Menjadi Katolik Sendirian di Tengah ‘Circle’ Non-Katolik, Sungguh Berat

Bisa dibilang, aku terjebak dalam kegalauan kawin campur.

2 3,121

Oleh Anastasia Eka Pratiwi, warga Paroki Jagakarsa, Jakarta Selatan

Katolikana.com—Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Aku dibesarkan oleh ayah Katolik dan mama Islam.

Dulu mereka menikah secara Katolik, tapi belum sampai dibaptis, mama mundur dan kembali menjadi orang Islam.

Menurut dia, jadi orang Katolik itu ribet. Harus belajar agama dulu, ditanya-tanya romo, dan belum tentu lulus untuk dibaptis.

Untuk menghindari keribetan itu, mama kembali memeluk Islam. Btw, saat aku lahir, mama masih belajar agama Katolik.

Sekolah Katolik

Usia sekolah, aku bersyukur banget ayahku memasukkan aku ke sekolah swasta Katolik.

Ini cikal bakal aku tumbuh menjadi wanita Katolik taat di tengah keluarga kami yang tidak semuanya Katolik.

Ayahku Katolik tapi istilahnya Katolik KTP. Dia ke gereja se-mood-nya dia. Mengaku dosa juga se-mood-nya dia. Meskipun begitu, aku tahu iman Katoliknya sangat kuat.

Ayah seperti sudah punya visi ke depan: “Anak gua harus jadi orang Katolik taat. Jadi, gimana pun masalah yang dia hadapi, dia akan tetap setia pada iman Katoliknya.”

Walau ayah Katolik KTP, tapi dia selalu rajin ingetin aku untuk ke gereja tiap Minggu. Beliau berhasil mengantarkan aku sampai ke Sakramen Krisma.

Sayangnya, ayah sudah meninggalkan aku untuk selamanya sebelum aku menikah.

Menikah Beda Agama

Kini aku sudah delapan tahun menikah dengan suamiku yang beragama Islam.

Setelah menikah, aku tinggal di rumah ayah dan mamaku. Aku memiliki dua anak laki-laki. Pada akhirnya semua ikut kepercayaan ayahnya.

Dulu, anak pertamaku sudah dibaptis saat usianya satu tahun. Tapi, karena alasan aku ini minoritas dan memang tidak ada support yang mumpuni untukku sebagai orang Katolik, jadilah anakku diajarin pendidikan basic agama Islam.

Aku pribadi gak masalah, karena bagiku semua agama itu mengajarkan kebaikan.

Meski demikian, dalam hatiku terdalam aku sering sedih karena aku sudah ingkar pada gereja.

Aku tidak bisa mendidik iman Katolik pada anak-anakku. Tidak ada satu pun anakku yang bisa ikut aku ke gereja.

Menjadi orang Katolik di tengah circle non-Katolik itu sangat amat berat. Semua tidak mudah. Foto: Istimewa

Kenapa Tidak Berjuang?

Mungkin kamu bertanya: kenapa tidak berjuang? Iya, mungkin saja aku kurang gigih berjuang, karena aku gak mau ada keributan dalam keluarga.

Selain itu aku juga gak punya pilihan, karena aku masih tinggal di rumah mama.

Aku anak satu-satunya. Kalau aku pergi dari rumah pasti harus mengajak mama. Kalau enggak nanti aku dibilang anak durhaka.

Aku sama sekali tidak mendapat support toleransi dari mama dan suamiku. Sudah sangat sering mama memintaku untuk jadi mualaf.

Kurang lebih begini kata-kata yang sering dia lontarkan:

“Ayahmu ‘kan sudah nggak ada. Sekarang kamu cuma ada mama. Masa iya, kamu dan mama nggak nyambung, ga searah…”

“Mama ini cuma punya satu anak. Kalau mama mati mama butuh doa dari anak yang sholehah. Makanya kamu masuk Islam saja lah nak!”

“Masa kamu punya suami dan anak-anak semua Islam, kamu sendiri yang beda.”

“Gak ada rumah tangga dengan dua nahkoda, semua harus satu kepala. Istri harus ikut agama suami. Tuh, lihat si A,B,C, mau pindah agama karena ikut agama suaminya.”

Semua perkataan mama itu membuatku muak. Apalagi ketika dia bilang kalau aku berdoa untuk dia itu nggak akan sampai karena beda jalur.

