Katolikana.com — Sore itu, Senin 22 Mei 2023 lalu, seorang Pastor asal Indonesia, bernama Markus Solo Kewuta, SVD, bicara soal surat audiensi yang sudah dimasukan ke kantor Sekretariat Negara Vatikan. Surat permohonan audiensi itu berbahasa Italia, dan isi suratnya tentang permohonan audiensi untuk dua orang Muslim dari benua Asia, namanya Deni Iskandar dari Pandeglang-Banten, Indonesia dan Raheema Tahir-Jayari dari Mindanao, Philipina.
Saya akrab memanggil nama beliau dengan sebutan Padre Marco. Ia adalah satu-satunya Imam Gereja Katolik Indonesia yang bekerja di negara Vatikan, dan saat ini ia diberi amanah oleh Paus Fransiskus, sebagai Presiden Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue, Vatikan desk Asia-Pasifik, di mana letak kantornya itu di depan Basilica Santo Petrus, Vatikan.
Pembicaraan mengenai permohonan audiensi itu disampaikan Padre Marco, di lantai 4 kantor Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue (NAF-DID), Vatikan. Ia mengatakan bahwa, “Surat dari sini (Nostra Aetate Foundation) sudah dimasukan, kalian berdua (Deni dan Raheema, red) nanti, akan bisa berjumpa dengan Paus Fransiskus, jika tidak ada halangan, maka pertemuan itu akan terjadi pada Rabu, 14 Juni 2023. Kita berdoa saja semoga lancar semuanya,” kata Padre Marco.
Selanjutnya, seperti biasa, kelas pun dimulai, saya dan Raheema kembali belajar. Sebagai orang biasa, yang memang itu bukan pejabat negara dan anak jenderal, saya hanya bisa bicara dalam hati, apa mungkin audiensi dengan Paus Fransiskus itu bisa terjadi, dan apakah orang kecil yang bukan siapa-siapa seperti saya ini, bisa bertemu dengan Paus Fransiskus, yang itu adalah Presiden Vatikan dan Tokoh Gereja Katolik Dunia?
Sebab, dalam pengalaman hidup saya di Indonesia, jangankan bisa bertemu dengan Paus Fransiskus yang itu adalah seorang tokoh penting di dunia, mau bertemu dengan camat saja untuk buat KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Pandeglang, saya ditolak dan yang menemui saya bukan camatnya, tapi Kepala Seksi (Kasi)-nya…!
Waktu terus berjalan maju, demikian juga detik, tidak pernah melangkah mundur, hari demi hari pasca obrolan dengan Padre Marco di kantor, saya lalui. Pada Sabtu, 10 Juni 2023 sebuah kabar tersiar di meja makan Sant Gregorio Cellio, Rome, sebuah seminari tinggi dari Kongegrasi atau Ordo Camadoli, tempat saya tinggal pada saat saya belajar di Roma.
Bermula dari sebuah obrolan pada saat makan malam, seorang Pastor asal Torino bernama Mario, dengan seorang guru besar bahasa Latin di Pontifica Urbaniana University yang juga seorang pastor bernama Innonsius membuka obrolan. Dalam obrolan itu, Mario bicara kepada Innonsius bahwa, Papa (Paus) sakit parah dan besok akan dioperasi di rumah sakit kota Roma.
Sontak, saya kemudian menyambung obrolan dengan mereka berdua di meja makan, “sakit apa Paus Fransiskus Padre Mario?” Kemudian Padre Mario menjawab, “Paus Fransiskus itu sudah tua, dan kondisi beliau ini sakit-sakit, perutnya di operasi dan juga kakinya,” Kata Mario.
Kepada saya di meja makan, Padre Mario menjelaskan bahwa, “Memang beliau (Paus Fransiskus) ini agendanya cukup padat, begitu juga dengan aktivitasnya sangat padat, kemarin dari Ukraina, karena Rusia-Ukraina kembali tegang, sikap pemerintah Uni-Eropa melalui kebijakan tentara NATO (North Atlantic Treaty Organization atau Organisasi Perthanan Atlantik Utara), juga cenderung membela Ukraina, untuk masuk menjadi bagian dari negara Uni-Eropa, sehingga serangan Rusia juga semakin tinggi,” kata Mario.
Sejauh yang saya kenal, Mario ini seorang Pastor/Imam Katolik yang melakukan pelayanan di Seminari Sant Gregorio Cellio. Ia juga seorang pastor yang intens mengikuti isu-isu global melalui surat kabar Rome News dan lain-lainnya. Saat ini, ia sedang belajar dan mendalami tentang Kitab Suci di Pontifica Urbaniana University, Rome.
