*Bagiku, mengenangmu adalah mengenang semua hal yang konstituif pada sosokmu: menemani orang-orang miskin dan terlantar, memikirkan lingkungan hidup yang rusak, menyalakan api persaudaraan, juga menegakkan tiang keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan Sang Ilahi. Hal-hal itu menggerakkan hidupmu untuk terus mengabdi kepada Allah melalui sesama dan alam.
“Alex, hari ini juga kamu harus kembali beraktivitas di sekretariat. Sekarang sekretariatnya tidak lagi di Tanah Tinggi tetapi di Provinsialat. Sudah disiapkan ruangan khusus untukmu dan teman-teman supaya bisa bekerja melanjutkan pendistribusian bantuan untuk pengungsi.”
Suara perintah itu sayup-sayup saya dengar di telepon seluler (ponsel) saya, segenggam ponsel bertipe “pisang ambon” pada akhir Desember 2004. Ketika itu saya sedang berada di Mampang Prapatan, di depan mesin ATM sebuah bank swasta. Suara sayup-sayup itu adalah suara Pater Peter Canisius Aman, OFM.
Beberapa aktivis dan relawan JPIC-OFM menyebutnya dengan inisial PCA, singkatan dari Peter Canisius Aman. Pater Peter memang tidak merasa berkeberatan ketika orang memanggil dirinya dengan inisial itu. Tetapi ia mengaku lebih senang jika orang memanggilnya dengan sapaan “Saudara”, istilah yang menunjukkan persaudaraaan para Fransiskan.
Kembali ke suara sayup-sayup tadi. Sekitar pertengahan 2003 ia kembali menyelesaian program doktoral di Roma di bidang moral setelah mengajar beberapa tahun di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarakara Jakarta. Tetapi belum lama berada di Roma, bencana tsunami menghantam dan meluluhlantakan Aceh (dan Sumatera bagian barat pada umumnya).
PCA yang seusai menjalani studi S2 mengajar di STF Driyarkara menghidupkan kembali Komisi JPIC-OFM. JPIC OFM adalah singkatan Justice, Peace, and Integration of Creation. Dalam bahasa Indonesia Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan — yang menjadi rangkuman Spiritualitas Fransiskan.
Api kemanusiaan dan persaudaraan pun Kembali menyala di JPIC-OFM. Komisi ini, menarik para frater OFM, Mudifra (Muda-mudi Fransiskan), kalangan mahasiswa, dan siapapun yang memiliki hati dan kepedulian untuk menggabungkan diri di komisi ini untuk melayani sesama di bawah payung JPIC-OFM.
Saya yang baru saja keluar dari Serikat Xaverian (SX) juga diajak bergabung dalam kegiatan pelayanan ini. Pada Maret 2003 saya menyatakan kesediaan untuk bergabung dengan komisi para saudara dina tersebut. Sejak itu pula saya sering berjumpa secara intensif dengan PCA sebelum ia kembali ke Roma untuk mengambil studi doktoralnya.
Tak lama memang perjumpaan yang khusyuk dengannya karena pada pertengahan 2003 PCA kembali ke Italia. Kira-kira hanya empat bulan. Namun dengan perjumpaan yang khusyuk dengan rentang waktu yang pendek itulah, saya menyadap spirit persaudaraan dan semangat berbela rasa dari sosok PCA. Spirit itulah yang ia hayati, tanamkan dan kembangkan di JPIC-OFM hampir sepanjang sebagian besar usianya..
Suatu hari PCA membeli selembar kasur yang sangat tipis untuk saya sebagai alas tidur saya di Sekretariat JPIC-OFM. “Alex, pakai (kasur) ini untuk alas tidur. Meskipun kamu sudah terbiasa dengan model pembinaan di SX, sekarang kamu biasakan diri hidup sebagai seorang Fransiskan,” katanya sambil menepuk bahu dan tertawa. Saya ikut tertawa dan kami sama-sama tertawa pada siang itu.
Menggabungkan diri dalam kerja-kerja sosial ala JPIC-OFM membuka peluang bagi saya untuk semakin mengenal para saudara Fransiskan, baik muda maupun tua. Juga semakin merasakan semangat persaudaraan ordo tua yang didirikan oleh Fransiskus Asisi ini.
