Katolikana.com — Pada Januari 1966, Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Justinus Darmojuwono, sepulang dari Sidang Konsili Vatikan II di Italia, menyerukan agar orang-orang Katolik, terutama para pemuda Katolik tidak ikut aksi penumpasan simpatisan dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Tengah.
Seruan ini dikeluarkan oleh Mgr. Darmojuwono setelah menerima laporan-laporan di lapangan terkait pelaksanaan aksi penumpasan orang-orang yang menjadi simpatisan dan anggota PKI.
Dalam surat edaran tertanggal 5 Januari 1966, yang diperoleh Katolikana.com, Mgr. Darmojuwono menulis surat ini terkait keterlibatan pemuda-pemuda Katolik.
Dalam satu lembar surat edaran yang ditujukan kepada para pastor untuk disampaikan kepada para pemuda-pemuda Katolik, ia menegaskan dua hal tentang keterlibatan para pemuda Katolik dalam peristiwa itu.
Pertama, Mgr. Darmojuwono menyebut para pemuda Katolik wajib membantu tugas ABRI dalam menumpas G30S. “Kita yang Katolik, terutama pemuda2 Katolik, wadjib membantu tugas A.B.R.I dalam menumpas G30S.”
Poin kedua, Uskup Darmojuwono dengan tegas melarang para pemuda Katolik untuk melakukan tindakan penganiayaan atau penyiksaan, bahkan pembunuhan dalam membantu tugas-tugas ABRI.
“Tetap dalam hal ini dilarang setiap penganiayaan/penjiksaan apalagi pembunuhan, baik dalam penangkapan (ketjuali bila ada perlawanan mapun mereka yang sudah diadili dan terbukti kesalahannja per hukuman hendaknja diserahkan kepada alat2 negara.”
Dalam surat itu, Uskup Darmojuwono menegaskan kepada pemuda-pemuda Katolik untuk tidak meniru tindakan G30S karena bertentangan dengan hukum cinta kasih. “Penganiajaan/penjiksaan adalah bertentangan dengan hukum tjinta kasih Kristiani dan peri-kemanusiaan.”
Alasan berikutnya yang dengan tegas disampaikan Uskup Darmojuwono bahwa pembunuhan itu bukan tugasnya para pemuda atau anggota masyarakat. Tindakan ini akan menimbulkan dendam. “Pembunuhan, meskipun sesudah diadili tidak ada persoalan dosa, tetapi bukan termasuk tugas kita sebagai anggota masarakat, hal mana dapat menimbulkan kekatjauan: timbulnja dendam dari pihak lain, hingga mungkin tertjiptakan suasana dendam dan antjam-mengantjam,” tulis Darmojuwono.
Menurut Uskup Darmojuwono, penganiayaan atau penyiksaan, lebih-lebih pembunuhan akan meninggalkan bekas psikologis yang tidak baik, bagi setiap orang yang tidak hanya bagi yang bertugas.
Surat Uskup Darmojuwono ini menegaskan sikap Gereja Katolik untuk tidak ikut terlibat dalam aksi penumpasan pasca G30S 1965. Ini juga disampaikan dalam surat Vikjen KAS Pastor Carri, SJ yang melarang para pastor, bruder, suster untuk terlibat dalam panitia penyelidik atau pemeriksa. ***
Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.