Koordinator Pemain Film Soegija, Sara Lea Tunas: Tuhan Baik, Semesta Baik

Saya pernah kehilangan kepercayaan Gereja, tapi tidak dengan imanku.

Katolikana.com — Semesta selalu punya cara untuk menjawab doa. Begitu Sara Lea Tunas mempercayainya. Ia pun menjadikan kalimat berikut ini sebagai mantra; Tuhan baik, semesta baik. Begitulah keyakinannya. Mantra ini menentramkan hatinya.

“Ketika aku merasa berat, itu jadi mantraku. Semesta itu rangkaian kosmik dari perbuatan karma yang aku lakukan juga. Apa yang aku berikan pada orang-orang itulah yang membangun semestaku. Aku dibungkus sama hal-hal baik.” Demikian, ungkap Sara Lea Tunas dalam bincang daring di IG @Baik.tv, pada Minggu (18/8/2020) lalu.

Sara Lea Tunas, akrab dipanggil Sara, tampak asyik berbincang-bincang dengan Donny Verdian, penyanyi, pengamat musik, aktif menulis di Supserblogger Indonesia, dan pengelola channel IG @Baik.tv.

Saralea Tunas saat ini lebih dikenal sebagai pelari dan aktif di komunitas IndoRunners. Sebagai pelari, ia telah melewati jarak tempuh dari lima hingga sepuluh kilometer, bahkan ia telah melewati ajang lari half marathon dan full marathon, dan kini menuju ultra marathon.

Bincang daring Sara dengan Donny ini soal topik 100 Persen Katolik dan 100 Persen Indonesia. Dan, sebenarnya, tak banyak yang tahu bahwa ia menyelesaikan Sarjana Pendidikan jurusan Pendidikan Katolik. Namun, dalam bincang-bincang itu ia tak ingin mewartakan kabar baik dalam konteks teologi. “Aku ngomongin jadi praktisi saja, menjalani Katolik sehari-hari,” ujarnya.

Menurut Sara, iman itu bukan kata benda. Ia merupakan kata sifat dan kata kerja. Maka ia menyayangkan kalau banyak yang menjadikan agama sebagai simbol religiositas dengan ke gereja, nyanyi, pendalaman iman, paduan suara dan aktif di gereja. “Ini jadi simbol. Padahal jadi Katolik itu balik ke yang paling utama. Kenali dulu, esensinya apa dan yang kamu ikuti itu siapa,” jelas Sara. Ia tak ingin Katolik cuma jadi agama dan simbol di KTP saja.

Sara Lea Tunas/istimewa

 

Tuhan itu ibarat Bahan Bakar

Baginya, sebagai pribadi, ia harus memiliki relasi yang kuat dengan Yesus. Sara menggambarkan, seperti orang pacaran. Apakah cukup punya status pacar, apel tiap minggu, bisa chat di saat-saat tertentu. “Dengan pacaran kita kenal tiap hari dan tiap saat. Itu yang seharusnya diisi, menjadi Katolik yang membuat kita bisa berbincang dengan Yesus, seolah-olah ngobrol dengan teman. Aku berdoa bukan dengan tanda salib tetapi dengan obrolan pada Tuhan,” tandasnya.

Sara mempercayai dengan mengenal baik relasi dengan Yesus, ia artikan sedang mengisi dirinya dengan kebaikan. “Kalau aku sudah mengisi diriku dengan kebaikan, aku bisa membagikan kepada orang lain. Tak mungkin output tanpa isi,”katanya.

Relasi yang baik dengan Tuhan ia ibaratkan sebagai bahan bakar. Tak mungkin manusia bisa melakukan sesuatu tanpa bahan bakar. Kalau energinya dirasa baik oleh sekitarnya, bisa dipastikan bahan bakar tersebut berasal dari sumber yang baik pula.

Meski memiliki background sebagai guru Pendidikan Agama Katolik, ia justru jauh dari lingkar Katolik yang selama ini dikenalnya dengan baik.

”Aku melanglang buana ke mana-mana. Main film, make up artis, dan terdampar di sini. Aku mewartakan kasih di luar gereja,” ujar pendukung film Soegija ini.

 

Pernah Hilang Kepercayaan pada Gereja, tapi Tidak dengan Imanku

Donny memberikan pertanyaan menohok, pernahkah berpikir untuk meninggalkan Katolik?

Dengan tegas Sara menjawab tidak. Tetapi ia mengungkapkan pernah kehilangan rasa percaya dengan gereja. Apa yang didoktrinkan kadang tak sesuai di lapangan. Dogma dan praktik yang kadang tak imbang. Orang yang harusnya menjadi role model tapi tak sesuai yang dibayangkan.

“Aku kehilangan kepercayaannya dengan gereja, tetapi bukan dengan imanku. Aku terus berproses dan mencari. Nah, proses ini aku maknai sebagai perjalanan iman juga. Masing-masing orang punya perjalanan iman sendiri,” jelasnya.

Bagi Sara, kasih-Nya lebih besar dari semua. Ketika ia masih tertatih menjalankan hidup dengan benar, kenapa ia harus menghakimi orang lain. Ia belajar berdamai dengan fakta-fakta tersebut.

Awal pandemi, ia justru resign dari pekerjaan yang ditekuni. Ia tak menyangka pandemi akan separah ini. Meskipun sempat galau, tetapi ia percaya akan dikasih yang terbaik.

“Maka tugasku sekarang adalah memberikan yang terbaik dan berusaha produktif. Bukan dengan waktu kita, tetapi waktu yang di atas,” ujarnya.

Kesibukannya kini mengampu beberapa kegiatan online. Ia senang, apapun kegiatannya menjadi cara untuk mewartakan kabar bahagia. Termasuk melalui lari, ia bisa memberdayakan banyak orang yang tadinya tak melihat kemampuan dirinya untuk lari, tetapi akhirnya jadi percaya diri.

“Tuhan memakai aku luar biasa,” kata Sara.

Hingga kini, Sara masih mempercayai sebuah keyakinan: Tuhan baik, semesta baik.

Sebelas tahun menjadi wartawan dan 13 tahun menjadi Public Relations di perusahaan. Bergiat dengan Yayasan Syair kehidupan untuk mendampingi anak-anak dengan HIV, dan sosialisasi kebaya untuk pakaian sehari-hari di Komunitas Kebaya Kopi dan Buku. Aktif di Badan Pengurus Pusat Perhumas Indonesia. Menulis untuk tetap memelihara ingatan perjalanan kehidupan. Dan bergembira belajar bahasa Indonesia secara daring setiap Senin dan Kamis di Facebook. Belajar fasilitasi di The International Association of Facilitators (IAF) Chapter Indonesia.

ProfilSara Lea TunasSosok
Comments (0)
Add Comment