Waktu untuk berangkat untuk melanjutkan stusi doktoralnya di Roma pun tiba. Tetapi meski tinggal di Roma ia tetap mengawal pelayanan sosial-kemanusiaan JPIC-OFM. Ketika tsunami Aceh dan Sumatera Barat terjadi, ia menggalang bantuan sosial dari Roma. PCA mendorong agar JPIC-OFM terlibat aktif dalam membantu para pengungsi korban tsunami. Di bawah kendali Pater Save Adir OFM, JPIC-OFM menggerakkan para pegiat dan relawannya untuk berangkat ke Aceh. Mereka membangun posko di Banda Aceh seminggu setelah tsunami terjadi. Berangkat pula para relawan dari berbagai kampus yang dihimpun JPIC-OFM.
Saya sendiri hanya satu minggu lamanya berada di Bandaaceh karena ditarik kembali ke Jakarta. Sesampai di Sekretariat, situasi berubah. Entah kenapa. Saya tidak lagi menjadi bagian dari JPIC-OFM. Sambil melihat kemungkinan lain untuk kembali ke Aceh bersama organisasi sosial lain, dari Roma Italia PCA menelepon saya. Melalui telepon ia memerintahkan saya kembali beraktivitas di Sekretariat JPIC-OFM di Rumah Provinsialat OFM. “Segera susun laporan kerja pertama saat Alex ke Banda Aceh minggu lalu dan kirim email ke saya,” demikian PCA menutup pembicaraan siang itu. Saya bergabung di JPIC-OFM hingga Agustus 2005.
Usai menyelesaikan program doktoral, PCA kembali ke Indonesia dan kembali mengajar di STF Driyarkara. Dari sejumlah Saudara Muda Fransiskan, saya memperoleh informasi bahwa PCA terus menggerakkan JPIC-OFM. PCA adalah sosok yang tidak betah bila menyaksikan aneka tragedi dan peristiwa yang menimpa manusia-manusia konkret, yang bertentangan dengan semangat persaudaraan, keadilan, dan perdamaian. Ia adalah sosok akademisi dan intelektual publik, yang merasa tidak betah untuk tinggal diam di menara gading Filsafat dan Teologi.
PCA adalah intelektual yang terlibat dalam duka dan kecemasan dunia. Oleh karena itu, sejauh saya tahu, hampir sebagian besar hidupnya ia persembahkan untuk menyalakan api keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan ilahi melalui JPIC-OFM. Ia menggerakkan orang-orang muda untuk ambil bagian secara aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan dan lingkungan hidup di JPIC-OFM. Untuk ini, saya berutang terima kasih kepada PCA atas dedikasi dan keteladanan hidupnya.
Pada akhir 2019 saya kembali bertemu dengan PCA di Hotel Cemara Menteng, Jakarta Pusat. Saya tak pernah menyangka bahwa pertemuan itu adalah pertemuan kami yang terakhir. Saat itu ia hadir sebagai pembicara pada acara Workshop Relawan KKP KWI dan saya mendapat tugas sebagai moderator. Pada pertemuan itu ia terus menyemangati para relawan KKP dengan semangat Teologi Pembebasan. PCA memang fasih dalam bidang itu. Ia sangat menguasai Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Kefasihan PCA dalam dua perkara itu tidak hanya tampak dalam ucapan dan eksplorasi intelektualnya. Lebih dari itu, ia sangat menghayati dan terus mewujudkannya secara nyata melalui kerja-kerja JPIC-OFM. Hidupnya ia persembahkan untuk orang-orang yang tersisih dan disisihkan, untuk persaudaraan dan keadilan, juga untuk perdamaian dan keutuhan ciptaan. Unsur-unsur konstitutif itu menyatu pada diri PCA hingga ia menghembuskan nafas terakhir.
PCA, beristirahatlah dalam damai dalam keabadian surgawi. Allah Trintunggal yang engkau abdi telah memanggilmu pulang. Bapa Fransiskus Asisi dan saudara-saudara Fransiskan lain sudah menyediakan tempat bagimu di sana. Doakanlah dan terus gerakkan kami dari surga.*
Editor: JB. Pramudya
Dosen Filsafat di Universitas Pelita Harapan, Tangerang