Katolikana.com, Jakarta — Konstitusi Republik Indonesia disahkan tiga tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Sebagai bagian komunitas bangsa-bangsa sejagad, Indonesia telah meratifikasi dua norma babon hak asasi manusia.
Pertama, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dipadukan ke dalam sistem hukum nasional Republik Indonesia menjadi UU RI No. 11 Tahun 2005.
Kedua, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, diratifikasi menjadi UU RI No. 12 Tahun 2005.
Dengan ratifikasi kedua perjanjian sejagad tersebut, Indonesia mencanangkan janji untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.
Kenyataannya, di tengah refleksi 75 tahun Indonesia merdeka, kondisi hak asasi manusia belum membesarkan hati. Banyak warga negara Indonesia masih mengalami pelanggaran hak asasi manusia, bahkan lewat legislasi.
Katolikana lewat #SerialWebinarKebangsaan ‘Panggilan Publik Umat Beriman: Tantangan dan Terobosan Di Era Tatanan Baru’ seri kedua mengangkat tema ini dengan tajuk ‘Membangun Kota yang Beradab’. Talkshow seri kedua ini berlangsung Rabu (19/8/2020) pukul 20.00 WIB dipancarkan lewat kanal YouTube Katolikana serta radio.katolikana.com.
Sesi Talkshow ‘Membangun Kota yang Beradab’ dengan pijakan awal pengalaman Kota Depok ini menghadirkan empat narasumber: Inayah Wulandari Wahid (Gusdurian, aktivis seni, budaya, dan HAM), Hendrik Tangke Allo (Wakil Ketua DPRD Kota Depok), Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM RI), dan Ustadz Syahroni (Ketua Badan Amal Sosial Lintas Agama Kota Depok).
Mengawali perbincangan, moderator Alexander Laur menyitir orasi kebangsaan Saiful Mujani dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18 Agustus 2020.
“Saiful Mujani menyebut populisme Islam mengancam kebhinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi. Populisme ini tidak hanya datang dari kelompok politik agama, melainkan juga kelompok nasionalis,” kutip Alex.
Dari sitiran ini diskusi bergulir dengan uraian pengalaman dan perspektif para narasumber. Apa ciri kota beradab? Bagaimana kota beradab bisa dibangun?
Menanggapi Kepentingan Warga
Hendrik Tangke Allo dengan latar pengalaman sebagai legislator di DPRD Kota Depok menyebut kota yang beradab adalah kota yang berorientasi kepada penghuninya.
“Kota yang beradab menanggapi semua kepentingan warganya termasuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan toleransi antar umat. Kota yang beradab selaras dengan tujuan pembanguan berkelanjutan (SDGs),” ujar Hendrik.
Hendrik menambahkan, di Kota Depok persoalan keberagaman kadang luput dari perhatian pemerintah. Beberapa waktu lalu heboh Pemkot Depok mengusulkan raperda yang diskriminatif, Raperda Kota Religius.
“Bagi saya sebagai anak bangsa, persoalan religiusitas setiap warga negara tidak boleh dicampuri oleh negara. Jika dipaksakan maka rentan terjadi konflik horizontal. Kota Depok dengan 2,2 juta penduduk begitu beragam. Beragam agama dan suku ada di Kota Depok. Raperda Kota Religius sangat diskriminatif karena mengatur hal-hal privat.”
Sembilan Prinsip Kota yang Beradab
Beka Ulung Hapsara menyebut setiap tahun Komnas HAM RI menerima pengaduan warga tentang dugaan pelanggaran HAM: penggusuran, PHK, konflik SDA, kekerasan, diskriminasi. Pemerintah daerah menjadi pihak ketiga paling banyak diadukan ke Komnas HAM RI, di nomor dua ada sektor swasta, dan polisi di urutan pertama.
“Persoalan terkait pelanggaran kebebasan beribadah berkeyakinan juga menjadi salah satu aduan terbanyak. Sejak 2013 Komnas HAM RI berperan dalam kampanya kota/kabupaten ramah HAM, kota/kabupaten di mana tata kelola pemerintahannya berdasarkan prinsip dan standar HAM,” papar Beka.
Merujuk ke sana, Beka Ulung Hapsara menyebut kota yang beradab selaras dengan sekurangnya sembilan prinsip.
- Hak atas kota, warga memiliki kesadaran akan kepemilikan kota.
- Nondiskriminatif, kota harus ramah kepada siapa pun.
- Akuntabilitas, bukan hanya soal keluaran kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan namun juga terkait proses pembuatan kebijakan publik.
- Partisipatoris, setiap kebijakan harus partisipatif.
- Keadilan sosial, negara harus hadir untuk memastikan warganya mendapatkan perlakuan yang adil.