***
Senen, 12 Juni 2023, saya kembali datang ke kantor Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue, Vatikan dalam rangka menjalankan aktivitas rutin saya, yakni masuk kelas dan belajar tentang Dokumen Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang terdiri dari dokumen Nostra Aetate, dokumen Human Fraternity for World Peace and Living Together, Dokumen Dominus Jesus, juga dokumen yang berkaitan dengan dialog lintas agama yang dimiliki oleh Gereja Katolik.
Sore itu di lantai 4, Padre Marco kembali bicara dengan kami berdua (saya dan Raheema) tentang undangan yang sudah dimasukan, bahwa Audiensi dengan Paus Fransiskus yang sudah diagendakan tidak bisa dilakukan, karena kondisi Paus pasca operasi harus lebih banyak istirahat, dan untuk waktunya menurut keterangan dokter itu satu bulan.
Padre Marco bicara bahwa, “Audiensi belum bisa dilakukan, secara otomatis, semua surat yang sudah dimasukan ke kantor sekretariat negara, dibatalkan semua, bukan hanya surat kita (Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue, Vatikan).”
“Tapi, secepatnya saya bersama jajaran juga akan bersurat, untuk mengatur ulang waktu audiensinya, semoga masih bisa dan kalian berdua tidak pulang dahulu yah. Kalian berdua Mr. Deni dan Mrs. Raheema, berdoa saja semoga bisa bertemu,” lanjut Padre Marco.
Dengan lemas dan pesimis, saya menerima kenyataan itu. Niatan untuk bisa memegang dan mencium tangan dan bicara dalam bahasa Italia dengan Paus Fransiskus pun perlahan mulai sirna dan tidak akan pernah terwujud.
Harapan-harapan itu pun perlahan pupus dan hilang, terlebih pada saat saya menjadi utusan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tahta Suci Vatikan dalam acara Pertemuan Kaum Muda Dunia yang diselenggarakan oleh Tahta Suci Vatikan, dimana Paus Fransiskus tidak hadir membuka acara, dan diwakilkan oleh Mgr. Kardinal Pietro Parolin selaku Sekretaris Negara Vatikan.
Agenda Pertemuan Kaum Muda Dunia yang diselenggarakan oleh Tahta Suci Vatikan ini, dilaksanakan dalam rangka menerjemahkan Dokumen Fratteli Tutti (Persaudaraan Universal) dalam bentuk gerakan. Acara itu, melibatkan orang banyak dan semua delegasi kaum muda dunia yang terdiri dari empat benua, yakni Asia, Amerika, Eropa dan Afrika berkumpul di lapangan Basilica Sant Pietro alias Basilica Santo Petrus.
Dokumen ini merupakan buah tangan Paus Fransiskus yang membahas mengenai persaudaraan universal umat manusia di muka bumi. Kehadiran dokumen ini adalah terusan dari dokumen sebelumnya, yang itu membahas mengenai persaudaraan manusia, di mana inisiasi dan semangatnya lahir, atas dasar perjumpaan atau silaturahmi antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar Syekh Ahmed Al-Tayeb di Abu Dhabi Uni Emirat Arab, pada 2019 lalu.
Pada konteks ini, Gereja Katolik mempunyai komitmen yang jelas dan terukur dalam membangun visi perdamaian dunia. Peta jalan yang ditawarkan dalam mewujudkan visi perdamaian dan persaudaraan manusia di dunia, itu dilakukan melalui jalan Dialog yang secara teknis dilakukan melalui sebuah perjumpaan atau silaturahmi.
Menurut Padre Marco, kerukunan dan perdamaian lintas agama itu hidup dari silaturahmi tanpa henti, tujuannya selain untuk menutrisi persaudaraan dan persahabatan yang telah terjalin, juga untuk menciptakan relasi-relasi baru.
Konsep perjumpaan atau silaturahmi, dalam ajaran Islam sejatinya juga ditawarkan bahkan dijelaskan. Makna “Lita’arofuu” (saling mengenal) yang disinggung dalam Alquran, sejatinya akan mustahil bisa diwujudkan tanpa adanya silaturahmi atau perjumpaan. Begitu juga dengan dialog, rasanya akan sulit terjadi tanpa adanya perjumpaan terlebih dahulu. Dialog dan perjumpaan dalam hal ini, adalah bagian dari jembatan utama dalam membangun perdamaian.
