Profesi sebagai pendidik dalam arti tertentu dapat dianalogikan dengan bertani. Petani bekerja mengelola tanah, menabur dan merawat benih yang tumbuh, dan akhirnya memanen hasilnya. Pendidik pun melakukan proses demikian dalam profesinya. Pembedanya adalah tanah yang diolah, benih yang ditabur dan dirawat, serta waktu memanennya.
Tanah tempat benih yang ditanam pendidik bukanlah benda mati, melainkan pribadi manusia yang setiap hari mengalami perubahan. Benih yang ditanam adalah aneka pengetahuan dan pelajaran tentang kehidupan. Perawatan terhadap tanah dan benih dilakukan dengan menghadapi aneka persoalan yang kompleks. Hasilnya baru dapat terlihat dalam jangka waktu yang panjang.
Keinginan Pendidik
Dari keseluruhan proses “bertani” yang dilakukan pendidik, sebenarnya hanya ada satu keinginan: pendidik menginginkan benih yang ditabur dapat tumbuh dan menghasilkan buah yang baik dan membahagiakan bagi semua orang. Ya, bahagiamu bahagiaku, itulah yang menjadi harapan terbesar dari profesi pendidik.
Kesetiaan dan kesabaran dalam berinteraksi dengan pribadi-pribadi yang unik di dalam kelas dan di lingkungan sekolah menjadi modal utama seorang pendidik sekaligus tuntutan wajib untuk membentuk diri layaknya seorang penabur benih. Pada akhir tahun pelajaran biasanya buah kesetiaan dan kesabaran para pendidik sedikit mulai terlihat.
Dinamika kelulusan maupun kenaikan kelas yang rutin terjadi setiap tahun dapat menjadi cermin kecil bagi para pendidik untuk menilai dan melihat buah kesetiaan dan kesabaran itu. Namun, sebelum sampai pada saat tersebut, banyak onak duri yang harus ditempuh para pendidik terutama dalam proses interaksi dengan peserta didik yang beragam persoalan dan keunikannya.
Laiknya seorang penabur benih, pendidik perlu memiliki aneka strategi agar benih yang ditanam dapat tumbuh dan bermanfaat. Peserta didik sebagai lahan tempat tertanam dan bertumbuhnya benih memiliki karakter yang berbeda-beda. Pengalaman membuktikan upaya menanamkan pengetahuan dan pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan tidak semudah dibayangkan dan direncanakan.
Keunikan tiap pribadi peserta didik memunculkan perbedaan tingkat penyerapan materi yang disampaikan dan penerapan nilai-nilai yang ditanamkan. Belum lagi adanya faktor-faktor eksternal yang memengaruhi pola pikir dan sikap mereka. Dalam hal ini, setiap individu mempunyai titik kuat dan keterbatasan yang berbeda.
Sebagai seorang “penabur”, pendidik dituntut memiliki kreativitas dalam pengolahan dan kejelian dalam menemukan cara agar pribadi-pribadi unik tersebut mencapai perkembangan dan pertumbuhan maksimal.
Dua hal ini diharapkan terjadi dalam proses pembelajaran sebagai serangkaian kegiatan yang mengedepankan kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, mengkomunikasikan, mencipta.
Learning by Doing
Mencermati proses pembelajaran demikian, kiranya baik untuk mencermati pola John Dewey tentang cara belajar learning by doing yang memberi kesempatan besar bagi peserta didik untuk berkembang maksimal. Cara belajar ini menekankan keterlibatan aktif setiap anak dalam keseluruhan proses belajar, baik secara intelektual dan emosional.
Melalui pola Dewey ini, peserta didik dimungkinkan untuk mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah, menganalisis serta mengevaluasi. Tentu, jika proses ini dilaksanakan secara benar, akan menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan memberikan kebahagiaan kepada peserta didik (Herman JP. Maryanto, 2011).
John Dewey berpendapat, “Education is a social process. Education is growth. Education is not a preparation for life, education is life itself.” Sejatinya, memang dalam profesinya, seorang pendidik bukan hanya memberi persiapan untuk hidup bagi para peserta didik, melainkan menuntut mereka untuk merasakan, mengalami, dan menjalankan proses hidup itu sendiri.
Segala yang dipelajari secara normatif di lembaga pendidikan merupakan dunia kecil dari luasnya praksis kehidupan yang akan dijalani setelahnya. Dari keadaan ini, kiranya pendidik pun memiliki kompetensi dan profesionalitas yang mumpuni sebab yang sedang dibimbing adalah subyek, bukan obyek.
Peserta didik bukanlah obyek, melainkan subyek pendidikan. Merekalah yang seharusnya berproses aktif untuk membentuk diri dan mengalami kebahagiaan di dalamnya.
Pendidik, dalam perannya sebagai fasilitator, dituntut tanggung jawab dan dedikasi tinggi. Hal ini tentu telah dilakukan oleh rekan-rekan pendidik yang dalam hidupnya berorientasi pada pencerdasan kehidupan anak-anak bangsa ini.
Namun, di sisi lain, mata kita tidak tertutup pada keadaan yang berbeda. Tidak sedikit kompetensi dan profesionalitas pendidik terbentur keadaan nyata di lapangan. Keterbatasan tangan untuk menjangkau daerah-daerah terpencil membuat pelaksanaan proses pembelajaran tidak dapat diseragamkan untuk seluruh daerah. Selain masih adanya faktor intern pendidik sendiri.
Kebahagiaan Pendidik
Penabur berbahagia tatkala melihat benih yang ditaburkan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Demikian halnya dengan pendidik. Kebahagiaannya terletak pada momen melihat mereka yang dahulu dia bantu dalam proses hidup melalui pendidikan mampu menjalani dan memaknai hidupnya dengan baik dan penuh kebahagiaan.
Nilai tidak pernah menjadi indikasi kemampuan dan keberhasilan peserta didik untuk bertindak dan berkarya dalam kehidupannya.
Kebahagiaan pendidik bersifat jangka panjang. Benih yang ditaburkan harus mengalami proses panjang untuk bisa menghasilkan buah. Jika kualitasnya bagus dan teruji, maka senyum bahagia akan tergores di wajah sang pendidik.
Meski keadaan sang pendidik tidak sebaik mereka yang dididiknya dahulu, namun kebahagiaan mereka sudah menjadi kebahagiaannya. []
Aloysius Kristiawan, S.Ag, praefect studiorum Seminari Menengah St. Paulus Palembang.
Email: aloysperfetto@gmail.com