Katolikana.com—Udara di wilayah Ranga, sebuah desa Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, pagi itu masih cukup dingin. Meski demikian, anak-anak berseragam putih merah sudah berjalan kaki menuju ke sekolah.
Mereka harus berjalan kaki pagi-pagi karena sekolah mereka cukup jauh dari tempat tinggal. Itu bukan hal berat karena kebersamaan dalam perjalanan itu diisi dengan cerita, canda, senyum dan tawa.
Sekolah tujuan mereka adalah Sekolah Dasar Katolik (SDK) Ranga di Kecamatan Detusoko-Kabupaten Ende. Sekolah itu didirikan pada 1953.
Misi Katolik
Jika diteropong ke masa lalu, sekolah-sekolah Katolik didirikan bersama dengan masuknya misi Katolik di Flores. Masuknya misi Katolik diawali dengan kedatangan misionaris di Pulau Flores dan Pulau Solor.
Portugis melalui Ordo Dominikan tahun 1630, memasukkan misi ini masuk bersama dengan kegiatan perdagangan. Dalam rentang 1859- 1914, misi ini dilanjutkan oleh Misionaris Jesuit.
Setelah itu, karya ini diberikan ke tangan misionaris Tarekat Societas Verbi Divini (SVD) tahun 1914 hingga sekarang (Roe, 2008)
Keberadaan sekolah-sekolah pun biasanya muncul untuk mendukung karya misi para misionaris dari serikat atau biara yang bermisi di Flores waktu itu.
Akses Pendidikan
Namun, seiring perjalanan waktu, sekolah-sekolah ini kemudian diurus oleh pihak gereja lokal atau keuskupan setempat, meskipun masih ada yang dipegang oleh biara-biara tertentu.
Selain untuk membantu karya misi, sekolah-sekolah Katolik didirikan untuk mendekatkan akses pendidikan bagi anak-anak pribumi di daerah pelosok.
Alasannya, banyak anak Flores tinggal di daerah-daerah yang jauh dan sulit dijangkau. Selain itu, faktor lain adalah karena pada masa itu sekolah-sekolah milik pemerintah belum cukup tersedia.
Seiring berjalannya waktu, ketika akses jalan dari pemerintah makin baik dan desentralisasi pembangunan, muncullah sekolah-sekolah negeri milik pemerintah.
Perkembangan sekolah negeri terus meningkat karena ditopang oleh infrastruktur, pendanaan, serta guru-guru negeri yang ditempatkan oleh pemerintah.
Lalu bagaimana dengan kondisi persekolahan Katolik?
Tantangan Sekolah Katolik
Sekolah-sekolah Katolik tetap berjalan dan berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi serta tuntutan standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Meski pun pemerintah membantu memberikan tenaga guru negeri ke sekolah Katolik, namun itu tidak membuat usaha adaptasi menjadi mudah karena banyak sekolah swasta masih bergantung pada pemerintah daerah setempat dalam penyelenggaraannya (Toron, 2021).
Dalam Konferensi Sekolah-Sekolah Katolik sedaratan Flores-Lembata tahun 2019, muncul gambaran umum tentang sekolah Katolik yang mengalami penurunan mutu (mediaindonesia.com, 2019). Tentu anggapan ini tidak muncul tanpa alasan.
Berdasarkan wawancara singkat dengan pegiat pendidikan di Kabupaten Ende dan Focus Group Discussion (FGD) dengan mahasiswa dari beberapa sekolah Katolik di desa, permasalahan yang muncul secara umum disebabkan oleh sejumlah hal.
Pertama, kurangnya tenaga pengajar yang memadai, baik soal kuantitas maupun kualitas, terutama di wilayah pedesaan. Kedua, tenaga pengajar untuk sekolah-sekolah Katolik sering kali sangat terbatas.
Hal ini muncul entah karena alasan ketersediaan tenaga atau hambatan finansial.
Kendala Guru
Dalam beberapa kasus tertentu, kebanyakan guru yang mengajar di sekolah ialah mereka yang kebetulan adalah anak muda di desa itu, yang memang berijazah sarjana tapi kadang bukanlah sarjana pendidikan.
Secara umum, mereka ini bisa diklasifikasi ke dalam guru kontrak pemerintah dan guru honorer atau guru komite.
