Katolikana.com – Gereja Katolik pernah mengalami persinggungan yang sengit dengan ilmuwan. Kisah bagaimana Gereja menentang teori Galileo Galilei kadang menjadi bahan olok-olok ilmuwan yang anti dengan Gereja Katolik, sampai saat ini. Filsuf, astronom, dan pakar matematika asal Italia, Galileo Galilei diadili karena dianggap bidah telah mendukung teori Copernicus yang mengatakan bumi mengelilingi matahari. Galileo menjalani tahanan rumah sampai akhirnya meninggal dunia di usia 77 tahun. Selang hampir 300 tahun kemudian, Gereja Katolik mengakui kesalahannya melalui pernyataan Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 31 Oktober 1992.
Benarkah agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan beriringan? Bagi saya pertanyaan ini masih relevan di zaman sekarang dengan adanya banyak teknologi baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tidak hanya di kalangan Katolik, di kalangan ilmuwan sendiri, teknologi baru itu memicu perdebatan tentang etika dan moral. Mungkin Anda masih ingat kisah si Domba Dolly, domba hasil cloning pertama di dunia. Keberhasilan Dolly memicu perdebatan sejauh mana ilmu pengetahuan dapat turut campur dalam penciptaan makhluk hidup.
Tidak berhenti di situ, dunia kembali digegerkan dengan keberhasilan ilmuwan yang membuat rahim buatan untuk membesarkan janin domba. Terobosan ini membuat dunia sains bergairah mengetahui bagaimana teknologi yang serupa dapat dipraktekkan untuk manusia, yang bertujuan meningkatkan peluang hidup bayi prematur.
Temuan itu disambut secara positif, walaupun bukan tanpa kontroversi. Kubu yang tidak setuju mempertanyakan peluang teknologi rahim buatan menjadi masalah etis karena adanya penggunaan teknologi yang tidak benar. Mungkin saja teknologi rahim buatan ini kemudian dianggap sebagai jalan pintas bagi wanita yang tidak perlu repot-repot mengalami proses kehamilan tetapi ingin memiliki bayi.
Pengalaman Penulis
Saya dan suami merupakan pasangan yang sulit memiliki keturunan. Sebelum kami akhirnya memiliki seorang putri (setelah 6 tahun menikah), kami pernah memiliki putri sulung yang meninggal prematur. Kehadiran anak kedua saya yang dikandung dengan bantuan teknologi inseminasi buatan bagi kami merupakan anugerah terbesar dari Tuhan. Di luar dari kontroversi bahwa sampai saat ini Gereja Katolik tidak menyetujui pembuahan buatan itu, saya meyakini bahwa ada campur tangan Tuhan yang luar biasa dalam setiap proses kehamilan saya sampai akhirnya putri kedua saya lahir.
Proses inseminasi pertama berlangsung tidak baik. Pada percobaan kedua kali, saya teringat memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan sambil berdoa dalam hati di ruang tindakan dokter, “Tuhan, terjadilah apa yang Kau kehendaki. Saya akan menerimanya.” Di saat yang sama setelah saya selesai mengucapkan kata-kata tersebut, saya merasakan damai yang luar biasa mengalir dalam seluruh tubuh saya.
Sebulan kemudian, saya dinyatakan positif hamil oleh dokter. Apakah hal tadi hanya kebetulan?
Orang mungkin boleh mengatakan demikian. Atau mengatakan hal tersebut terjadi karena murni kecanggihan teknologi. Tapi saya mengimani bahwa Tuhan sungguh hadir pada saat itu, memberikan kedamaian kepada saya, dan memberkati proses inseminasi tersebut sehingga akhirnya proses pembuahan buatan berhasil.
Tidak berhenti hanya di situ, kehamilan saya yang kedua pun memiliki resiko tinggi dengan adanya sejarah kelahiran prematur sebelumnya. Sekali lagi, Tuhan terbukti hadir dalam proses kehamilan saya. Walaupun anak kedua saya lahir prematur, kami berhasil melalui semuanya dengan selamat. Kehadiran putri kedua saya menyelamatkan saya dari depresi dan mengubah duka menjadi sukacita.
