Dalam diri kita ada kecenderungan untuk menilai orang lain. Ada orang yang menilai orang lain dari segi penampilan fisiknya, ada pula dari tingkah lakunya.
Sering ada juga yang menilai orang lain dari latar belakang hidupnya. Ada aneka cara seseorang menilai orang lain.
Salah satu kecenderungan yang muncul dalam diri kita adalah menilai keburukan orang lain. Melihat keburukan orang lain memang mudah. Bahkan lebih mudah melihat keburukan kecil yang ada dalam diri orang lain ketimbang melihat kebaikan-kebaikan yang dilakukannya. Terlebih lagi bila penilaian itu dilandasi oleh rasa benci terhadap mereka.
Seorang teman mengirimi saya kisah tentang bagaimana seseorang menilai orang lain.
Di sebuah alun-alun kota, seorang wanita tua baru selesai berbelanja. Dia berjalan melewati beberapa blok toko dan kafe.
Wanita tua itu berpapasan dengan anak-anak muda pekerja kantor yang terlihat sangat rapi sambil menenteng tas kerja.
“Anak-anak ini pasti orang-orang baik,” demikian pikirnya.
Kemudian sang wanita melewati beberapa gerombol anak muda dengan penampilan berantakan. Rambut dicat warna-warni, pakaian hitam sobek sana-sini.
“Anak-anak ini pasti tukang rusuh, penampilan berantakan, dan pasti tidak menghormati orang tua,” demikian batin sang nenek saat berjalan melewati gerombolan anak muda tersebut.
Tibalah sang nenek di penyeberangan jalan. Dia kebingungan dan takut menyeberang karena lampu penyeberangan jalan rusak. Dia menunggu hingga ada yang mau membantu.
Para pekerja kantor yang dikira baik dan sopan hanya berlalu begitu saja. Mereka sangat cuek dan lebih asik bermain dengan handphone mereka. Sang nenek hanya menghela napas panjang.
“Nenek mau menyeberang jalan?” tanya seseorang.
Sang nenek menoleh dan melihat tiga anak berantakan itu berdiri di sampingnya.
“Mari kami bantu,” ujar salah satu dari mereka.
“Kalau tidak keberatan, mari saya bawakan barang nenek, kelihatannya berat,” ujar anak muda yang satu lagi.
Akhirnya sang nenek menyeberang jalan dibantu tiga anak muda yang dikiranya tukang biang onar dan tidak punya sopan-santun.
Anak-anak muda itu memang tampil berantakan dan sering dianggap biang onar. Nyatanya, mereka justru membantu sang nenek tanpa diminta.
Tak hanya itu, mereka membantu sang nenek mendapatkan bis dan mengangkat barang belanjaan sang nenek ke dalam bis.
“Terima kasih, ternyata selama ini saya salah menilai kalian,” ujar sang nenek dengan senyum mengembang.
Sang nenek pada mulanya telah berburuk sangka terhadap kelompok anak muda berpenampilan berantakan itu. Ia menilai hanya berdasarkan penampilan fisik.
Menilai orang lain hanya berdasar penampilan fisik merupakan sebuah penghakiman yang tidak adil. Apalagi ketika berdasar penampilan fisik itu kita lantas menjauhi mereka.
Penampilan seseorang seringkali menipu. Orang yang berpenampilan berantakan dan berwajah seram belum tentu berhati jahat.
Mereka yang tampil rapi dan berwajah tenang belum tentu baik. Maka, mari kita nilai seseorang dari hatinya, bukan dari penampilan luarnya saja.
Bercerminlah sebelum menilai
Injil Yohanes 8:1-11 mengisahkan sekelompok orang bersiap merajam seorang perempuan yang kedapatan berbuat zina. Bagi mereka, seorang pezina layak dihukum rajam dengan dilempari batu.
Masalahnya, mengapa yang dihukum hanya si perempuan? Bukankah dikisahkan bahwa ia ketahuan berbuat zina. Tentu ada pihak lain (baca: laki-laki) yang sedang bersamanya. Mengapa pihak laki-laki tidak ikut serta ditangkap?
Sampai poin ini, ketidakadilan sudah terjadi. Namun saya tidak akan menyoroti ketidakadilan ini.
Saya hendak menyoroti apa yang dikatakan Yesus:
“Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8:7).
Perkataan ini disampaikan-Nya ketika orang-orang meminta pendapat Yesus terkait hukuman yang harus dijatuhkan kepada perempuan yang kedapatan berzina.
Namun apa yang terjadi sesudahnya? Tak ada satu pun yang berani melemparkan batu kepada si perempuan. Justru satu per satu mereka pergi, mulai dari yang tertua di antara mereka.
Dengan perkataan-Nya itu, Yesus ingin memberi suatu kunci dalam membangun kehidupan bersama.
Bercerminlah terlebih dahulu sebelum menilai orang. Bercerminlah terlebih dahulu sebelum menghakimi orang lain. Barangkali hidup kita pun seperti orang yang kita nilai. Bahkan mungkin hidup kita pun jauh lebih buruk dari orang yang kita hakimi.
Beranikah kita melakukannya?
Imam SCJ kelahiran Marga Agung (Lampung). Ditahbiskan sebagai imam di Marga Agung 11 Agustus 2016 oleh Mgr Yohanes Harun Yuwono (Uskup Tanjungkarang). Tahun 2015-2017 berkarya di Komsos Keuskupan Agung Palembang. Dan sejak pertengahan 2017 diutus menjalankan studi lanjut di Yogyakarta.