- Solidaritas, bukan hanya soal intoleransi namun juga solidaritas kemanusiaan saat terjadi problem pembangunan.
- Keberpihakan kepada kelompok rentan termasuk difabel.
- Inklusi sosial dan keragaman budaya.
- Keberlanjutan, setiap kebijakan publik tidak putus berhenti di lima tahun periode jabatan kepala daerah, juga terkait keberlanjutan nilai Pancasila dan UUD 1945.
Beka menyebut Kabupaten Wonosobo dengan Perda Kabupaten Wonosobo No. 5 Tahun 2016 tentang Kabupaten Wonosobo Ramah Hak Asasi Manusia disebut sebagai salah satu model.
“Wonosobo sangat toleran. Warga minoritas hampir tidak mengalami persoalan. Wonosobo pun memiliki Komisi HAM Daerah dengan wewenang terbatas untuk memastikan implementasi perda kabupaten ramah HAM.”
Beka menambahkan, meski belum sempurna, Kabupaten Wonosobo bisa menjadi contoh yang baik, daerah harus maju dan beradab. Salah satu tantangan besar upaya mewujudkan kota yang beradab adalah penciptaan kebijakan publik yang tidak diskriminatif.
Agama Itu Personal, Tidak Usah Diatur
Ustad Syahroni menekankan seluruh agama mengajarkan hidup damai. Agama harus mengayomi seluruh umat. Seharusnya, saat nama tuhan disebut maka orang gembira dan bahagia. Jika yang terjadi sebaliknya, maka itu memprihatinkan.
Lebih lanjut Ustadz Syahroni mengingatkan pesan Gus Dur, “Agama itu personal, jadi tidak usah diatur-atur oleh pemerintah.” Menurutnya, untuk mengatur orang bekerja di sektor agama, sudah ada peraturan lain yang mengaturnya, tidak perlu dengan perda baru. “Kota dibangun tidak boleh atas dasar keinginan kelompok tertentu,” tegasnya.
Implementasi Jauh Panggang dari Api
Mewakili generasi muda, Inayah Wulandari Wahid menyebut, “Kota yang beradab menjadi tempat nyaman untuk mengembangkan diri dan menjalani hidup sehari-hari. Ia seperti rumah, tempat saya diterima seutuhnya apa pun identitas saya. Ia inklusif. Difabel dan lansia bisa mandiri di sana. Ia ramah untuk perempuan. Ada partisipasi aktif masyarakat. Ia berkelanjutan dan generasi muda bisa berekspresi di sana.”
Inayah menegaskan bahwa kita sudah punya cukup regulasi, namun implementasinya jauh panggang dari api.
“Perda yang berbasis agama mayoritas bukan hanya diskriminatif kepada pemeluk agama minoritas, tetapi juga membawa sudut pandang diskriminatif kepada kelompok rentan lain: perempuan, warga yang berbeda orientasi seksual, sekte pun aliran yang berbeda. Juga kepada yang memutuskan tidak pakai hijab seperti saya. Diskriminasinya akan ke mana-mana. Berpotensi merusak,” ujar Inayah.
Dengan nada jenaka, Inayah juga menyentil keberadaannya sebagai satu-satunya perempuan di dalam sesi.
Peran Pemerintah-Negara
Beka Ulung Hapsara menekankan bahwa pemenuhan HAM wajibnya ada pada negara.
Penegasan ini disambung oleh Hendrik Tangke Allo, “Kota yang beradab bisa dicapai dengan regulasi kuat yang berpihak kepada penghuni kota.”
Lalu apa yang perlu dilakukan? “Perbaikan aspek perencanaan kota secara partisipatif, transparansi kebijakan, perbaikan sistem respon darurat terutama bantuan untuk kelompok marginal, perbaikan serta perluasan bantuan sosial, dan memastikan keterlibatan serta keterwakilan masyarakat dalam pembuatan regulas,” tambahnya.
Ustadz Syahroni juga melihat dalam perwujudan kota yang beradab, peran besarnya ada pada pemerintah-negara, tanpa melihat latar belakang kelompok, tidak membedakan agama.
“Berbuat baik dan menolong orang tidak boleh menanyakan agama. Saat pendirian rumah ibadah harus betul sesuai kebutuhan, tidak ada rekayasa, warga harus diajak bicara. Yang mayoritas gampang saja mau buat tempat ibadah, tapi yang minoritas masih sering repot. Tidak boleh lagi ada seperti itu,” ujar Ustadz Syahroni.
Inayah menyebut, “Kadang lebih mudah mengajak anggota Black Pink menjadi sobat hijrah daripada menunggu pemimpin benar-benar menerapkan regulasi yang tepat. Ada pemda melakukan pembiaran diskriminasi, atau lebih parah mendukungnya, atau malah menyuburkannya karena akan menguntungkan mereka, atau malah mereka sendiri yang menjadi pelaku diskriminasi.”
