Katolikana.com – Sekelompok umat Katolik di Papua yang tergabung dalam Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua melontarkan kritik keras terhadap kepemimpinan para uskup di Papua. Mereka mengeluarkan empat sikap melalui sebuah pernyataan tertulis. Katolikana menerima salinan siaran pers ini pada Senin (25/1/21).
Melalui dokumen setebal 98 halaman tersebut, mereka menyampaikan empat sikap. Salah satunya berupa mosi tidak percaya terhadap pimpinan lima keuskupan yang ada di Tanah Papua serta Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Para uskup yang dimaksud dalam mosi tersebut adalah Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, M.S.C.; Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, O.F.M.; Uskup Agats, Mgr. Aloysius Mursito, O.F.M.; dan Uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega.
Sementara satu keuskupan lagi hanya disebutkan pimpinan keuskupan, yakni Keuskupan Timika, mengingat saat ini keuskupan ini belum memiliki uskup definitif. Mosi yang sama juga ditujukan kepada Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo selaku Ketua KWI.
Sehubungan dengan mosi tidak percaya itu, mereka juga menyerukan tuntutan untuk tidak lagi menginduk pada KWI. “Kami ingin keluar dari KWI dan bergabung dengan Konferensi Waligereja Pasifik (CEPAC, red.),” tegas Melvin Waine selaku koordinator kelompok ini.
Mereka juga meminta dengan tegas agar semua uskup pada lima keuskupan itu diganti oleh para pastor asli Papua atau pastor yang telah lama mengabdi di Tanah Papua.
“Kami menolak dengan tegas terhadap pastor luar Papua yang tidak tahu masalah geografis, antropologis, dan dinamika hidup orang Papua, serta yang baru saja berkarya di Papua, tapi ditunjuk sebagai uskup baru di 5 keuskupan yang ada di tanah Papua,” tulis mereka.
Melalui dokumen itu mereka juga menuntut pencabutan Memorandum of Understanding (MoU) bantuan sosial yang disepakati antara Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi dan PT. Tunas Sawa Erma (TSE). Perkebunan kelapa sawit PT. TSE mereka tuding telah merusak keutuhan hutan masyarakat adat Papua. Apalagi tahun lalu aparat keamanan PT. TSE juga pernah menganiaya seorang warga Papua bernama Marius Betera hingga tewas.
Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua menyebut uskup-uskup di Papua tidur nyenyak dalam menghadapi realitas sosial. Para uskup di Papua juga dianggap menutup mata di tengah-tengah krisis kemanusiaan.
Karena itu mereka mengecam diamnya para uskup dalam membela harkat dan martabat umat Katolik Papua. Salah satu contoh yang disertakan adalah statement Mgr. Leo Laba Ladjar, O.F.M. saat menghadiri pertemuan dengan Konferensi Waligereja Pasifik (Conferentia Episcopalis Pacifici/CEPAC) di Port Moresby, Papua Nugini, pada 2014 silam. Menurut rilis tersebut, Mgr. Leo kala itu berujar, “Tidak ada pelanggaran HAM yang perlu diprihatinkan.” Hal ini dia sampaikan dalam kapasitasnya selaku pimpinan Konferensi Episkopal Papua.
Kekecewaan serupa mereka lemparkan pula kepada KWI. Pasalnya, KWI dinilai telah bersikap diskriminatif saat menyikapi persoalan Papua.
“Kami semakin disadarkan oleh sikap KWI dalam merespon peristiwa penembakan dan pembakaran satu keluarga awam di Desa Lembotonga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 27 November 2020 ketimbang dua katekis Katolik di Intan Jaya, Papua, pada September dan Oktober 2020 lalu,” demikian sebagian alasan yang tertera dalam rilis tersebut.
Mereka juga menekankan bahwa persoalan gereja berbeda dengan persoalan politik. Mereka tidak ingin seruan ini dianggap bermuatan politis. Adanya poin aspirasi bergabung dengan CEPAC murni karena “kedekatan geografis, kesamaan budaya, dan memiliki satu pusat hierarki dengan Tahta Suci Vatikan.”
Oleh karena itu mereka juga menegaskan, tuntutan ini bukan berarti menunjukkan niat mereka untuk keluar dari gereja katolik. “Kami tahu KWI juga berpusat pada Tahta Suci Vatikan. Tapi kami tidak mau keuskupan kami berada di bawah naungan KWI. Kami merasa tidak cocok.”
Penulis: Ageng Yudhapratama
Editor: JB Pramudya
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha