Migrasi: Ziarah dan Mati Raga

Puisi tentang migrasi para migran di Malaysia, ada banyak migran yang berasal dari Indonesia Timur.
Di balik sabana, bukit-bukit, ngarai, tanah landai, permadani hijau ditingkah cakrawala biru, jalan berliku, tepian laut berbatu, alam timur matahari yang mempesona.
Mereka memanggil binar-binar mata yang sebentar saja datang menjenguknya.
Kemiskinan kita sukar disembunyikan, pun sukar dicerna berpuluh-puluh tahun.

 

Kalau kutanya mengapa kau jemput tanah asing yang memanggilmu dengan muslihat basi yang diulang-ulang itu, jawabmu masih sama saja: lapar kami tak ada obatnya di sini.

 

Anak-anak mesti selesai sekolah.
Jangankan anak kawin, matipun mesti punya berjuta-juta, betulkah?
Siapa yang menanam itu dalam pikiran kita?
Dengan apa bisa kita cabut dan teliti janji-janji basi itu sejernih-jernihnya?
Dengan apa kita koreksi alam pikir kita yang menghujam begitu dalam, bergadengan erat dengan kepapaan?

 

Padahal, di tanah hutan hujan yang tabah ini,
Pojok-pojok pulau jawa, ujung utara sulawesi, tepi-tepian sumatra, segala penjuru disalahkan sebagai kantong-kantong kemiskinan.
Ironi di atas tanah subur yang sembarang biji saja bisa jatuh, tumbuh, rimbun, berbunga, berbuah, lalu dipanen entah oleh siapa, karena bukan kita empunya.

 

Pernahkah kita ditusuk dingin sampai ke tulang?
Atau dibakar musim mendekati separuh titik didih?
Kalaulah kita pernah berkaca pada benua-benua seberang yang kerontang itu,
pada zaitun yang tumbuh di antara batu,
pada penghuninya yang mesti berdamai dengan musim-musim yang garang sejak dulu.
Kita mestinya belajar bahwa tetap saja mereka tanam kaki di sana,
sampai berakar dan beranak cucu.
Keluh pasti ada, tapi tak serta-merta lari menjemput janji tenar mengiang dari seberang lautan yang tak pasti kebenarannya.

 

Kalau kutanya dengan rasa apa engkau pamit dan memulai ziarahmu,
Jawabmu pasti: harapan
Pun kalau engkau pergi sembunyi-sembunyi sengaja tanpa pamit: rasa yang menjemputmu mangkat masih sama, harapan.
Ziarah kita ini bukan anjangsana, kunjungi saudara atau sebuah pesta.
Ia adalah mati raga, seperti para pertapa yang berdoa khusuk dari gurun untuk dunia di luar sana.

 

Mati raga kita ini demi hidup yang perlu diteruskan di tanah asal kita.
Kita pamit dengan rasa goyah dan sakit.
Salib akan dipanggul hingga ziarah ini sampai ke ujung.
Sunyi dan rindu yang ditahan bertahun-tahun,
pun sampai keluarga yang sakral kadang porak-poranda.
Meski begitu, ada juga buah-buahnya.
Muka berbinar ulurkan foto anak jadi sarjana.
Tetap tak kaya, tapi pintar sekurang-kurangnya.

 

Di zaman purba dulu moyang kita berlayar menepuk dada.
Merantau adalah nadi kita sejak dahulu kala.
Dosa siapa yang sedang kita pikul sekarang sampai-sampai kita berangkat berbekal nestapa, berjalan merunduk seolah-olah kita ini hamba sahaya?
Rantau ini terpaksa kita dekap dengan rasa malu dan harga tak seberapa,
sebab kita tak selesai membaca dan membangun akal.
Ini salah siapa pula?
Para hulu balang, raja, empu dan cendekia?

 

Ziarah kita ini bukan medan perang,
tapi tahun lalu seratus lebih peti mati mengantar anak-anak kita pulang.
Peti-peti begini sudah berubah jadi angka.
Kita sudah mulai mati rasa dan terbiasa sejak tahun-tahun yang enggan kita hitung lagi.

 

Kemarin kuterima kabar hangat.
Anak-anak baru lahir
menyusul ibu bapanya di sini.
Rupanya migran melahirkan migran.
Datangnya bayi-bayi itu mestinya kita sambut dengan riang.
Tapi tak ada catatan tentang mereka di kantor catatan sipil.
Sampai akhil balik lewat nanti mereka tak bisa mencecap sekolah di sini.
Di abad mutakhir ini, batas-batas negara jadi keras.
Menjadi perantau adalah warisan nasib ibu bapa kepada anak-anak,
mungkin cucu-cucu.

 

Kajang, 25 Mei 2020

Warga Indonesia, bekerja sebagai konselor bersama Tenaganita, sebuah organisasi masyarakat sipil di Malaysia yang bekerja untuk perlindungan hak-hak pekerja migran dan pengungsi. Puisi-puisinya bisa dibaca pada https://allpoetry.com/Fajar_Santoadi

Indonesia TimurMalaysiaMigranPilihan EditorPuisi
Comments (0)
Add Comment