Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) Ganjuran: Kental dengan Arsitektur Budaya Jawa Sakral

Ketika ke Gereja Ganjuran, Anda Mungkin akan Melihat Pakaian Bernuansa Jawa dari Romo dan Umat

Katolikana.com—Arsitektur Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) yang terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarata, mengikuti patron budaya Jawa mulai dari ornamen, warna, bentuk, hingga tata ruangnya.

Arsitektur Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan salah satu bentuk perwujudan proses inkulturasi dalam agama Katolik. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Gereja belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai yang ada.

Bagian luar Gereja Ganjuran. Foto: Wikipedia

Dosen Universitas Kristen Petra Surabaya Joyce Marcella Laurens mengungkapkan, arsitektur yang menjadi patron ini telah dikenal menyimpan berbagai makna di balik elemen dan bentuknya, termasuk bagaimana masyarakat Jawa menghayati nilai-nilai religius sebagai bentuk pengungkapan iman Katolik yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan.

Yoseph Dwikora Krismiyanto, Dosen Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Foto: Istimewa

Renovasi Gereja

Gereja Ganjuran sempat mengalami renovasi besar-besaran dan membuat konstruksi bangunan baru setelah terjadi gempa bumi tahun 2006.

“Direktur pabrik gula membuat bentuk Gereja yang terpengaruh gaya Belanda dan Hindhis meskipun tetap memiliki aspek bangunan Jawa”, tutur Dosen Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yoseph Dwikora Krismiyanto, ketika dihubungi Katolikana via Zoom, Sabtu (27/3/2021).

Di Kompleks Gereja Ganjuran dibangun candi untuk ‘merebut hati’ masyarakat pribumi. Candi ini menjadi suatu aspek yang melekat dengan budaya Jawa karena adanya inkulturasi.

Kemudian Yoseph menambahkan bahwa renovasi tersebut membuat bangunan Gereja Ganjuran dirombak total dan mengikuti patron adat pendopo Keraton Yogyakarta.

Keunikan Bangunan

Gereja Ganjuran merupakan gereja candi yang menjadi ciri khas rumah ibadat dan tidak bisa dipisahkan untuk devosi kepada hati kudus Yesus.

Tak hanya itu, gereja ini juga lekat dengan inkulturasi budaya Jawa yang dapat dilihat dari bentuk arsitektur bangunannya yang dibuat begitu persis dengan patron adat Keraton Yogyakarta.

“Bangunan pendopo Gereja dibuat sangat terbuka, persis dengan pendopo Keraton Yogyakarta. Gereja Ganjuran juga mengikuti warna dan ornamen sesuai dengan aturan bangunan Keraton,” tegas Yoseph.

Yoseph pun menjelaskan bahwa gereja lain yang kebanyakan menggunakan arsitektur modern, justru tidak dibangun tiang-tiang penyangga (soko guru) di bagian tengah karena dianggap menghalangi panti imam.

“Berbeda dengan Gereja Ganjuran, dengan unsur Jawa yang sangat kental, gereja ini justru memiliki empat tiang penyangga (soko guru) secara vertikal yang menandai bagian tengah pendopo,” tulis Joyce Marcella Laurens.

Soko guru di bagian pendopo Gereja. Foto: Hipwee

Hal lain yang menjadikan Gereja Ganjuran unik adalah dari segi liturgis yang menggunakan alat musik gamelan dan pakaian adat Jawa lengkap.

Jangan kaget ketika ke Gereja Ganjuran, Anda mungkin akan melihat pakaian bernuansa Jawa dari Romo dan umat. Hal itulah yang menjadikan Gereja Ganjuran begitu spesial karena kental dengan unsur Jawa.

Arsitektur Jawa

Yoseph Dwikora Krismiyanto memaparkan bahwa dalam arsitektur Jawa, bagian yang berada di depan disebut dengan pendopo, kemudian bagian penghubung sebagai pringgitan wayang, altar sebagai panti imam, dan bagian dalam merupakan ‘dalem’  Gereja yang berarti tempat tinggal Tuhan.

Bangunan Gereja Ganjuran berbentuk joglo tajuk dengan ujung runcing yang menandakan bahwa bangunan tersebut khusus untuk tempat religius

Seperti halnya pada pendopo Keraton Yogyakarta, ornamen di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran juga ditemukan berbagai elemen bentuk arsitektur.

Wuwung kembang turen sebagai lambang kewibawaan. Hiasan banyu tumetes pada papan lis yang menggambarkan tetesan rejeki bagi umat. Kemudian ornamen soko guru berupa bunga padma yang berarti keabadian atau kelanggengan, serta ornamen probo di atas dan bawah pilar yang melambangkan sabda Allah menjadi dasar kekuatan Gereja”, tulis Joyce Marcella Laurens.

Patung Yesus dengan model Jawa. Foto: Brilio.net

Unsur Jawa dari Keraton juga dapat dilihat dari ornamen flora dan fauna yaitu tumbuh-tumbuhan dan binatang. Namun, ornamen religius harus tetap ada dan sesuai dengan Gereja Katolik, misalnya gambar malaikat dan tabernakel.

Yoseph menuturkan bahwa patung Yesus dan Bunda Maria pun juga dibuat dengan model Jawa sehingga muncul sebutan “Yesusnya orang Jawa” karena masyarakat Jawa pun sudah memercayai iman Katolik.

Selanjutnya, warna pun juga memiliki makna tersendiri dalam aspek bangunan arsitektur Gereja Ganjuran. Lagi-lagi, bangunan yang dirancang selalu ‘memayu hayuning bawana’, artinya mengacu pada keselarasan alam dan kebaikan bagi semua makhluk hidup.

