Icha Chandrasa, Penyintas Kanker Payudara:  Hidup Mesti Disyukuri

Jatuh bangun penyintas menghargai kehidupan dengan bersyukur.

Katolikana.com, Yogyakarta — Namanya Icha Candrasa, usianya 35 tahun saat ini. Melihat Icha berjoget line dance dengan lincah, rasanya ia terlihat sebagai mama muda yang sehat dan ceria. Mata yang selalu berbinar dan bibir yang murah senyum. Suara Icha juga renyah, baik saat bicara atau menyanyi. Hidupnya sempurna; wajah cantik nan sumringah dan bisa berdendang dengan suara merduanya.

Bukan hidup namanya kalau tak ada batu sandungan dan cobaan. Dan itu terjadi pada tahun 2014, Juni tepatnya. Usianya baru 28 tahun saat ia divonis kanker payudara stadium 2B. Pengobatan medis ia tempuh. Kemoterapi sebanyak 16 kali setiap 3 minggu dan Radioterapi sebanyak 25 kali, lalu dilanjutkan dengan terapi hormon dengan minum Tamoxifen 20 mg per hari yang direncanakan selama lima tahun.

Jangan tanya kegalauannya. Hatinya ciut, bingung juga sedih. Kemoterapi itu menakutkan baginya. Belum lagi saran kiri-kanan untuk mengonsumsi ini-itu, atau justru melakukan pengobatan alternatif. Semua ia tampung, tapi lama-lama justru memperbesar kekhawatirannya. Berbagai andai yang bersautan di kepalanya ia alihkan dengan mendengarkan musik, bernyanyi dan berdoa.

Setelah mengendap, ia bisa membuat keputusan pasti; pengobatan medis yang jadi pilihan dan kemoterapi jadi adalah bagian yang terelakkan. Kemo lancar dan tepat waktu. Efeknya baru terasa tiga hari kemudian. Mual, muntah, bolak-balik ke WC, rambut yang mulai berjatuhan dan akhirnya rontok. Tapi ia tetap memaksakan makan dan minum yang memberikan nutrisi yang baik selama terapi.

 

Icha menari bersama teman-teman penyintas kanker Yayasan Kanker Indonesia Cabang Yogyakarta. Foto: Istimewa

 

Tuhan Sayang

“Mungkin ini teguran Tuhan. Betapa dulu saya hidup seenaknya. Permisif dengan mereka yang merokok di sekitar kita. Tidak menjaga tubuh, begadang dan hidup yang tidak teratur. Mungkin Tuhan menyapa lewat penyakit ini,” ujar Icha. Hidup di kota besar membuat kita kadang lupa bedanya pagi dan malam, berkegiatan dan lupa dengan waktu. Itu juga yang dilakukan Icha saat itu.

Saat proses pengobatan usai dan dinyatakan bersih dari sel kanker, Icha aktif kembali. Bekerja dan hidup menggereja. Kegiatannya ditambah dengan bergaul dalam komunitas kanker di Bandung. Kerikil sudah ia lewati. Kini hanya cukup berhati -hati dengan makanan dan waktu istirahatnya.

Mungkin Tuhan hanya menyentil untuk mengingatkan agar kita mencintai tubuh dan hidup kita. Barangkali sentilan hanya sekali saja. Juni, lagi-lagi Juni jadi bulan yang istimewa baginya. Kali ini di tahun 2018, suaminya menempati tugas baru di Yogya, dan memboyong Icha dan anak semata wayangnya. Barangkali Bandung dan Yogya tak jauh beda, kota ini sama-sama diciptakan dari kenangan-kenangan penghuninya. Icha pasti akan mudah beradaptasi. Dan itulah yang terjadi.

Saat cintanya mulai tumbuh, sentilan Tuhan kembali terjadi. “Akhir Oktober aku meraba payudara dan seperti ada otot yang menebal, di atas dada kiriku. Tepat di atas bekas operasi mastektomi dulu. Aku berpikir bahwa itu bukan sesuatu yang perlu aku khawatirkan,” ujarnya.

Icha saat perawatan di rumah sakit. Foto: Istimewa

Benjolan ia abaikan, hingga November 2018, Icha bertemu dengan profesor ahli bedah onkologi untuk memeriksakan otot yang janggal tadi. Terlebih, ia memang terganggu dengan rasa nyeri di punggung kiri dan pegal-pegal di seluruh badan. Dokternya tegas memerintahkan; mamografi dan biopsi.

Hasil uji patologi menunjukkan bahwa jaringan yang diambil dari benjolan terdiri dari sel kanker payudara dengan grade 3, yang diduga sebagai kanker yang kembali (residif). Dokter bedah menyarankan pengangkatan benjolan tersebut sesegera mungkin. Operasi yang diharapkan bisa terjadi secepatnya tidak bisa dilakukan karena sampai satu bulan tidak ada kamar untuk rawat inap pascaoperasi.

