Katolikana.com – Selama beberapa hari linimasa saya dipenuhi oleh Abdul Somad. Menjengkelkan sebenarnya. Orang senang membikin kontroversi yang hasilnya hanya akan membuat makin populer mereka yang membikin kontroversi. Ini sama seperti mengaduk air sabun bekas rendaman pakaian. Semakin diaduk semakin berbusa.
Kontroversi Somad membuat saya melihat kedalam. Ke komunitas Kristen, khususnya komunitas Katolik tempat saya berasal. Pertanyaan saya, sudahkah gereja Katolik Indonesia memaknai salib itu seperti yang diajarkan ataukah gereja memang memanggul salib yang didalamnya ada jin kafir seperti yang dikatakan Pak Somad itu?
Pertanyaan itu sebenarnya mengingatkan percakapan saya dengan seorang imam yang cukup senior beberapa waktu lalu. Saya bertanya, apa beda antara frater-frater (calon imam) sekarang dengan yang dimasa lalu? Jawabnya cukup nylekit. “Frater-frater saya sekarang lebih tahu dimana tempat makan enak daripada kondisi sosial apa yang dihadapi masyarakatnya.”
Itu membuat keusilan saya muncul. “Jadi, sekarang slogan mereka adalah óption for the opor?” Mungkin ini lelucon spontan yang agak keterlaluan.
Saya tidak mengidolakan masa lalu. Namun, melihat keadaan gereja Katolik sekarang, mau tidak mau saya melihat ke masa lalu. Saya mengalami saat-saat dimana gereja benar-benar bergelut dengan masalah-masalah keadilan sosial. Diam-diam atau terang-terangan gereja menjadi suaka bagi mereka yang mencari keadilan.
Jaman itu sudah berlalu. Gereja Katolik saat ini lebih memilih menjadi gembala yang memberikan bimbingan pastoral secara pribadi. Imam-imam yang populer adalah mereka yang bisa berkhotbah dengan lucu dan kocak; yang mampu menjadi motivator; atau yang mampu menenangkan hati-hati yang galau.
Imam-imam Katolik kemudian mengambil beberapa opsi lain untuk mewujudkan panggilannya. Sebagian asyik dengan karya yang semata-mata pastoral (dalam makna sempit) dan melayani umat yang lelah dalam hidup sehari-hari mereka. Sebagian menjadi entertainer. Sebagian menjadi spiritualis. Sebagian asyik dengan intelektualismenya.
Salahkah itu? Sama sekali tidak. Namun saya merasa ada sesuatu yang hilang dari gereja, yang membuatnya (setidaknya untuk saya) tidak menarik lagi.
Mengambil jalan option for the poor and vulnerable bukan sesuatu yang mudah. Ini adalah jalan yang sulit. Resikonya sangat tinggi. Tuntutan emosionalnya cepat sekali mengauskan hidup spiritual seorang yang beragama. Maksud saya, kemarahan-kemarahan yang muncul dari melihat ketidakadilan akan dengan cepat mendorong orang untuk menjadi depresi.
Saya pernah berurusan dengan seorang imam yang tulisan-tulisannya menusuk ulu hati. Yang mampu menggambarkan kemiskinan hingga ke nanah-nanahnya. Namun dalam level pribadi, imam ini sangat takut pada kekuasaan. Ketika dihadapkan pada kenyataan untuk memilih berpihak atau tidak, imam ini memilih untuk menyelamatkan dirinya dan perusahaan yang membesarkannya.
Orang bisa sangat romantis pada kemiskinan tanpa mau mengalaminya. Menjadi sangat heroik saat berbicara tentang keadilan tanpa mau berkonfrontasi dengan pencipta ketidakadilan. Jika Anda mau memilih berpihak pada yang miskin dan rentan, hampir tidak mungkin Anda tidak berbenturan dengan kekuasaan yang menciptakan kemiskinan dan kerentanan itu. Resikonya sangat mematikan. Persis pada titik inilah tidak banyak orang mau melakukannya.
Dalam perspektif itulah saya sesungguhnya menulis soal Abdul Somad ini. Menurut saya dia benar. Gereja Katolik saat ini memang sedang memanggul salib jin kafir.
Gereja Katolik: Suaka Kemanusiaan Papua?
Saya sedih dan marah melihat bisunya gereja berhadapan dengan isu-isu Papua. Ribuan orang mengungsi akibat operasi militer di Nduga. Ratusan orang meninggal di pengungsian. Tidak sepatah katapun pernah diucapkan oleh gereja. Saya bertanya-tanya pada kawan-kawan yang masih mengikuti misa minggu, apakah orang Papua ada dalam khotbah dan doa-doa di gereja? Jawabnya: tidak ada. Padahal para pengungsi ini adalah umat Kristen juga. Padahal mereka yang melakukan kerja-kerja kemanusiaan, termasuk melaporkan situasinya adalah imam Katolik juga.
Lalu apa yang dilakukan gereja ketika mahasiswa-mahasiswa Papua terkepung dan dihina? Adakah gereja menawarkan diri menjadi suaka untuk mereka?
Gereja Katolik Indonesia menjadi sangat kuatir (insecure) pada keminoritasannya. Keadaan ini sangat kontras dengan ketika masa kampanye Pilpres dimana para imam sangat aktif mengingatkan umat untuk memilih. Dan memilih salah satu calon. Hasil survei menunjukkan suara Katolik lebih dari 90 persen ke salah satu calon. Ini benar-benar öption for the powerful. Hasil maksimal dari doktrin minus malum yang dikembangkan oleh beberapa intelektual gereja.
Dari situlah sesungguhnya apa yang diucapkan Abdul Somad mendapatkan justifikasinya. Gereja harus bertanya, apakah salib yang dipanggulnya bukan salib yang berisi jin kafir?
*) Ulasan lain mengenai Salib, Abdul Somad dan Papua bisa disimak DI SINI!
Peneliti dan jurnalis lepas