Tradisi Penghormatan Leluhur dan Hidup Keagamaan Masyarakat Tionghoa-Katolik

Ceng Beng Merupakan Tradisi Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa

Katolikana.com—Bagi masyarakat Tionghoa yang mengenal dan menjalani tradisi budayanya, penghormatan leluhur menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Namun, bagaimana Gereja memandang umat Katolik yang menjalankan tradisi ini?

Masyarakat Tionghoa melihat sosok orang tua sebagai bagian penting dari tiap individu. Tak ayal, meski tak lagi hidup bersama, mereka akan selalu dihormati dan didoakan.

Misalnya, Gho Hie Kiauw (92), warga masyarakat Tionghoa Katolik yang masih rutin menjalankan tradisi penghormatan leluhur.

Ko po co sembahyang ya, karena hormat sama orang tua. Ini niat dari hati sendiri,” paparnya saat dijumpai di kediamannya pada Kamis, (11/3/2021).

Rumah Abu Milik Gho Hie Kiauw di kediamannya. Foto: Dokumentasi Pribadi.

Beberapa masyarakat tradisional berpendapat, arwah orang yang telah meninggal tetaplah hidup.

Saat mereka meninggalkan tubuh dan bebas pergi ke mana pun, kemampuan mereka memengaruhi kerugian dan kebahagiaan manusia hidup akan semakin besar, sehingga perlu didoakan.

Inilah yang disebut Lín&Niè dalam artikel berjudul Pemujaan Leluhur di Rumah Etnis Tionghoa Surabaya, sebagai salah satu alasan munculnya tradisi ini.

Menurut Lín&Niè, ada pula yang menjalankan tradisi ini karena meyakini kehidupan di bumi serupa dengan di dunia arwah.

Meski telah meninggal, mereka dianggap tetap butuh makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal dan perabotan, serta uang untuk hidup nyaman di alamnya. Oleh sebab itu, keluarga berupaya memenuhi kebutuhan para leluhur.

Tradisi ini sekaligus menjadi kesempatan bagi keluarga besar untuk berkumpul.

“Karena sudah terbiasa ya, rasanya ada yang kurang kalau ndak dijalankan. Bisa kumpul-kumpul sama saudara jauh juga, kan sekali setahun kalau ceng beng,” ungkap Maria, yang biasa merayakan Ceng Beng (tahun baru arwah) bersama saudara dari luar Padang, Sabtu (13/3/2021).

Nostra Aetate. Sumber: Pena Katolik.

Pandangan Gereja

Menanggapi eksistensi tradisi semacam ini, sebuah dokumen gereja bernama Nostra Aetate lahir pada 28 Oktober 1965.

Gereja, lewat deklarasi ini memandang positif agama dan kepercayaan lain, seraya tetap menjalankan kesaksian iman hidup kristiani, dan memelihara, serta memajukan nilai-nilai sosiokultural di antara umat manusia.

 “The Church reproves, as foreign to the mind of Christ, any discrimination against men or harassment of them because of their race, color, condition of life, or religion.”— Nostra Aetate (1965).

Nostra Aetate menjadi satu dari 16 pedoman Konsili Vatikan II yang ditujukan bagi tokoh Katolik, dalam menjalankan peran sebagai bagian dari Gereja.

Paus Yohanes XXIII, sebagai penggagas rangkaian sidang, berniat menjadikan momen ini sebagai sarana untuk mendiskusikan kembali peranan Gereja Katolik di tengah dunia yang penuh keberagaman dan perkembangan.

Surat Dewan Kepausan Agung kepada ketua Konferensi Uskup di Asia, Amerika,dan Oseania turut menanggapi kehadiran tradisi penghormatan leluhur, yang merupakan rangkaian tradisi agama tradisional.

Dokumen berjudul Pastoral Attention to Traditional Religions ini, membahas hakikat dan alasan perhatian pastoral berdialog dengan agama-agama tradisional.