Baru di awal tahun 2019, tepatnya 7 Januari, ia mendapat kamar, itu pun di rumah sakit lain. “Aku menjalani “pengangkatan secara luas” dari benjolan tersebut termasuk daerah sekitarnya, Langkah ini perlu untuk memastikan bahwa daerah yang ditinggalkan bersih dari sel kanker,” paparnya.

Dokter yang melakukan pengangkatan memberitahunya bahwa ternyata jaringan kanker yang timbul kembali tersebut tumbuh ke arah dinding atau otot dada dan hampir menempel ke tulang dada sehingga membuat dokter harus berhati-hati mengambilnya.

Hasil uji patologi dari tumor baru ini menyimpulkan bahwa jaringan tersebut adalah lobular karsinoma mamae, grade 3. Ukurannya 2 x 0.5cm dengan tebal 3cm. Terapi yang dianjurkan adalah kemoterapi 6x per 3 minggu, dilanjutkan dengan radioterapi. Mendapatkan kanker di usia muda memang rawan untuk kambuh. Risikonya tinggi untuk kambuh kembali.

Hidupnya nano-nano jadinya. Tapi pengalaman mengajarkan, ia tak boleh merasa sendiri saat sedang terpuruk dengan sakitnya ini. Komunitas dan orang-orang terdekat adalah support system yang membuatnya bangkit kembali.

Ndak tahu kenapa Tuhan sayang banget sama aku, ya. Sampai dapat caca (panggilan untuk penyakit kankernya) dua kali. Mungkin aku diingatkan untuk hidup lebih selow dan peduli dengan teman-teman yang baru saja divonis kanker dan memerlukan penguatan,” ujarnya.

Berserah tak cukup. Biaya pengobatan kanker tak murah. Terlebih tidak semua obat dan terapi kanker dijamin BPJS. Ratusan juta akan raib begitu saja. Uang yang tak mungkin didapat dalam sekejap apapun usaha yang dilakukannya.

“Dalam diam dan menangis. Tapi saya percaya Tuhan itu ada dan luar biasa. Ia menggerakan banyak tangan untuk membantu saya, termasuk pengumpulan dana di Kitabisa.com yang mencapai ratusan juta pada bulan Februari 2019,” ujarnya. Ia percaya keajaiban itu selalu ada, termasuk mendapatkan dana untuk terapi dan bisa survive hingga kini.

Icha tetap aktif bersama teman-teman penyintas. Foto: Istimewa

Bersyukur

Meski harus hidup dengan kanker selama 5 tahun, ia belajar banyak dari caca. Ia belajar untuk menerima diri dan bersyukur. “Itu yang seringkali kita lupa, bersyukur. Jangan banyak mengeluh. Dengan mengeluh, kita tak melihat kemudahan-kemudahan yang sudah Tuhan berikan.

Carila nama Icha Chandrasa di Youtube. Anda pasti kita akan menemukan perempuan dengan kepala botak, mata berbinar dan senyum yang cerah. Ya, terapi membuat rambutnya lenyap. Malukah ia dengan kepala botaknya? Risaukah ia dengan standar cantik yang diciptakan perempuan di dunia?

“Botak tetap bisa cantik. Tidak usah khawatir, ada wig, syal atau bahkan kupluk. Yang penting sembuh dulu. Bertahan hidup untuk keluarga dan juga diri saya sendiri,” tegasnya.

Icha yang bekerja di Jesuit Refugee Service Yogyakarta ini berpesan, saat vonis kanker datang, jangan merasa sendiri. Ada komunitas yang siap mendampingi. Ada Tuhan yang membuat kita tak merasa sendiri. Dari caca ia belajar sumeleh. Tak perlu semua dipikirkan, tak semua perlu di-baper-kan. Urip kudu dijogeti, itu yang membuat Icha terus menari.

Sebelas tahun menjadi wartawan dan 13 tahun menjadi Public Relations di perusahaan. Bergiat dengan Yayasan Syair kehidupan untuk mendampingi anak-anak dengan HIV, dan sosialisasi kebaya untuk pakaian sehari-hari di Komunitas Kebaya Kopi dan Buku. Aktif di Badan Pengurus Pusat Perhumas Indonesia. Menulis untuk tetap memelihara ingatan perjalanan kehidupan. Dan bergembira belajar bahasa Indonesia secara daring setiap Senin dan Kamis di Facebook. Belajar fasilitasi di The International Association of Facilitators (IAF) Chapter Indonesia.

KisahPenyintas Kanker PayudaraPilihan Editor
Comments (0)
Add Comment