Katolikana.com – Pilkada 2020 merupakan kesempatan bagi umat Katolik untuk menunjukkan cinta kepada Tuhan sekaligus sesama. Cinta menyadarkan untuk berani mengambil peran dalam Pilkada, minimal sebagai pemilih.
Pemilih yang mengamalkan cinta kasih tidak membiarkan orang lain terjerumus, tetapi menentukan sikap keberpihakan kepada perwujudan Kerajaan Allah. “Sebab Kerajaan Allah bukanlah tentang makan dan minum, tetapi tentang kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Roma 14:17)
Sikap ini sejalan dengan dokumen Gaudium et Spes artikel 75 yang menyatakan: “Maka hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum.” Sikap ini harus diperjuangkan dan menjadi pegangan saat menentukan pemimpin.
Hal tersebut penting digaungkan ke umat. Harapannya, umat dapat terlibat dalam hidup menggereja, berbangsa, dan bernegara, dan mampu mengikuti perubahan demokrasi. Realisasinya: umat berani memilih, memahami tata cara pemilihan, dan menentukan pilihan yang tepat serta bertanggung jawab pada pilihannya.
Keberanian umat untuk memilih akan menekan persentase golput. Menyadarkan umat untuk mau datang ke lokasi pemungutan suara (TPS), sepintas terlihat sebagai tugas Kerasulan Awam. Tetapi, menanamkan cinta kasih yang menjadi landasan kesadaran umat, diperlukan keterlibatan hirarki gereja dan perangkat pastoral lainnya, juga komunitas.
Dua Pendekatan
Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun pendidikan politik bagi umat. Pertama, menggandeng komunitas umat senior tentu mempermudah dalam mengajak mereka untuk berani memilih.
Sebagian umat senior masih punya trauma dengan masa Orde Baru meskipun reformasi telah berjalan dua dekade. Butuh waktu dan pengarahan yang pas untuk memahami pembaruan demokrasi.
Kedua, kolaborasi dengan Orang Muda Katolik (OMK) untuk merangkul kaum milenial yang sebagian besar merupakan pemilih pemula. Diperlukan cara kekinian yang kreatif untuk menyadarkan mereka mau berkontribusi di masyarakat, mewujudkan kepedulian pada negerinya.
Selain itu, banyak komunitas dan kategorial lain di paroki maupun keuskupan dapat dilibatkan. Keterlibatan yang saling melengkapi dan beriringan dalam mengedukasi dan memfasilitasi umat.
Sosialisasi
Pemahaman mengenai tata cara pemilihan yang baik dan benar akan memengaruhi jumlah suara sah. Untuk itu, diperlukan sosialisasi dengan cara yang tepat.
Media dan metode sosialisasi harus disesuaikan dengan sarana, fasilitas, dan kondisi setempat. Kerja sama dengan seksi Komunikasi Sosial (Komsos) menjadi penting.
Sosialisasi pada kelompok-kelompok kecil bisa menjadi strategi yang efektif. Misalnya, pertemuan-pertemuan rutin di lingkungan. Memanfaatkan keakraban momen tersebut akan lebih mengena sasaran. Pemeran utamanya adalah pengurus lingkungan.
Pegangan dalam menentukan pilihan adalah sikap keberpihakan kepada perwujudan Kerajaan Allah. Jadi, pilihannya pada figur yang tidak mementingkan ego dan kepentingan kelompok. Pilihan semacam inilah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Faktor pendukungnya adalah informasi yang akurat, aktual, dan memadai. Informasi yang meliputi masing-masing kandidat, mencakup rekam jejak dan partai pendukungnya.
Tidak semua umat Katolik melek informasi. Kemampuan mendapatkan informasi belum memadai, terlebih mereka yang tidak mengikuti kemajuan teknologi informasi dan perubahan demokrasi. Perlu wadah yang menampung segala data seputar pemilihan terutama Pilkada serentak 2020.
Data tersebut harus jelas sumbernya demi kebenaran. Dengan demikian, informasi yang diperoleh dapat mendukung umat mempertanggungjawabkan pilihannya. Selain mengedukasi umat, data ini menjadi sumber materi sosialisasi maupun bahan pembekalan bagi pendampingnya.
Melihat kegunaannya, wadah itu sebaiknya merupakan sinergi berkesinambungan antara hirarki gereja dan seluruh perangkat pastoral serta komunitas. Akan lebih apik jika ada keikutsertaan relawan yang kompeten dari umat dengan ragam usia, umat yang berpartisipasi dalam panitia pemilihan.
Netralitas Gereja
Hal lain yang harus mendapat perhatian serius adalah kewajiban menjaga kenetralan gereja. Hirarki gereja dan perangkat pastoral diharapkan dapat berperilaku dewasa dan berbesar hati dengan memberi kebebasan umat menentukan pilihan.
Pada Pilkada serentak 2020, ada 270 daerah yang melaksanakan pemilihan. Daerah tersebut tersebar di 29 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Keragaman sosial budaya, agama dan kepercayaan menuntut peran serta dari seksi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK).
Jalinan HAK dengan masyarakat umum—dari agama dan kepecayaan lain—dapat dijadikan peluang mewartakan “sikap keberpihakan” demi kesejahteraan umum. Bahkan, dapat menjadi sistem yang menggandakan penentuan sikap.
Keadaan demikian, identik dengan aksi nyata mewujudkan persaudaraan sejati melalui perjumpaan dan dialog, termasuk mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan di lokasi pemungutan suara (TPS).
Pemimpin yang Tepat
Sikap tanggung jawab terhadap pilihan akan menghadirkan pemimpin yang tepat dan mampu membawa warga melewati masa pandemi dan bangkit kembali dari situasi terpuruk. Juga dapat menyatukan kembali warga yang tersekat oleh kekalahan dan kemenangan pilihannya.
Kalah belum tentu salah, menang belum tentu benar. Berproses menjadi dewasa dengan menerima kekalahan dan kemenangan adalah pilihan. Kedewasaan yang percaya bahwa rencana-Nya terbaik untuk semua, pun mengarifi bahwa selalu ada Karya Ilahi di setiap keputusan.
Pilkada 2020 merupakan kesempatan umat Katolik memahami pembaruan demokrasi di Indonesia sebagai bagian hidup menggereja. Memanfaatkan momen ini sebagai proses pembelajaran politik akan mendewasakan iman dan menjadikan Indonesia maju! ***
Rosita Sukadana, Alumnus Sekolah Kerasulan Umum Keuskupan Surabaya
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.