Ibu Kenapa Nggak Sholat?

Suamiku tidak pernah mengintervensi kekatolikanku. Tapi, dia juga nggak pernah support untuk memberi edukasi tentang agama pada anak-anakku.

Dia nggak pernah memberi kesadaran pada mereka bahwa: “Ini lho, nak. Ibu kalian tuh agamanya Katolik. Agama Katolik itu perginya ke gereja, kalau berdoa bikin tanda salib,”  dan lain sebagainya sebagaimana seharusnya.

Jadi, anak-anakku pada akhirnya tahu kalau ibu mereka orang Katolik,  tapi ya sudah sampai di situ saja.

Mereka tahu aku ke gereja tiap Minggu, dan mereka fine-fine saja.

Hanya saja yang aku nggak suka ketika mereka sering bilang: “Ibu kenapa gak sholat?”

Ayahnya nggak pernah membantuku untuk menjawab kenapa ibunya nggak sholat. Atau, setidaknya memberi pengertian pada anak-anak kalau orang tuanya berbeda agama. Dia sangat acuh, benar-benar tidak mensupportku.

Kegalauan Kawin Campur

Bisa dibilang, aku terjebak dalam kegalauan kawin campur.

Aku dulu sangat naif dan merasa bisa menjalani hidup kawin campur karena melihat ayah dan mamaku berhasil menjalani kawin campur sampai maut memisahkan.

Tapi aku lupa pernikahan yang kujalani berbeda dengan pernikahan mereka. Sifat masing-masing kami semua itu berbeda.

Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, betapa indahnya menjadi anak Tuhan Yesus dan menjadi orang Katolik. Foto: Freepix

Kawin Campur, Ini Pesanku

Pesanku, bagi kamu yang ingin memutuskan untuk kawin campur, sebaiknya kalian pikir-pikir Kembali.

Pastikan dulu pasangan non-Katolik kamu mau jika anak-anakmu dididik dalam iman Katolik.

Kalau tidak mau, ya bagaimana kerelaan hatimu sebagai orang Katolik. Mau terima nggak?

Semua kembali lagi pada obrolan kamu nanti saat membahas pernikahan.

Yang terpenting, pastikan kalau pasangan non-Katolik kamu memiliki toleransi tinggi, tidak reseh, tidak egois dan sadar betul kalau kawin campur itu beda dengan kawin seiman.

Tapi di atas itu semua, sebaiknya banget memang menikah dengan sesama Katolik, ya kan? Siapa sih, yang gak mau menerima sakramen perkawinan yang merupakan impian semua OMK Katolik?

Salib yang Harus Aku Pikul

Jadi guys, menjadi orang Katolik di tengah circle non-Katolik itu sangat amat berat. Semua tidak mudah.

Banyak suara aneh pastinya. Belum lagi paksaan secara halus untuk meninggalkan iman Katolikmu.

Tapi bagiku pribadi, ini adalah salib yang harus aku pikul, menyangkal dunia dan berbesar hati untuk menerima penolakan.

Keadaan ini justru makin menguatkanku untuk tetap bertahan dalam iman. Aku sama sekali tidak terpikir untuk meninggalkan iman Katolikku.

Aku tidak peduli kalau nanti semua orang meninggalkanku karena memang itulah esensinya menjadi Katolik. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, betapa indahnya menjadi anak Tuhan Yesus dan menjadi orang Katolik.

Semoga ceritaku ini menjadi motivasi bagi kamu. Pertahankan terus iman Katolikmu, apapun yang terjadi. Karena manusia tidak ada yang 100 persen setia, tapi Tuhan sudah pasti selalu setia terhadap kita. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

2 Comments
  1. Reni says

    Ikut merasakan “salib”nya mbak. Walaupun suami sy Islam yg super toleransi dan anak2 semuanya sdh dibaptis, tetap sj ada penyesalan terselip, setuju bgt dg nasihat; lebih baik nikah dg agama yg sama, aplg kalau calonnya beragama Islam.
    Terus kuat dan taat dalam iman Katolik kita, inilah jalan, kebenaran dan keselamatan kita. 🙏

  2. Andrew says

    Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Aku.
    Tetap semangat dan setia pada Iman Katolik nya Mbak. Tuhan Yesus memberkati mu.

Leave A Reply

Your email address will not be published.