Katolikana.com, Jakarta — Katolikana kembali mengadakan Live Talkshow #BincangKAMU #Katolikana edisi kedua “Ganteng-Ganteng Misionaris” pada Senin (27/7/2020).
#BincangKAMU edisi kedua menghadirkan narasumber tiga misionaris Indonesia: Yohanes Fajar Suwasono SVD di Panama, Pater Marno Kedy SVD di Ekuador, dan Romo Ronny Gual Harum SX di Afrika.
Mereka berbagi kisah seputar tantangan, tujuan misi, hingga pergulatan yang dirasakan di negeri orang. Talkshow edisi kedua ini dimoderatori oleh reporter Katolikana Brayen Indrawan dan Clementina Orinta.
BACA JUGA: Kisah Misionaris Indonesia di Negeri Orang (1): Makan dan Minum Harus Disiapkan Sendiri
Lingkungan dan Keluarga Bentuk Asa
Misionaris bukanlah sebuah cita-cita dambaan sejak kecil bagi ketiga room. Romo Ronny Gual Harum SX mengaku sebetulnya menjadi misionaris atau bahkan menjadi imam, bukan merupakan keinginan dari kecil.
“Tapi sejak SMP dan SMA tinggal asrama banyak mendapat pengalaman dan kesaksian para Pastor,” ujarnya.
Begitu pula dengan Romo Marno yang kecilnya bercita-cita menjadi tentara dan Romo Fajar bercita-cita menjadi Pastor.
Ketiganya mengakui peran yang diambil sebagai Misionaris saat ini tidak terlepas dari peran lingkungan keluarga, paroki serta berjalannya waktu untuk membentuk asa serta merasa adanya panggilan.
“Lingkungan keluarga yang membuat saya seperti ini, artinya muncul lah apa yang namanya benih-benih panggilan itu,” ujar Romo Marno saat Live Talkshow (27/7/2020).
Romo Fajar menambahkan, “Panggilan menjadi imam sudah ditanamkan sejak kecil oleh Bapak dan Ibu saya. Jadi setiap pertanyaan datang mau jadi apa, jawabannya menjadi Pastor.”
Bahasa Tantangan Pertama, Tapi Bukan Utama
Setibanya di Bandara ibu kota Ecuador pada 2016, Romo Marno tidak menyangka semua total menggunakan bahasa Spanyol, sementara persiapan yang dilakukan dari Seminari hanya memperkuat penggunaan berbahasa Inggris.
Hal ini tentu menambah deretan dari tantangan lainnya seperti lamanya perjalanan dan perlengkapan yang dibawa dari Indonesia. “Memang tantangan pertama saya adalah Bahasa,” ujar Romo Marno.
Bagi Romo Fajar, “Bagi saya hampir sama. Tantangan itu datangnya pertama dari lidah, dalam hal ini bahasa dan makanan.”
Selain bahasa, bagi Romo Ronny tantangan lainnya seperti culture shock di mana perlu waktu untuk menerima dan memahami budaya baru. Menurut Romo Ronny, tantangan jangan dianggap sebagai tantangan melainkan kesempatan yang perlu dinikmati prosesnya.
“Ketika melewati masa yang begitu lama dalam kehidupan misi, tantangan yang kita alami sewaktu pertama kali kita masuk tidak dilihat lagi sebagai tantangan tetapi kesempatan yang perlu disyukuri,” papar Romo Ronny.
Nilai Luhur Budaya Daerah Misi Jadi Pergulatan
Tantangan juga bisa datang dalam diri yang berkaitan dengan hati. Bukan hal yang tidak mungkin, misionaris merasakan galau, sedih, kecewa yang kemudian menjadi sebuah pergulatan.
Romo Ronny merasakan pergulatan atas realita yang dilihatnya di Afrika. Tempat yang menjadi daerah misinya hampir 14 tahun masih memiliki nilai tradisi-tradisional yang sangat kuat.
Romo Ronny merasa sulitnya mengajak umat untuk mengikuti sebuah pastoral yang baru. Ia menemukan pernikahan sangat jarang terjadi di Paroki, selebihnya memilih hidup bersama tanpa menikah.
“Ketika kita berbicara tentang hal-hal itu, yang menyentuh eksistensi budaya ada penolakan, misalnya apakah kamu bisa menyelamatkan kami. Artinya nilai-nilai budayanya sangat kuat,” terang Romo Ronny.
Hal serupa juga dirasakan oleh Romo Marno. Bentrok dengan realita akan budaya yang dihadapi di daerah misi menimbulkan pertanyaan dalam diri tentang makna kehadiran dirinya di Ecuador.
“Saya bisa tidak atau untuk apa saya di sini? Sudah jalan jauh-jauh yang ikut hanya dua sampai tiga orang. Lebih baik saya pulang” ujar Romo Marno.
Romo Marno menambahkan, partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi atau perayaan liturgis lainnya pada negara yang mayoritas Katolik cukup minim. Hal ini yang menjadi pergulatan batin bagi Romo Marno secara pribadi.
Bawa Kabar Baik, Bukan Mengubah Orang
Melihat berbagai realita di tanah misi serta pergulatan yang dirasakan, tentu misionaris mulai menetapkan tujuan utama atau goals yang ingin dicapai di tanah misi.
Pergulatan batin yang dirasakan Romo Marno membawanya menentukan tujuannya kepada umat untuk memaknai dan menghidupi setiap aktivitas keagamaan.
“Kira-kira apa sih yang membuat mereka merasakan diri bahwa saya Katolik, saya dibaptis? Untuk itu saya menghidupi iman saya dengan cara yang tepat, misalnya hari Minggu di mana saya harusnya berada,” jelas Romo Marno.
Begitu pula yang dilakukan Romo Fajar. Ia menginginkan bagaimana orang muda dan keluarga muda setempat dapat berakar dengan iman Katolik. Sehingga, diharapkan partisipasi atas aktivitas keagamaan cukup baik seperti Sakramen.
Bagi Romo Ronny, mewartakan Kristus kepada yang belum mengenal-Nya menjadi salah satu tujuan misi sesuai tujuan kongregasi. Hal ini ditempuh dengan memasuki setiap kehidupan umat dengan cara mereka, namun tetap memikirkan jalan keluar sesuai Injil.
Ketiga misionaris ini menyadari tujuan kehadiran di tanah misi bukanlah untuk mengubah pribadi seseorang. Kehadiran misionaris adalah membawa kabar baik tentang Kristus berdasar pengalaman iman dan studi yang dialami.
“Perubahan seseorang untuk menghidupi dan berakar pada Katolik biarlah Tuhan yang tentukan,” tegas Romo Ronny.
Selengkapnya saksikan rekaman talkshow berikut ini.
Reporter: Brayer Indrawan
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.