Katolikana.com—Membicarakan kisah sengsara Yesus Kristus, umat Kristiani cenderung fokus pada sosok Yesus sebagai tokoh sentral. Padahal, ada beberapa sosok lain yang layak dilirik.
Tak dimungkiri, sejak Kamis sore hingga Jumat sore, waktu di mana Dia meninggalkan dunia, Kristus memperlihatkan konsistensi ajaranNya.
Ia melayani para rasul pada perjamuan malam terakhir, mendoakan Hanas, melawan fitnah di pengadilan dengan cara nirkekerasan, dan masih banyak lagi.
Karena banyaknya nilai positif yang ditunjukkanNya, kita mungkin melupakan peran tokoh antagonis dalam perjalanan akhir Kristus.
Berikut, kisah tiga tokoh yang merefleksikan sosok-sosok manusia zaman ini
1. Pontius Pilatus: Dilema Politik
Pada zaman Yesus hidup, Israel dikuasai oleh Kekaisaran Romawi di mana Pontius Pilatus yang terkenal sangat utilitarian menjadi gubernur atau wakil pemerintahan wilayah Yudea.
Pemerintahannya tak lepas dari gejolak sosial politik. Beberapa kali dirinya harus menghadapi pemberontakan. Semakin labilnya kondisi Yudea, tentu nasib Pilatus bisa berakhir tragis bila diketahui oleh Kaisar Romawi.
Saat pengadilan Yesus, Pilatus dihadapkan pada dilema politik. Sang Gubernur memahami bahwa imam-imam kepala dan ahli taurat yang mendakwa Yesus ‘kalah pamor’ dengan Mesias. Dengan kata lain, Pilatus mengerti Yesus adalah terdakwa tak bersalah.
Di sisi lain, ancaman pemberontakan di depan mata jika tuntutan mereka—mengeksekusi mati Yesus—ditolak. Pilatus akhirnya mengamankan dirinya sendiri dengan menghukum mati Yesus dengan cara paling barbar.
Sebelum menghujat Pilatus, apakah kita benar-benar pantas melakukannya?
Tanpa disadari, manusia kontemporer pun kadang memperlihatkan wajah Gubernur Yudea tersebut.
Sebagai contoh, beberapa minggu yang lalu masyarakat disuguhi berita mengenai Kepala Desa Cijalingan yang memarahi seorang guru karena guru tersebut mengkritik dengan cara menggungah konten berisi kerusakan jalan di wilayah kepala desa tersebut.
Abuse of power atau penyalahgunaan wewenang kepala desa tersebut menunjukkan bagaimana sosok Pilatus masa kini yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.
Kepala Desa Cijalingan tentu tak mau kehilangan muka, sehingga justru membungkam kritik, bukan mengakui kesalahan.
Contoh lain, misalnya, kelakuan manusia yang menggunakan jabatannya untuk menciptakan sistem rekrutmen pegawai atau penawaran proyek yang tidak adil.
Sebenarnya, masih banyak contoh lain terkait ketidakadilan ala Pilatus yang eksis sekarang.
2. Yudas Iskariot: Pengkhianat
Julukan si pengkhianat tak lepas dari salah satu rasul Yesus yakni Yudas Iskariot.
Meski ada temuan yang berargumen bahwa motivasi Yudas menyerahkan Mesias ialah untuk mendorong Yesus untuk membebaskan Israel dari kolonialisasi Kekaisaran Romawi, julukan pengkhianat sudah terlanjur menempel padanya.
Mengolok-olok kelakuan Yudas Iskariot tentu dapat dimaklumi. Namun, hal ini serasa inkosisten jika manusia zaman sekarang masih sering mengorbankan relasi persahabatan demi kekuasaan.
Misalnya, kita memfitnah rekan kerja sendiri di hadapan atasan demi kesempatan promosi. Atau, ketika di hadapan seseorang yang kurang kita sukai, kita bersikap manis. Namun, di belakangnya, kita justru bersikap sinis. Jadi, masihkah pantas kita menghina Yudas?
3. Masyarakat Biasa: Menghasut dan Menghujat
Dalam film The Passion of the Christ garapan Mel Gibson, penonton dapat menyaksikan bagaimana masyarakat biasa mencela dan meludahi Yesus yang membawa salib.
Walaupun bukan referensi langsung dari Gereja Katolik (seperti Alkitab), visualisasi film tersebut masuk akal di mana dalam perjalanan banyak orang yang menghujat, meludahi, atau bahkan ikut memukul Yesus.
Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti hasutan atau memang bernafsu melukai Yesus.
Mungkin kita jengkel melihat kelakuan mereka yang sok tahu terhadap latar belakang hidup seseorang, tetapi turut sinis atau bahkan menyakiti orang tersebut.
Kita perlu berkaca, apakah pantas kita jengkel sementara kita membiarkan perundungan atau mungkin ikut membully seseorang di sekolah, lingkungan pekerjaan, atau lingkup masyarakat?
Tulisan ini tidak bermaksud membuktikan apakah ketiga tokoh antagonis di atas benar atau salah.
Dengan memahami dari sudut pandang lain, kita mencoba berefleksi: apakah kita pantas menyalahkan tokoh antagonis dalam kisah Via Dolorosa, sementara kita mungkin juga bersikap seperti mereka? []
Penulis: Yohanes Ivan Adi Kristianto, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa Timur
Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur. Lulusan S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan S-2 International Relations di University of Groningen, Belanda. Ia aktif menulis artikel ilmiah di media massa online maupun offline.