Katolikana.com — [Ensiklik Paus Fransiskus “Fratelli Tutti: On The Fraternity and Social Friendship”, dalam bahasa Indonesia “Semua Bersaudara: Persaudaraan dan Persahabatan Sosial”. Dokumen ini ditandatangani pada 3 Oktober 2020, pada saat Paus Fransiskus berkunjung ke makam Santo Frasiskus dari Asisi. Dokumen Fratelli Tutti diterbitkan keesokan harinya, pada 4 Oktober 2020, saat hari raya Santo Fransiskus dari Asisi. Terdiri 8 bab, 287 paragraf, dan tebalnya 92 halaman. Kontributor Katolikana, Albertus Joni, SCJ, menuliskan dengan ringkas bagi pembaca Indonesia agar memahami dokumen tersebut. Berikut bagian 2 dari ringkasan]
Baca: Selayang Pandang Ensiklik Fratelli Tutti (1)
Tata Kelola Bersama untuk Isu Migrasi Lokal dan Global
Bab empat dari ensiklik ini saya baca sebagai usaha untuk mendaratkan refleksi filosofis dan teologis di bagian sebelumnya dalam ranah yang lebih konkret: (1) krisis kemanusiaan akibat migrasi besar-besaran, dan (2) pentingnya menyadari peran lokalitas dalam konteks migrasi global.
Tampak sekali bahwa Bapa Suci Fransiskus melihat kasus migrasi dan migran akibat krisis kemanusiaan sebagai salah satu isu sosial terbesar di zaman ini. Memang sedapat mungkin, migrasi yang tidak sungguh perlu hendaknya tidak dilakukan. Namun untuk mereka yang terpaksa lari demi keselamatan diri dan keluarganya, kita wajib menolong dan menjamin martabat kemanusiaan mereka dipertahankan (par. 130).
Perencanaan yang penanganan yang matang dan yang bebas dari aneka kepentingan ideologis untuk membantu integrasi para migran ini amatlah penting. Menyadari perbedaan di antara penduduk lokal dan para migran pendatang adalah langkah awal untuk membangun budaya yang saling memperkaya satu sama lain (par. 133-136). Di level internasional, tata kelola yang memberdayakan negara-negara miskin untuk menyuarakan pendapatnya dan untuk mendapat akses ke pasar internasional adalah sangat penting untuk kemajuan semua orang (par. 138).
Karena selalu ada tegangan antara yang global dan lokal, kita dengan jeli perlu memperhatikan prinsip ‘perbedaan yang saling memperkaya’ tadi. Hendaknya pengalaman lokal kita membantu tiap orang untuk bertumbuh, baik dalam ‘kontras’ dan ‘harmoni,’ dengan macam-macam konteks hidup yang berbeda (par. 147-148). Dengan gamblang, Bapa Suci menulis bahwa entitas yang dinamakan “masyarakat global bukanlah jumlah total dari negara-negara yang berbeda, melainkan persatuan yang nyata ada di antara mereka (par. 149).”
Politik dan Dialog yang Memanusiakan
Bab kelima mungkin adalah ‘jantung’ dari ensiklik sosial Fratelli Tutti ini karena visi politisnya yang sangat kuat. Dalam bab bertajuk “Sebuah Politik yang Lebih Baik” ini, Paus Fransiskus dengan sistematis membagi refleksinya dalam tiga kerangka besar: realitas politik hari ini yang makin akut dengan populisme dan liberalisme individualistis, ideal tentang kasih sosio-politis, dan imperatif untuk mengganti prinsip utilitarian dengan budaya baru ‘kelembutan dan kasih’ yang tidak berfokus pada pencapaian saja.
Sembari mengecam model politik populisme yang mementingkan kepopuleran semata di tahun-tahun belakangan ini, Paus mengingatkan kembali bahwa akar kata ‘populi’ adalah ‘people’ (orang-manusia-bangsa). ‘People’ adalah sebuah konsep yang justru berlawanan dengan populisme sempit dan pragmatis. ‘People’ dirajut oleh sejarah panjang sebuah masyarakat, yang terarah pada proyek hidup bersama dan yang selalu terbuka pada perbedaan-perbedaan baru (par. 158-160).
