam dan Raja dalam konteks budaya digital. Budaya digital sendiri ialah budaya yang berkembang berkat teknologi baru, khususnya melalui Internet. Oleh karena itu, agar tindakan pastoral gereja dalam budaya digital ini efektif dan efisien, perlu memperhatikan elemen penting dalam pastoral digital.

Alessandro Palermo, penulis buku La Chiesa Mediale, dalam refleksinya tentang pastoral digital (La riflessione sulla Pastorale digitale) menyebut tiga elemen penting penting berikut.

Pertama, prasyarat pastoral digital. Prasyarat pastoral digital ialah kemanusiaan medial (L’umanità mediale, medial humanity). Kemanusiaan medial ialah suatu pembacaan baru terhadap media sebagai refleksi dan proyeksi diri manusia dan bukan media itu sendiri sebagai centrum teori media “kuno” (dari McLuhan, de Kerckhove, Bauman). Media sebagai proyeksi berarti media berbicara tentang manusia yang berpastoral digital. Maka pastoral digital harus berurusan dengan pribadi (persona) dan pesan yang ingin disampaikan karena “ketika orang bertukar informasi, mereka sudah berbagi diri, pandangan dunia mereka, harapan dan cita-cita mereka”.

Kedua, tanggung jawab gerejawi. Ini berarti komitmen bersama seluruh anggota gereja. Komitmen bersama ini berpegang pada visi dan misi (paroki) dengan perencanaan, pengorganisasian dan koordinasi fungsi. Komitmen bersama ini amatlah fundamental dalam mengikis kesan pastoral digital sebagai pastoral berdasarkan interest pribadi, misalnya hobi pastor paroki atau sesuai minat Orang Muda Katolik (OMK).

Dengan demikian pastoral digital juga tidak sesederhana mengaktifkan profil atau halaman media sosial dan mengisinya dengan konten, tetapi berakar pada pemahaman akan apa, bagaimana, dan mengapa berpastoral digital yang pada gilirannya memerlukan peran serta operator yang kompeten dan terlatih dalam aset media, dinamika, dan bahasa digital.

Elemen ketiga mengacu pada beberapa indikasi untuk membangun layanan pastoral digital yang baik. Antara lain; koneksi fisik dan digital antar anggota gereja serta dasar jejaring sosial yang baik. Pastoral digital tidak sekedar mengirimkan informasi atau transmisi berita paroki layaknya logika pengumuman gereja di akhir misa. Sebaliknya, memanfaatkan kekuatan komunikasi sebagai “kedekatan” relasi dan koneksi antar anggota komunitas gerejawi. “Dalam jaringan sosial kita selalu dan dalam hal apapun bertemu dengan orang lain yang bahkan jika tidak kelihatan, tetaplah nyata”, demikian Paus Fransiskus.

Relasi “kedekatan” ini sesuai dengan logika jejaring sosial dalam pastoral digital seperti halaman Facebook, akun Instragam dan Twitter hingga situs web paroki sebagai yang berasal dari kita, untuk kita dan demi kita. Rasa memiliki ini menghindarkan kita pada postingan akan konten yang populer agar dilike dan disubscribe tetapi pesan injil, kabar gembira maupun “kesaksian akan apa yang ditulis oleh Roh Kudus dalam hati kita, untuk mengungkapkan kepada setiap orang bahwa cerita dirinya mengandung keajaiban yang luar biasa” dalam Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia Ke-54.

Akhirnya, realitas hari ini menunjukkan budaya digital tak terelakkan. Begitu pula pengalaman berkomunikasi tanpa media, tidaklah lengkap. Media, khususnya media sosial, telah menjadi syarat “penting” untuk komunikasi sosial pastoral. Gereja tidak bisa lagi acuh tak acuh pada pastoral dengan dan dalam dunia digital. Sudah waktunya merancang dan mengembangkan pastoral digital sebagai salah satu kategori penting dalam pelayanan pastoral.

Imam Fransiskan, lahir di Mataloko, Flores pada 1987. Sebelas tahun bertugas di Papua. Kini sedang studi di Roma, Italia. Menulis buku Fenomena Papua: Esai-esai Sosial (2018, SKPKC Fransiskan Papua).

1 Comment
  1. Ananta Bangun says

    Selamat pagi. Salam sejahtera.

    Kami tertarik untuk memuat ini di media cetak KAM, majalah Menjemaat. Apakah kami boleh mendapat nomor kontak Pater Alexandro Rangga OFM?

    Terima kasih. Shalom,

    Ananta Bangun

Reply To Ananta Bangun
Cancel Reply

Your email address will not be published.