***
Waktu terus berputar, hari demi hari terus saya lalui. Setelah agenda perjumpaan kaum muda dunia di Basilica Santo Petrus, Vatikan itu selesai, hati ini masih selalu resah dan kembali bertanya kepada diri sendiri.
Aing teu bisa sasalaman jeung Paus Fransiskus doangna ieu, (Saya tidak bisa bertemu dengan Paus Fransiskus sepertinya ini). Jika saya ketemu Paus, maka saya akan cium tangannya seperti halnya saya mencium tangan guru-guru di Pondok Pesantren.
Dalam hati kecil ini, saya hanya mampu bicara dalam diam, dan terus menggantungkan semua harapan-harapan dan keinginan-keinginan saya kepada Pencipta saya.
Ya Allah, jika memang takdirku tidak bisa bertemu Paus Fransiskus, maka bukakanlah jalan untukku, supaya aku bisa melanjutkan study S2 di PISAI (Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies). Saya ingin belajar Islam dan saya ingin tahu bagaimana orang Katolik di PISAI ini mempelajari Islam. Hasbuna Allah Wani’mal Wakil, Ni’mal Maula Wani’ma An Nashir.
Malam itu, headphone berdering dan menjadi tanda bahwa pesan WhatsApp masuk. Saya membuka WhatsApp ternyata Padre Marco. Dalam pesan itu, ia mengatakan, “Mas Deni, surat permohonan audiensi sudah diterima dan mas Deni dengan Mbak Raheema nanti bisa bertemu bapak suci (Paus Fransiskus). Nanti Senen di kelas saya akan jelaskan”. Begitulah bunyi pesan padre Marco.
Mata yang sudah lelah dan ngantuk karena seharian full aktivitas, akhirnya cerah. Saya masak air, nyeduh kopi, dan merokok lagi di teras luar seminari.
Saya bicara sendiri sambil tersenyum di sebuah teras luar kamar, ternyata Allah ini ada, dan mengikuti apa yang kita mau. Jadi rumus dalam menjalani kehidupan yang sebelumnya saya pahami ini berubah. Bukan kita yang mengikuti maunya Allah, tapi dibalik, Allah yang mengikuti apa maunya kita. Ini selaras dengan apa yang disampaikan Alquran dan umat Islam – dalam hal ini boleh berdebat soal ini Qodo dan Qodar Allah yang masuk dalam rukun iman.
***
Sore itu, Senin 22 Juni 2023, semua dokumen Gereja tentang dialog antar umat beragama sudah selesai dipelajari, dan hari Rabu, adalah ujian. Di dalam kelas, setelah beres pelajaran, Padre Marco memberikan kabar gembira, bahwa saya dan Raheema bisa bertemu dan audiensi dengan Paus Fransiskus.
“Kita patut bersyukur, karena surat yang diajukan diterima, dan Paus Fransiskus sudah pulih kembali. Nanti kalian tanggal 28 Juni akan bertemu Paus Fransiskus, dan kebetulan saya tidak menemani pada hari tersebut, karena tanggal 26 Juni saya harus ke Austria, ada agenda saya. Nanti kalian berdua bertemu Paus Fransiskus ini akan diantarkan dan dikawal oleh Mgr. Indunil Janakaratne,” kata Padre Marco.
Mgr. Indunil Janakaratne adalah seorang pastor atau Imam Gereja Katolik asal Srilangka, yang bekerja di Vatikan. Saat ini, ia diamanahkan oleh Paus Fransiskus sebagai Presiden Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue (NAF-DID) Vatikan, Desk Afrika. Selain itu, ia juga salah penguji paper saya pada saat ujian, yang berjudul “Common Ground Tawhid and Trinity Concept Between Islam and Catholic Church”.
Pagi itu, 28 Juni 2023, sekitar pukul 07.00 saya tiba, dan menunggu di depan kantor Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue (NAF-DID) Vatikan. Kedatangan saya lebih awal dari yang lain. Hingga pada akhirnya sekitar pukul 09.30 saya beradu muka dan bersalaman dengan Paus Fransiskus.
Ketahuilah, bertemu Paus itu bagaimana Ridho Allah. Karena ketika dipinta, itu akan terhalang dan pasti tidak bertemu. (BERSAMBUNG)
Editor: Basilius Triharyanto
Penulis lahir di Pandeglang. Alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mendapatkan Fellowship
Nostra Aetate Foundation Dicastery Interreligious Dialogue (NAF-DID) Tahun 2023.