Selain populisme sempit, liberalisme yang individualistis juga tidak bisa menjadi jawaban atas masalah global yang kita hadapi. Paus Fransiskus menawarkan model baru: caritas – kasih. Pendekatan kasih haruslah merasuk dalam konsep kita tentang politik karena kasih membuat makna ‘people’ berarti: menyatukan kepingan sejarah dan aneka elemen (baik abstrak maupun institusional). Semangat kasih ini juga harus merasuk ke kebijakan ekonomi yang lebih proaktif mendukung keragaman hasil produksi dan kreativitas baru dalam bisnis agar semakin banyak pekerjaan baru diciptakan (par. 168).
Perkembangan manusia yang integral juga mengandaikan bahwa sistem politik dan ekonomi tidak mengecualikan orang-orang miskin. Kebijakan tidak boleh hanya diambil untuk orang miskin, namun harus bersama dan dari orang-orang miskin (par. 169). Hal ini mungkin dilakukan dalam model politik dan ekonomi yang berbasis caritas – kasih.
Paragraf 170-175 di bab ini juga membahas peran penting Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai katalisator kemajuan dan kebaikan bersama. Tak lupa Bapa Suci mengkritik PBB agar ia tak menjadi sebuah lembaga yang dikooptasi hanya oleh beberapa negara adidaya saja. PBB harus memiliki ‘gigi’ agar dapat membuat kesepakatan untuk memilih jalan damai (negosiasi, mediasi dan arbitrase) dihargai oleh setiap negara anggota.
Menarik bahwa Paus Fransiskus dalam bagian selanjutnya menggunakan kata “kasih yang politis” dan bukannya “politik kasih.” Rupanya ‘kasih’ dimengerti sebagai “subyek” yang berdaya membawa perubahan di level sosial. Inilah yang kita butuhkan di dunia hari ini: politik yang menolak tunduk pada ekonomi dan ekonomi yang menolak tunduk pada teknokrasi yang ideologinya dibangun dari paradigma efisiensi (par. 177).
Kasih yang politis adalah perluasan dari kasih yang personal antar individu: kasih yang mengarahkan tiap orang pada kebaikan bersama tanpa menghilangkan penghargaan pada tiap pribadi (par. 181-182). Itu sebabnya konsep ‘kasih politis’ ini lalu dilekatkan dengan percakapan tentang ‘amal’ (charity), tentang menolong dan memperhatikan mereka yang sedang sangat membutuhkan (par. 187). Politik internasional harus maju lebih jauh dari sekadar ‘pidato yang cantik dan niat baik saja’ dalam menanggapi krisis kemanusiaan.
Kasih politis harus selalu aktual dan nyata; termasuk saat kita mengusahakan integrasi dan toleransi dengan ragam kenyataan agama dan budaya di tengah masyarakat. Integrasi dan toleransi dicapai dengan mengenalkan kembali paradigma kelembutan hati; kelembutan yang menyentuh hati, mencapai mata, telinga dan tangan agar bergerak dan mengenali sesama sebagai saudari dan saudara (par. 194).
Politik, bila didefinisikan ulang dalam lanskap kasih dan dialog nyata penuh kelembutan hati antar individu, akan memiliki nilai lebih daripada hanya sebagai urusan marketing dan media belaka. Kasih politik akan membuat kita bertanya lebih banyak tentang seberapa banyak saya berkontribusi untuk masyarakat dan dorongan baik apa yang saya hendak sebarkan (par. 196-197).