Peran Orang Muda
Terkait peran generasi muda, Inayah menegaskan, “Kita tidak bisa menunggu pemerintah. Masyarakat sipil perlu bergerak. Orang muda ada di situ.”
Lalu apa kontribusi oleh orang muda? “Banyak sekali! Orang muda bisa memastikan sistem demokrasi berjalan baik, mencek privilege masing-masing juga penting. Kesadaran tetap harus dijaga. Orang muda bisa menggunakan suara di pemilu dan di medsos. Semua itu butuh literasi, kesadaran, dan sudut pandang yang terlatih,” ujar Inayah.
Inayah juga membagikan pengalaman yang menyesakkan hatinya. “Ada dua kelompok warga yang kehilangan tanahnya, ada juga kelompok minoritas menyuarakan kesakitan karena diskriminasi. Namun suara warganet justru menyalahkan si minoritas dan korban, menuduh mereka lebay dan terlalu menuntut,”ujarnya.
Inayah menambahkan, “Hari ini yang menjadi masalah bukan hanya ketidakadilan oleh yang berkuasa namun juga ketidakadilan oleh kelompok masyarakat bahkan anak muda. Sebagai contoh, pertanyaan ‘pakai baju apa?’ masih selalu dilayangkan kepada korban pelecehan seksual. Namun, kita masih punya harapan besar, teman muda punya kekuatan besar di situ,” papar Inayah.
Harapan Ke Depan
Menanggapi pertanyaan audiens, Hendrik menegaskan pemerintah tidak boleh memunculkan perda diskriminatif. Postur APBD juga tidak boleh diskriminatif.
“Saya menolak raperda kota religius, tidak hanya bicara Depok tapi kita bicara Indonesia dan mayoritas yang mana pun di daerah mana pun. Tidak boleh ada perda diskriminatif.”
Beka Ulung Hapsara menyambung bahwa Pemda bisa dilatih agar peka terhadap hak asasi manusia. “HAM bukan hanya soal toleransi atau hormat-menghormati namun juga soal pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, pendidikan berkualitas dan inklusif, akses transportasi publik yang mudah, dan lain sebagainya,” ujar Beka.
Beka juga menegaskan, ”Jangan sampai juga aparat negara justru ikut menekan korban seperti dalam pengalaman midodareni di Solo. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi.”
Jeppy Purba, salah satu partisipan diskusi menulis, “Kota beradab ditentukan juga oleh masyarakat yang beradab. Manusia yang ada di masyarakat harus memanusiakan manusia. Itu yang bermartabat.”
Di akhir perbincangan, Ustadz Syahroni menegaskan, “Kota beradab menjadikan masyarakatnya bisa menjalankan kewajiban warga negara dan penganut agama dengan baik. Masyarakat bisa mendapatkan seluruh haknya dengan baik tanpa diskriminasi.” Inayah menambahkan ciri kota yang beradab, “Inklusif, egaliter, demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum, hak-hak semua terpenuhi melalui regulasi yang baik dan tepat, dengan masyarakat sipil yang kuat.”
Hendrik Tangke Allo menegaskan, “Membangun kota beradab yang berorientasi kepada penghuninya butuh pemimpin yang berempati dan memiliki hati.” Dan Beka Ulung Hapsara menggarisbawahi, “Kota yang beradab adalah yang mampu memenuhi amanat Konstitusi dan Pancasila. Butuh komitmen pemimpin dan partisipasi publik yang kuat.”
Menutup diskusi, moderator membagi simpulan, “Perwujudan kota yang beradab menjadi tanggung jawab seluruh warga negara, bahu membahu negara dan warga untuk membangun kota yang inklusif, kota yang pro-HAM, kota tempat setiap umat beriman bisa menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak masing-masing.”
#SerialWebinarKebangsaan digelar oleh Katolikana dan didukung oleh Jaringan Kristiani Indonesia, Purisbang Paroki Santo Paulus Depok, Ikatan Sarjana Katolik Kota Depok, Pemuda Katolik Presidium Kota Depok, Vox Point Indonesia DPC Kota Depok.
Rekaman Talkshow lengkap bisa diakses melalui Channel Youtube Katolikana.
Biasa dipanggil Wiji. Alumna IHRTP 2008 dan warga RightsCon Community yang betah sebagai pekerja ornop. Pernah magang pemantauan media di LP3Y dan menekuni advokasi anggaran. Masih menjadi relawan komunitas pengendalian tembakau di JSTT, relawan komunitas literasi melawan misinformasi-disinformasi di Mafindo, dan turut peduli hak difabel. Sekarang sehari-hari berkarya menemani pencari suaka.