Meski demikian, nasib dan upah mereka jauh dari kepastian.
Jika mereka adalah guru kontrak pemerintah daerah, maka keberlanjutan pekerjaan dan upah mereka sangat bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
Jika mereka adalah guru honor atau komite, maka nasib dan upah mereka sangat ditentukan seberapa besar uang komite yang dikumpulkan untuk membayar gaji mereka.
Sementara itu, dari sisi minimnya kualitas, mereka jarang dibantu dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar. Kegiatan pengembangan kapasitas guru masih sedikit banyak diperuntukkan bagi para pengajar dari sekolah-sekolah negeri.
Tantangan berikutnya berkaitan dengan kualitas infrastruktur serta sarana pendidikan yang belum bisa diandalkan. Hal ini terkait dengan ketersediaan infrastruktur serta sarana penunjang kegiatan belajar-mengajar yang memadai.
Tidak semua sekolah Katolik di desa memiliki sarana yang lengkap dan tersedia secara baik. Jika masalahnya memang demikian, tak mengherankan jika mutu sekolah-sekolah Katolik berada dalam situasi yang tidak begitu baik.
Peran Masyarakat
Di tengah permasalahan-permasalahan ini, apa yang mesti diperbuat? Siapakah yang rela membantu dan dengan cara apakah masalah-masalah seperti di atas mesti diatasi?
Kondisi seperti ini, tentunya harus menggerakkan peran masyarakat, karena anak-anak mereka yang banyak mengakses pendidikan di sekolah-sekolah ini.
Namun demikian, hal itu tidak bisa serta-merta terjadi atau belum benar-benar tampak karena masyarakat lokal setempat pun masih sibuk bertarung untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta kebutuhan adat istiadat.
Terkadang masyarakat setempat masih lebih memprioritaskan kepentingan adat istiadat ketimbang urusan sekolah anak-anak. Meski demikian, hal ini mestinya tidak menjadi halangan permanen untuk membantu sekolah-sekolah Katolik.
Hal yang paling mungkin dilakukan adalah bagaimana membantu memberdayakan umat setempat. Dengan itu, umat bisa hadir dan memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah Katolik di daerah.
Tugas Lembaga Katolik
Tugas ini menjadi tugas setiap stakeholder atau organisasi serta lembaga-lembaga Katolik, termasuk perguruan tinggi milik yayasan Katolik.
Semuanya mestinya punya rasa keterpanggilan untuk membantu, mendorong sekolah-sekolah Katolik, terutama di daerah pinggiran atau terpencil, dengan berbagai cara.
Hal ini menjadi sangat mungkin, misalnya di perguruan tinggi terdapat kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka, sudah ada mekanisme Kampus Mengajar yang bisa mendorong hal ini.
Selain itu, perlu solidaritas bersama umat Katolik untuk membantu keberlangsungan sekolah Katolik baik itu secara finansial, atau yang paling bisa dibuat adalah tumbuhnya gerakan guru-guru Katolik di wilayah yang maju yang bekerja pada lembaga yang lebih mapan untuk membantu memberikan keterampilan atau berbagi pengalaman dan berpraktik di sekolah-sekolah daerah-daerah pelosok yang sulit.
Hal ini yang bisa difasilitasi oleh pihak keuskupan setempat yang berkontak dengan keuskupan-keuskupan di wilayah lain.
Kedua bentuk bantuan ini, tentu akan menjadi lingkaran dukungan bagi banyak sekolah Katolik di tanah air, terutama di daerah sulit. Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa memang hal ini tidak gampang dilakukan karena arus dan tantangan serta tuntutan dunia pendidikan seperti sekarang yang tidak sederhana.
Api Optimisme
Untuk menjaga asa ini, bayangan akan wajah dan semangat anak-anak di desa yang terus bersekolah, meski dengan cuaca dan jarak yang menantang, kiranya bisa menjadi api pembakar optimisme bahwa dukungan dan berbagai usaha akan membantu sekolah-sekolah Katolik, terutama di daerah pelosok atau daerah-daerah yang sulit, untuk terus menjadi lentera pendidikan sekaligus pewarta kabar gembira keselamatan Tuhan ke seluruh penjuru dunia. (*)
Pengajar STPM St Ursula, Ende