Merajut Konsensus dari Perjumpaan Demi Perdamaian
Realitas liyan di era global ini menuntut kita untuk “mendekati, bicara, mendengarkan, melihat dan datang untuk mengenal serta mengerti satu sama lain, dan untuk menemukan dasar bersama;” singkatnya untuk berdialog (par. 198). Dialog sosial yang bebas dari kepentingan manipulatif pelbagai pemangku kepentingan adalah prasyarat untuk sebuah dialog yang mempromosikan kebenaran dan kebaikan bersama (par. 201-202).
Berubahnya cara media hadir di era global – terutama dengan datangnya internet – telah mengubah juga cara kita berdialog. Penting untuk menekankan hormat pada pendapat yang berbeda dan menyadari bahwa perbedaan pandangan adalah bentuk kreativitas manusiawi yang membawa kita maju dalam kemanusiaan (par. 203). Hadirnya internet haruslah membawa kita pada perjumpaan yang murah hati dengan sesama; pada kebenaran yang lebih utuh (par. 205).
Tentu saja tantangan dari usaha pencarian kebenaran yang utuh ini berbeda dengan relativisme. Paus Fransiskus menolak relativisme karena kebenaran tidak boleh direlatifkan sesuai hanya dengan apa yang kita mau dan inginkan (par. 206).
Lebih tajam lagi, Bapa Suci menunjukkan bahwa semua krisis kebenaran yang kita alami saat ini adalah hasil dari reduksi etika dan politik dalam dunia material (par. 210); prinsip kebaikan dan kejahatan telah sepenuhnya diganti dengan perhitungan untung-rugi sehingga konsensus sosial diturunkan derajatnya hanya menjadi kesepakatan superfisial belaka yang menguntungkan hanya mereka yang kuat (par. 210).
Bagian akhir dari bab keenam ini bicara tentang perjumpaan yang menjadi budaya; sebuah budaya yang mengakomodasi dialog saat berjumpa dengan perbedaan (par. 216-217). Seni perjumpaan yang dialogis ini menghasilkan sukacita saat kubu masyarakat mayoritas mengenali sesama yang secara sosio-kultural dan ekonomi berbeda dengan kita, terutama saudari-saudara ‘masyarakat adat’ (par. 219). Menemukan kembali keutamaan kebaikan hati adalah juga penting agar kita menemukan lawan tanding yang sepadan dengan ideologi individualisme konsumeris (par. 222).
Kebaikan hati membebaskan kita dari kekejaman yang kadang masuk diam-diam dalam relasi manusiawi kita. Kadang dunia begitu sibuk sehingga tak jarang kita lupa untuk sejenak “berhenti” dan berbaik hati pada sesama, untuk mengatakan “permisi,” “maafkan saya,” dan “terima kasih” (par. 224). Kebaikan hati haruslah dilatih terus menerus agar masyarakat diubah olehnya dan jalan baru menuju konsensus terus dibangun (par. 224).
Diskursus tentang dialog, kasih politis, kebenaran bersama, serta kebaikan hati ini dihubungkan dengan tema perdamaian pada bab ketujuh ensiklik ini. Dalam sub-judul “Ragam Jalan dari Perjumpaan yang Dibarui,” Paus Fransiskus memulai bab baru ini dengan menunjukkan bagaimana “kebenaran, sejatinya, adalah teman tak terpisahkan dari keadilan dan belas kasih” (par. 227).
Perdamaian sebagai rekonsiliasi dan negosiasi dimengerti sebagai usaha membentuk masyarakat baru yang didasarkan pada pelayanan satu sama lain, dan bukannya pada hasrat menguasai yang egois (par. 229 & par. 231). “Arsitektur” perdamaian ini terletak pada tanggung jawab masing-masing dari kita, orang-orang biasa – bukan hanya tanggung jawab institusi hukum atau politis belaka (par. 231). “Orang-orang biasa” ini kerap dijumpai sebagai realitas yang digeneralisasi secara tidak adil sebagai “orang-orang miskin.” Perdamaian harus dimulai dari perjumpaan yang membuka kesempatan yang adil dan yang tidak mengecualikan mereka yang terkecil di antara kita (par. 234-235).