Perhatian Gereja terhadap Agama Tradisional. Sumber: Vatican.va

Agama tradisional di sini berarti agama yang berbeda dengan agama-agama besar yang tersebar di banyak budaya dan negeri.

Pada umumnya, tradisi kebaktian agama tradisional mengarah pada roh dan leluhur, atau pada Allah. Bentuk kebaktian pun dapat berupa doa, ziarah, dan kurban untuk leluhur.

Salah satu hakikatnya ialah, penganut agama tradisional menghormati kehidupan dan merayakan peristiwa-peristiwa pentingnya, seperti kelahiran, awal memasuki masa dewasa, pernikahan, dan kematian.

Lewat dokumen ini, gereja menghormati semua agama, budaya bangsa-bangsa, dan berniat mempertahankan keluhuran, kebenaran, dan kebaikan yang ada dalam budaya dan agama tersebut.

Selain itu, proses dialog menjadi poin penting sebagai bentuk pertemuan, pengertian dan hormat timbal-balik, serta proses bersama mencari kehendak Allah.

Meski demikian, dokumen ini menegaskan pendapat Gereja bahwa, masih ada beberapa aspek dalam agama tradisional yang perlu dikritisi.

Misalnya, pemahaman yang belum memadai tentang Allah, takhayul, ketakutan akan roh, hingga sejumlah praktik moral, seperti pengurbanan manusia.

Tahun Baru Leluhur

Salah satu tradisi yang diperuntukkan langsung dalam rangka penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa, biasa disebut Ceng Beng.

“Setahun tiga kali sembahyang, itu menjelang Imlek, sembahyang bulan 7/ Cit Gwee), sama itu lah sembahyang Ceng Beng (qīngmíng 清明),” jelas Gho Hie Kiauw.

Dalam tradisi Ceng Beng, keluarga besar berkumpul dan pergi ke tempat pemakaman untuk membersihkan kuburan dan sembahyang, atau langsung ke rumah abu.

Biasanya, keluarga juga akan menyediakan kebutuhan orang tua yang telah meninggal dengan mempersembahkan makanan, dan membakar barang-barang duplikat dari kertas.

Makanan yang disediakan pun beragam, mulai dari nasi, kue, buah, teh, arak (sopi), dan aneka lauk pauk.

“Kalau yang wajib ada, tergantung, tapi biasa ada seng le atau kadang ada juga go seng,” jelas Gho Hie Kiauw.

Ada yang menyebut makanan ini sebagai sam-seng, yakni makanan yang mewakili hewan domestik laut, darat, dan udara, misalnya kepiting, babi, dan bebek atau ayam. Tak jarang, beberapa makanan yang disajikan juga mengikuti selera para leluhur.

“Tapi ya tentu sesuai kemampuan (keluarga), kalau ndak, juga ndak apa-apa,” pungkas Gho Hie Kiauw.

Persembahan Makanan di Meja Besar di Rumah Abu Abadi. Foto: Dokumentasi Pribadi.

Adapun benda-benda yang biasa ada di meja sembahyang, misalnya dupa (hio), lilin, dan tempat dupa (hio lo). Selanjutnya, ada benda duplikat dari kertas, berupa uang kertas Kimcua dan Gincua, pakaian, sepatu, dan barang lain yang akan dibakar.

Artikel berjudul Makna Upacara Cheng Beng pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Medan menjelaskan, benda-benda ini dibakar dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan para leluhur di dunia akhirat, setidaknya sampai Ceng Beng berikutnya.

Salah satu anggota keluarga kemudian melakukan “papoe” untuk bertanya kepada leluhur dan memastikan ritual berakhir.[]

Kontributor: Frederica Nancy Sjamsuardi, Valencia Yuniarti Sutjiato, Damarra Kartika Sari, Silvester Alvin Basundara (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Ceng BengNostra AetateTionghoa
Comments (0)
Add Comment