Investasi Pertambangan dari Jakarta, Ancam Bencana Sosio-Ekologis di Kepulauan Flores

Flores dikepung investasi yang membahayakan masyarakat dan lingkungan

Katolikana.com – Kepulauan Flores di Nusa Tenggara Timur terkenal dengan keindahan alamnya. Tak hanya itu, Kepulauan Flores juga mengandung kekayaan sumber daya alam potensial bagi pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Namun, perkembangan investasi di beberapa bidang pada satu dekade belakangan di “Tanah Flobamora” turut berdampak buruk terhadap lingkungan alam dan masyarakat setempat.

Permasalahan tersebut dibedah dalam diskusi bertajuk “Jakarta Mabuk Investasi, Kepulauan Flores Terancam Bencana Sosial dan Ekologis”, Kamis lalu (18/3/2021). Dimoderatori oleh Venan Haryanto dari lembaga Sunspirit for Justice and Peace, perbincangan diawali dengan situasi kritis yang mengancam pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Flores yang menjadi sasaran investasi. Bahkan sejumlah fakta telah menunjukkan dampak buruk dari berbagai program pembangunan dan investasi di Flores.

Arrio Djempau dari Flores Documentary Network dan Melki Nahar dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menjabarkan tiga sektor investasi yang dijalankan oleh pemerintah maupun pengusaha swasta, mulai dari investasi pariwisata, pertambangan, sampai energi. Ketiga bidang tersebut saling berkaitan satu sama lain.  Mengapa demikian?

Mari kita simak satu per satu.

Protes Investasi Tambang Diabaikan

Sejak awal, masuknya industri tambang di Kepulauan Flores telah menjadi perhatian banyak pihak. Jenis pertambangan yang bertumbuh sebagai sektor industri meliputi pabrik semen, mangan, bijih besi, dan batu bara. Investasi tambang ini tersebar di sejumlah area, seperti Kabupaten Ende, Manggarai, Manggarai Timur, dan Ngada. Pabrik-pabrik tersebut sudah beroperasi sejak lama dan telah mendapatkan izin. Dan, yang mengherankan, sebagian izin penambangan itu masih aktif hingga kini, meskipun kegiatan operasional sudah tidak berjalan lagi.

Berkembangnya investasi pertambangan minerba di Kepulauan Flores sempat mendapat respons dari masyarakat lokal NTT. Mereka secara kritis mempertanyakan dampak buruk investasi tambang bagi mereka, selain minimnya manfaat yang mereka rasakan.

Resistensi ini lantang disuarakan oleh beragam kelompok masyarakat, antara lain mahasiswa, kaum agamawan Katolik, dan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian terhadap lingkungan. Masyarakat sipil lainnya pun acapkali ikut dalam aksi perlawanan.

Namun, pemerintah maupun perusahaan swasta yang berkepentingan menjalankan bisnis pertambangan hanya bergeming. Tuntutan warga lokal tidak pernah ditanggapi serius oleh pemangku kebijakan. Sejak 2013–2014, beragam protes warga tak pernah mendapat jawaban yang lengkap dan transparan.

Gaung dari kondisi ancaman terhadap keseimbangan ekologis dan sosial itu seiring waktu tertutup oleh dinamika industri tambang di Flores yang sempat meredup. Krisis global turut menjadi penyebab yang menurunkan pamor industri pertambangan hingga tahun 2018.

Pada akhir 2019, krisis berangsur pulih, yang ditunjukkan dengan tren industri pertambangan kembali normal. Sejalan dengan itu, wacana pengembangan teknologi mobil listrik di Indonesia mendorong potensi pertambangan di NTT, yang kaya dengan mineral mangan sebagai bahan baku alternatif energi listrik. Secara khusus, potensi produksi mangan terbesar di Indonesia terdapat di Flores.

Masyarakat NTT pun kembali gundah karena bila investasi tambang mangan ini dijalankan masif, dikhawatirkan akan mengeksploitasi alam di Pulau Flores.


Lahan I
nvestasi untuk Wisata Prioritas Diklaim Milik Pemerintah

Sewaktu investasi di bidang tambang “hampir selesai”, industri pariwisata perlahan bertumbuh merangkak dan masif di Kepulauan Flores. Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo adalah contoh dua obyek wisata yang menjadi prioritas. Tetapi kedua tempat itu dipertanyakan dalam aspek pemanfaatannya. Misalnya, Labuan Bajo yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat merupakan rumah bagi flora dan fauna, serta sumber air bagi masyarakat setempat. Ekspansi obyek wisata itu dikhawatirkan berpotensi merusak keseimbangan ekosistem alam di Labuan Bajo.

Sementara itu, Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar merupakan wilayah konservasi alam. Sayangnya, hingga kini sudah terdapat empat perusahaan yang mengantongi izin pembangunan fasilitas wisata. Lebih mengkhawatirkan, keempat perusahaan investor itu dijalankan oleh pihak yang berafiliasi langsung dengan pejabat pemerintah ataupun para pemangku kebijakan.