Dalam konteks perdamaian inilah, maaf dan pengampunan menjadi topik yang relevan. Tuhan Yesus sendiri tidak pernah mengusulkan kebencian dan intoleransi. Ia dengan terbuka mengutuk penggunaan kekerasan dan pemaksaan untuk meraih kekuasaan (par. 238). Bahkan kekerasan dan ketidakadilan yang telah terjadi tidak boleh ditanggapi dengan respons yang sama. Jalan paling baik untuk maju dalam perdamaian bukanlah dengan “lari” dan “mengubur” masa lalu yang kelam, namun justru dicari dan ditemukan di dalam konflik itu sendiri, di dalam usaha dialog, keterbukaan, kejujuran dan negosiasi penuh kesabaran (par. 243).
Tragedi pembantaian saudari-saudara Yahudi oleh Nazi Jerman (Tragedi Shoah) dan tragedi Hiroshima dan Nagasaki sama sekali tak boleh dikubur dan dilupakan (par. 247-248). Kita hanya dapat maju dengan mengenang sejarah para korban agar suara hati kemanusiaan dapat bangkit tiap kali kita menginginkan dominasi dan kehancuran (par. 249).
Jadi, pengampunan tidak berarti melupakan. Pengampunan juga tidak berarti orang lalu jadi kebal hukum. Pengampunan justru adalah hal yang memungkinkan kita untuk mengejar keadilan tanpa jatuh dalam balas dendam dan godaan untuk melupakan sejarah (par. 252).
Dalam tema pengampunan ini, Paus Fransiskus menutup bab ketujuh Ensiklik Fratelli Tutti ini dengan membahas dua hal spesifik yang menjadi ancaman nyata bagi kehancuran masyarakat di skala nasional maupun global, yaitu: perang dan hukuman mati.
Paus menilai bahwa di zaman belakangan ini, kondisi yang memungkinkan perang terjadi semakin meningkat. Perang, menurut Paus Fransiskus, adalah “negasi dari semua hak dan sebuah serangan dramatis pada lingkungan.” Paus menunjukkan bahwa perang adalah hanya menghasilkan kejahatan dan malapetaka yang lebih besar daripada kejahatan dan malapetaka yang sebenarnya hendak dihentikan oleh perang itu sendiri (par. 258).
Inilah sebabnya, kita sulit sekali merumuskan prinsip the just war (teori perang yang adil). Karena begitu cepatnya peperangan dapat menjalar ke kawasan lain dan menghasilkan kemalangan yang lebih besar, perang tidak pernah dapat dirasionalisasi sebagai alat yang tepat untuk memperbaiki keadaan (par. 260). Alih-alih menggunakan uang untuk belanja senjata dan perlengkapan militer, mari kita membangun tabungan global yang dapat mengakhiri kelaparan global dan mendahulukan perkembangan negara-negara tertinggal (par. 262).
Bila perang adalah urusan negara-bangsa, maka hukuman mati adalah usaha menghancurkan hidup sesama di level individual. Hukuman mati sendiri adalah topik yang dapat kita temukan argumen bantahannya baik dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja Katolik (par. 263-265). Kecemasan dan amarah dapat dengan mudah membuat kita melihat hukuman dalam cara yang tidak rasional dan kejam daripada sebuah proses yang menyembuhkan dan yang mendukung reintegrasi pelaku kejahatan dalam masyarakat (par. 266).
Paus mengundang setiap orang Kristiani untuk tak kehilangan hormat pada martabat manusiawi para pembunuh sekalipun dan tetap berbagi harapan untuk hidup bersama di bumi ini (par. 269-270).
Agama-agama untuk Melayani Persaudaraan di Dunia Kita
Bab terakhir dari Ensiklik ini berfokus pada seruan untuk mengangkat kembali tema persaudaraan lintas agama dan bagaimana semua agama hendaknya berbagi dari kekayaan spiritual mereka demi persahabatan damai dan harmoni (par. 271). Gerakan ini hanya mungkin bila kita bersama menyadari bahwa kebenaran transendental tentang Bapa bagi semua adalah prinsip yang menjamin relasi adil di antara ragam manusia (par. 272 & 273).