“Warna hijau menunjukkan keselarasan alam, warna krem sebagai kehangatan interaksi para umat, dan warna emas artinya cita-cita mulia. Kalau dari segi bentuk, memang Keraton berwarna hijau karena berarti penghormatan terhadap seluruh semua makhluk hidup,” ujar Yoseph.

Aspek Sistematis dan Geometris

Sistematis mengacu pada metode perancangan bangunan, sedangkan geometris dapat dilihat secara langsung.

Aspek sistematis ini merujuk pada perancangan yang melibatkan umat mulai dari pendataan awal, kebutuhan ruang, dan tematik yang akan dibuat.

Di Gereja ada bangunan lain seperti pendopo, pastoran, area halaman, tempat parkir, rumah karyawan, toko, dan kompleks.

Yoseph menyebutkan bahwa bagian-bagian bangunan tersebut menjadi satu tema perancangan yang sistematik, yaitu keterpaduan dalam rancangan di kawasan tersebut.

Sedangkan geometris merupakan bentuk dasar yang diambil, yaitu bujur sangkar karena terdapat joglo dan dalem. Semua bangunan kebanyakkan memang menggunakan bentuk persegi panjang.

“Masyarakat Jawa suka dengan keteraturan dan simetri. Sehingga keselarasan lagi-lagi menjadi tujuan yang utama,” tegas Yoseph.

Daya Tarik Gereja Ganjuran

Bangunan Gereja Ganjuran terlihat menarik dan mencerminkan budaya Jawa, serta ditunjang dengan simbolisme candi sebagai sesuatu yang sudah merakyat cukup lama. Hal ini membuat masyarakat mengunjungi Gereja Ganjuran.

Yoseph menyebutkan tiga aspek yang menjadikan umat Katolik berkunjung ke Gereja Ganjuran.

1.Tradisi ziarah yang sudah ada.

Kebanyakan umat Katolik melakukan ziarah untuk berdoa, baik ke Gua Maria maupun tempat rohani lainnya. Namun, di Gereja Ganjuran tidak menyebut Bunda Maria secara eksplisit. Ini menjadi satu kenyataan bahwa bagi umat Katolik, tradisi ziarah dan berdoa memang sudah ada sejak dulu.

2. Munculnya berbagai permasalahan hidup yang dialami oleh keluarga Katolik.

Mulai dari masalah ekonomi, jodoh, rezeki, ketakutan, dan lain sebagainya. Terkadang kita butuh tempat untuk mengadu dan hening.

3. Faktor sosiologis yaitu cerita dari mulut ke mulut.

Ternyata banyak cerita dari masyarakat yang pernah ke Ganjuran dan doanya bisa dikabulkan. Selain itu, suasana Gereja Ganjuran pun bisa membuat umat menjadi lebih tenang dan teduh ketika berdoa.

“Ada dua dimensi dalam doa yakni memohon dan mendengarkan petunjuk dari Tuhan. Maka dari itu, dibutuhkan tempat seperti Gereja Ganjuran untuk menenangkan hati dan pikiran,” jelas Yoseph.

Bangunan Arsitektur Sakral

Sebagai tempat untuk berdoa, Gereja Ganjuran berhasil memberikan suasana sakral atau suci bagi umat yang hadir.

“Beberapa gereja di Yogyakarta tidak semuanya berhasil membuat suasana yang suci dan sakral melalui bangunannya, tapi Gereja Ganjuran termasuk yang berhasil yaitu sakral, sekaligus jawa,” ungkap Yoseph.

Namun, yang menjadi kekurangan di bangunan Gereja Ganjuran adalah pendopo yang terlalu terbuka. Hal tersebut dikarenakan, seluruh patron budaya Jawa diikuti oleh Ganjuran, termasuk pendopo sebagai Gereja utama yang dibuat tanpa dinding atau sekat dari luar.

Akibat dari pendopo yang terlalu terbuka, semua suara dapat terdengar jelas oleh umat, yang pasti mengganggu kekhidmatan dalam beribadat.

Yoseph menjelaskan bahwa pendopo yang terbuka menjadi terlalu blak-blakan. Sehingga bisa saja umatnya menjadi tidak sakral ketika berdoa.

Melalui pengalaman tersebut, Yoseph—yang juga merancang Gereja Baciro yang memiliki konsep joglo—belajar dari hal tersebut.

Ketika membangun Gereja Baciro, meskipun bangunan berbentuk pendopo, Yoseph menambahkan dinding agar umat dapat merasakan perjumpaan dengan Tuhan secara lebih fokus.

Pada akhirnya, bangunan yang dibuat berbasis nilai-nilai budaya memang harus menyesuaikan atau kompromi: ingin lebih kental unsur budaya tanpa peduli bentuk bangunan atau sebaliknya. []

Ralat: Sebelumnya tertulis bahwa Dosen Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yoseph Dwikora Krismiyanto adalah perancang bangunan Gereja Ganjuran. Berdasarkan informasi dari Benny Kristiawan, dinyatakan bahwa Yoseph Dwikora Krismiyanto tidak merancang Gereja HKTY Ganjuran. Berdasarkan penelurusan dari sejumlah sumber, redaksi menemukan bahwa perancang Gereja HKTY Ganjuran adalah Ir. Y. Arditya Samudra dan Ir. Winarno sebagai arsitek tradisional Jawa. Dengan demikian kesalahan sudah diperbaiki.

Kontributor: Maria Nariswari, Laurencia Eprina Dian, Kevin Aditya (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Gereja GanjuranInkulturasiPilihan Editor
Comments (0)
Add Comment