Tak hanya itu, Badan Otorita Pelaksana Labuan Bajo Flores dari Kementerian Pariwisata sudah mengklaim kepemilikan atas 400 hektar lahan di Labuan Bajo. Padahal apabila warga setempat ingin mengklaim hak miliknya atas tanah sejumlah satu sampai dua meter persegi saja, akan sangat merepotkan mereka dalam mengurus pengajuan gugatan ke pengadilan. Gambaran situasi ini diperparah dengan tren oknum-oknum tertentu yang mengaveling pulau-pulau kecil di sekitar Labuan Bajo sebagai milik pribadi. Praktik kaveling pulau ini makin marak sejak penetapan Labuan Bajo sebagai salah satu dari sepuluh tujuan wisata prioritas oleh Presiden Joko Widodo pada 2020.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut sudah lama dirasakan masyarakat. Masyarakat pun tidak tinggal diam. Advokasi telah dilakukan, mulai dari diskusi sampai demonstrasi. Sayangnya sampai saat ini, belum ada hasil yang berarti.

 

Uskup Ruteng, Mgr Huber Leteng Pr mengunjungi areal tambang. Ia bersikap menolak penambangan di NTT(Foto: Istimewa/Floresa.co)

Investasi Energi Berdalih Ramah Lingkungan

Pulau Flores juga ditetapkan sebagai geothermal island oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2017. Alasan utamanya adalah hampir seluruh wilayah Kepulauan Flores menyimpan cadangan energi panas bumi. Pemerintah pusat maupun perusahaan swasta lantas memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan potensi energi terbarukan—yang diklaim ramah lingkungan—dengan mengolah sumber daya alam secara berkelanjutan. Berbeda dengan anggapan “ramah lingkungan”, dampak buruk pencemaran lingkungan dan kesehatan justru muncul dan membuat masyarakat naik pitam, lalu melontarkan kritik dan penolakan.

Beberapa bentuk dampak buruk yang terjadi secara jelas, di antaranya banyak pepohonan sering tiba-tiba layu, binatang air di sekitar danau tiba-tiba mati, dan masyarakat sekitar yang mengalami batuk-batuk, radang pernapasan, atau keluhan lainnya. Perwakilan perusahaan terkait menganggap kondisi itu terjadi karena kandungan gas H2S (Hidrogen sulfida) yang tinggi sebagai dampak pemanfaatan energi panas bumi.

Di sisi lain, pemanfaatan energi panas bumi berefek secara sosial, yaitu membingungkan masyarakat perihal kemungkinan tempat tinggal mereka akan direlokasi. Masyarakat yang tinggal di area terdekat dari lokasi pengembangan pun bertanya-tanya tentang manfaat investasi energi panas bumi itu. Mereka samasekali belum menikmati hasil dari pemanfaatan energi panas bumi. Dengan kata lain, pemanfaatan energi panas bumi tampaknya lebih diarahkan guna menopang sektor industri pariwisata dan pertambangan di Flores.

Bahkan muncul pula wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Hal ini menambah keresahan masyarakat setempat karena alih-alih dibangun untuk memenuhi kebutuhan daya listrik rumah tangga yang masih minim, PLTU itu lagi-lagi diberdayakan bagi kepentingan operasional pertambangan.


Mengurai Benang Kusut Investasi

Seluruh kejanggalan dari investasi pada sektor usaha pertambangan, pariwisata, dan energi di Kepulauan Flores memperkuat asumsi bahwa setiap kekayaan di daratan dan perairan Indonesia telah dieksploitasi untuk kepentingan pelaku industri semata. Pengembangan itu seringkali mengabaikan dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian alam. Persoalan ini diperparah dengan penegakan aturan hukum di Tanah Air yang kerap memberi celah para pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam. Kondisi inilah yang makin meresahkan tidak hanya bagi masyarakat sekitar, tapi juga pegiat lingkungan.

Sapariah Saturi, editor portal berita Mongabay Indonesia yang berfokus pada isu lingkungan, memandang masalah lingkungan masih menjadi persoalan marjinal dan dinomorduakan di Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah fungsi media dalam menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemangku kebijakan belum maksimal dalam menjalankan tugas secara independen. Di sisi lain, dibandingkan isu lain, masalah lingkungan kerap dipandang remeh sehingga diabaikan begitu saja. Tak jarang, bahkan sesudah dampak kerusakan alam menjadi sangat parah dan diliput oleh media asing, barulah media nasional akan memberitakannya.

Merawat kelestarian alam Kepulauan Flores dari ancaman bencana sosial dan ekologis merupakan pekerjaan rumah kita semua. Bila tidak ditangani dengan segera, manusia sebagai penghuni alam semesta lambat laun juga akan mengalami kerugian.

Lalu bagaimanakah solusinya? Langkah awal sudah dimulai oleh masyarakat di sekitar lokasi pengembangan investasi yang sadar tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Semoga upaya itu turut disambut baik dan dijalankan oleh para pemangku kebijakan serta pihak lain yang peduli terhadap keseimbangan ekosistem.

Kontributor: Agnes Butet Hanis, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Editor: Robertus Rony Setiawan

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Bencana EkologisInvestasi TambangKerusakan LingkunganKeuskupan Ruteng
Comments (0)
Add Comment