Kita berjumpa dengan ideologi di era modern yang berusaha menyingkirkan Tuhan dari masyarakat dan yang berusaha mengganti-Nya dengan filsafat yang materialistis dan menjadikan manusia yakin bahwa dirinya adalah pusat dari segala sesuatu (par. 275).
Gereja tetap menghormati otonomi hidup politis, namun juga tidak membatasi dirinya hanya di ranah privat saja. Peran sosial Gereja untuk membawa perkembangan bagi masyarakat adalah mutlak perlu. Gereja adalah rumah terbuka yang memberi kesaksian tentang iman, harapan dan kasih yang dari Tuhan dan yang dari mereka yang dicintai oleh Tuhan (par. 276).
Kita ingin “menjadi sebuah Gereja yang melayani, yang meninggalkan rumah kita, berangkat keluar dari gedung peribadatan, berangkat keluar dari sakristinya, untuk menemani hidup, merawat harapan dan menjadi tanda persatuan untuk membangun jembatan, meruntuhkan tembok pemisah, dan untuk menabur benih rekonsiliasi” (par. 276).
Untuk itulah jemaat Kristiani memohon jaminan perlindungan kebebasan memeluk imannya di banyak negara di mana kita hadir sebagai minoritas (par. 279). Untuk itu pulalah kita mengharapkan dan berdoa untuk kesatuan di dalam Tubuh Gereja sendiri, agar sembari kita berjalan menuju kesatuan yang penuh sebagai satu Tubuh Kristus, kita juga menyadari tugas memberikan kesaksian bagi semua orang akan pelayanan bagi kemanusiaan (par. 280).
Menyembah Tuhan secara tulus dan rendah hati menghasilkan buah hormat pada kekudusan hidup manusia, hormat pada martabat dan kebebasan liyan, serta komitmen penuh kasih pada kesejahteraan bersama (par. 283). Fenomena kekerasan dan terorisme adalah buah dari tafsir teks religius yang keliru dan dari gerakan yang disebabkan oleh kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penjajahan dan kesombongan. Kebencian yang fanatik dan kekerasan dari fundamentalisme beragama membutuhkan respons dari para pemuka agama; bukan hanya sebagai ‘perantara’ namun sungguh sebagai juru damai yang autentik, yang menyatukan dan yang membuka jalan baru bagi dialog (par. 284).
Dengan mengutip “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”, yang ditandatangani pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyib, Bapa Suci Fransiskus mengingatkan kita semua untuk “mulai mengadopsi dialog dalam pelbagai cara dan membangun kerja sama sebagai aturan main, dan saling pengertian sebagai metode dan standarnya” (par. 285).
Penutup ensiklik ini dengan indah mengungkapkan bahwa Paus Fransiskus diinspirasi secara istimewa oleh St. Fransiskus Assisi dan sekian banyak saudari dan saudara yang bukan Katolik: Martin Luther King, Desmond Tutu, Mahatma Gandhi, dan masih banyak lagi.
Namun pada bagian akhir ini, Paus Fransiskus ingin merajut seluruh refleksinya dalam pengalaman rohani Beato Charles de Foucauld. Orang kudus yang disebut pada bagian akhir ini hidup dalam pengabdian bagi dan bersama yang miskin di padang pasir Afrika.
Ia mengungkapkan hasratnya untuk menjadi seorang saudara bagi setiap manusia dan ia juga meminta pada seorang teman untuk “berdoa agar saya sungguh menjadi saudara bagi semua” (par. 287). Justru dalam diri mereka yang terkecil, Beato Charles de Foucauld akhirnya dapat menjadi saudara bagi semua orang sebagaimana ia impikan. ***
Imam Dehonian, Pendidik di SMA Yos Sudarso Metro, Lampung.