Memaknai Pertobatan: Berubah dan Berbuah!

Dengan bertobat kita mengupayakan agar hidup kita menjadi tanah yang subur bagi pertumbuhan benih-benih kebaikan, sehingga bisa memberikan buah-buah kebaikan bagi sesama.

Seringkali kita berpikir bahwa aneka kemalangan dan derita yang kita alami itu semata-mata karena dosa. Orang merasa bahwa Tuhan sedang memberikan pembalasan kepada kita karena kita tidak setia.

Apakah memang demikian? Kalau memang benar begitu, bagaimana mungkin Tuhan yang berbelaskasih itu sedemikian keji?

Bukankah Allah sering digambarkan sebagai sosok yang penuh belaskasih, mahapengampun, dan tidak mendendam?

Gambaran demikian saya kira kurang tepat. Kemalangan dan derita yang kita alami bukanlah hukuman dari Allah. Kemalangan atau aneka kegagalan itu seringkali terjadi karena banyak faktor, entah karena kelalaian kita, kecerobohan kita, atau bahkan kerakusan kita.

Bacaan-bacaan hari ini memberi gambaran bagi kita tentang Allah yang berbelaskasih, yang memberi kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri. Singkatnya, Allah memberi kesempatan bagi kita untuk bertobat.

Bertobat berarti mau menyadari, menyesali dan memperbaiki diri. Bertobat berarti mau meninggalkan cara hidup lama yang sering sibuk dengan diri sendiri, sehingga lupa akan sesama dan Tuhan.

Injil hari ini memperlihatkan beberapa orang datang kepada Yesus tentang nasib orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus.

Mereka ingin meminta tanggapan Yesus mengenai peristiwa tersebut, apakah Yesus “mengutuk” tindakan Pilatus – yang berarti Ia akan berhadapan dengan kekuasaan Romawi; ataukah Yesus “membenarkan” tindakan Pilatus – yang berarti Ia tidak mau membela bangsa sendiri.

Namun jawaban Yesus tidak seperti yang mereka harapkan. Yesus meluruskan pandangan mereka demikian: “Sangkamu orang-orang Galilea itu lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib demikian? Tidak, kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua pun akan binasa dengan cara demikian.

Atau sangkamu kedelapan belas orang yang mati ditimpa Menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada semua orang lain yang di Yerusalem? Tidak, kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua pun akan binasa dengan cara demikian (Luk 13:2-5).

Satu kalimat kunci dari Yesus, yang diulangi dua kali, berbunyi: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua pun akan binasa dengan cara demikian” (ay 3 dan 5).

Apa artinya? Bahwa Yesus mau memperbaiki pandangan orang pada umumnya, yang melihat bahwa penderitaan, kegagalan serta aneka kemalangan sebagai hukuman dari Allah karena dosa-dosa mereka. Allah memberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri.

Hal ini pula yang hendak ditegaskan oleh Yesus dalam perumpamaan mengenai pohon ara yang hendak ditebang oleh pemilik kebun. Tetap ada kesempatan untuk memperbaiki diri.

Maka ketika kita tidak mau memperbaiki diri, jangan salahkan Tuhan. Justru kita sendirilah yang tidak mau berubah sehingga dosa itulah yang membuat kita jatuh dalam kebinasaan.

Dua Tipe Dosa: Belajar dari Injil

Dalam tanggapan-Nya, Ia menyebut dua tempat berbeda: Galilea dan Yerusalem. Dari dua tempat ini kita belajar tentang dua tipe dosa yang perlu kita perbaiki. Kedua tempat ini punya karakter “dosa” yang berbeda. Keduanya bahkan saling bersaing satu sama lain.

Pertama, orang-orang Galilea hidup di daerah yang punya lahan pertanian subur. Meski begitu banyak masalah sosial terjadi di sana, yakni berbagai ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya adalah orang-orang yang punya peluang menguasai pertanian dan bisnis.

Sebaliknya yang miskin tidak punya kesempatan apapun. Maka situasi yang terjadi adalah: yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersingkir. Si kaya sering mengabaikan orang dan terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan mereka sendiri.

Inilah tipe dosa yang perlu kita jauhi: abai terhadap sesama dan terlampau asyik dengan diri sendiri!

Kedua, orang-orang Yerusalem punya Bait Allah sebagai pusat peribadatan dan keagamaan bangsa Israel (termasuk juga bagi orang Galilea).

Maka mereka sombong karena merasa diri sebagai orang-orang yang saleh, orang yang hidup keagamaannya paling benar, bahkan mereka seolah bisa “mengatur” Tuhan. Mereka menganggap diri mereka lebih baik daripada orang yang tinggal di tempat lain.

Inilah tipe dosa kedua yang perlu kita waspadai: sikap merasa diri lebih baik, lebih suci dan lebih saleh daripada orang lain!

Manfaatkan kesempatan untuk bertobat

Bertobat adalah sarana memperbaiki diri. Bertobat tidak hanya berhenti pada menyadari dan meratapi dosa atau kesalahan, tetapi lebih dari itu.

Kita mau memperbaiki diri dengan mengusahakan agar hidup kita bertumbuh subur dan menghasilkan buah.

Dengan bertobat kita mengupayakan agar hidup kita menjadi tanah yang subur bagi pertumbuhan benih-benih kebaikan, sehingga bisa memberikan buah-buah kebaikan bagi sesama. Maka pertobatan berarti kita mau berubah supaya bisa berbuah!

Mari kita ingat kata-kata pengurus kebun sebagai upaya bagi kita membangun sikap tobat terus menerus:

“Tuan, biarkanlah dia tumbuh selama setahun lagi. Aku akan mencangkul tanah sekelilingnya, dan memberi pupuk kepadanya. Mungkin tahun depan akan berbuah. Jika tidak, tebanglah!” (Luk 13:8-9).

Imam SCJ kelahiran Marga Agung (Lampung). Ditahbiskan sebagai imam di Marga Agung 11 Agustus 2016 oleh Mgr Yohanes Harun Yuwono (Uskup Tanjungkarang). Tahun 2015-2017 berkarya di Komsos Keuskupan Agung Palembang. Dan sejak pertengahan 2017 diutus menjalankan studi lanjut di Yogyakarta.

Comments (0)
Add Comment