Mengadaptasi Teknologi Terbaru
Menilik pengalaman pribadi saya sendiri, apakah saya mengharapkan teknologi bisa membantu saya? Ya, tentu saja. Masalah dua kehamilan saya disebabkan karena ketidakmampuan rahim saya untuk menampung janin dalam waktu yang lama. Setelah beberapa minggu gestasi, secara otomatis rahim saya seakan “menolak” bayi dalam kandungan sehingga selalu terjadi kelahiran prematur. Tali pusatnya dengan cepat menua sehingga menyulitkan janin mendapatkan suplai oksigen dan makanan.
Menurut pandangan saya, teknologi harus dilihat bukan hanya sebagai alat untuk membantu manusia, namun juga harus mempertimbangkan motivasi pelaku teknologi. Teknologi yang sama bisa memiliki dua sisi yang berlawanan, sama seperti halnya sebilah pisau. Adalah merupakan tanggung jawab ilmuwan dan praktisi teknologi untuk merumuskan dan menentukan batas-batas aplikasi teknologi sesuai dengan norma etis dan moral.
Lalu, pertanyaan yang sulit adalah ketika setiap orang memiliki batasan moral yang berbeda. Gereja Katolik sebagai lembaga dapat memberikan tuntunan moral sebagai pegangan bagi umat Katolik, namun dalam pendapat saya, tidak seyogyanya langsung memvonis suatu teknologi sebagai suatu tindakan moral benar atau salah tanpa melihat motivasi personal di balik penggunaan teknologi tersebut.
Kembali lagi pada contoh kisah pribadi saya sendiri, apakah benar dengan menggunakan teknologi pasti menjamin keberhasilan pembuahan buatan? Faktanya adalah inseminasi buatan memiliki tingkat keberhasilan hanya sekitar 30-40%. Dan saya sudah melihat banyak sekali pasutri yang gagal memiliki keturunan walapun dengan bantuan pembuahan buatan.
Saya meyakini bahwa, secanggih apapun teknologi, tidak ada yang akan terjadi di dunia ini tanpa sekehendak Tuhan. Ini adalah contoh nyata bagaimana teknologi tetap dapat ‘kalah’ terhadap takdir yang disuratkan Tuhan.
Menjawab pertanyaan di awal tulisan penulis, apakah Katolik selalu berseberangan dengan perkembangan teknologi? Tidak selalu, ada masanya bahkan Gereja Katolik berjalan dengan sangat harmonis dengan ilmu pengetahuan.
Banyak ilmuwan Katolik memberikan kontribusi besar di bidang sains. Beberapa di antaranya malah termasuk dalam jajaran ilmuwan dengan penemuan terpenting, seperti Blaise Pascal yang menemukan tekanan hidrolik dan teori matematis untuk probabilitas. Pastor Gregorius Mendel – dikenal sebagai Bapak Genetika, karena memberikan dasar bagi genetika modern. Louis Pasteur yang menemukan mikrobiologi dan vaksin rabies dan antraks. Lalu, ada pastor-pastor Jesuit yang sering kali memiliki penemuan-penemuan penting bagi ilmu pengetahuan.
Berlawanan dengan yang dikira orang-orang bahwa Gereja Katolik selalu berseberangan dengan ilmuwan, nyatanya Gereja Katolik sebagai institusi sering kali mendanai penelitian, termasuk pendirian Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan pada tahun 1603. Akademi ini merupakan akademi pertama yang secara khusus memfokuskan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan di dunia dan merupakan entitas yang berdiri sendiri terlepas dari Takhta Suci.
Hubungan yang harmonis antara Gereja Katolik dan sains mungkin terjadi lagi jika Gereja mampu memberikan pandangan yang objektif sebagai masukan bagi pelaku dan pengembang teknologi, dan mampu melihat teknologi bukan sekadar hitam dan putih.*** (EK)
Jenny Susanto, Penulis Freelance dan Ibu Rumah Tangga
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Jika teknologi menyangkut kehidupan baru tanpa cinta terutama manusia sangat dikawatirkan bila terjadi perubahan emosional terhadap perkembangan kehidupan baru itu. Saya masih ingat bahwa kehidupan adalah hasil dari cinta.