Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hari-hari ini sedang dilanda duka. Siklon Tropis Seroja menghantam provinsi ini dan meluluhlantahkan fasilitas pribadi, fasilitas publik, tumbuhan, hewan, bahkan memakan korban manusia.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati, Selasa (6/4/2021) menginformasikan data mengenai dampak bencana sebagai berikut:
Deskripsi | Jumlah |
Warga yang mengungsi | 2.019 KK (8.424 warga) |
Warga terdampak | 1.083 (2.683 warga) |
Korban meninggal dunia | 128 orang (Kabupaten Lembata 67 orang, Flores Timur 49 orang, Alor 12 orang). |
Orang yang hilang | 72 orang (Kabupaten Alor 28 orang, Flores Timur 23 orang, dan Lembata 21 orang). |
Rumah terdampak | 1.962 unit |
Rumah rusak berat | 119 unit |
Rumah rusak | 118 unit |
Rumah rusak ringan | 34 unit |
Fasilitas umum yang rusak berat | 14 unit |
Fasilitas umum rusak ringan | 1 unit |
Fasilitas umum terdampak | 84 unit |
Pesan Paus Fransiskus
Untuk memeringati Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 pada 16 Mei 2021, Bapa Suci Paus Fransiskus memberikan Pesan dengan tema “Datang dan Lihatlah (Yoh. 1:46): Berkomunikasi dengan Menjumpai Orang Lain Apa Adanya”.
Dalam pesannya, Paus mengajak kita semua untuk menjadikan “Datang dan Melihat” sebagai sebuah metode komunikasi yang otentik.
Beliau menegaskan, “Kita perlu bergerak, pergi melihat sendiri, tinggal bersama orang-orang, mendengarkan kisah mereka dan mengumpulkan pelbagai pendapat atas realita yang akan selalu mengejutkan kita dalam beberapa aspek.”
Menurutnya, “inilah cara iman Kristiani dikomunikasikan sejak pertemuan-pertemuan pertama di tepi sungai Yordan dan Galilea”.
Tanpa perjumpaan seperti itu, lanjut Paus, kita akan menjadi “penonton dari luar” yang tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi di lapangan.
Sebaliknya, dengan perjumpaan, orang mendapatkan verifikasi sebuah pernyataan dengan pasti dan jujur. Dengan perjumpaan, orang meredam berita gosip dan hoaks yang semakin bertebaran.
Memahami Duka di NTT
Jika pesan Bapa Suci diterjemahkan dalam konteks duka di NTT, kita mesti sampai pada tahap “memahami”.
Memahami di sini bukan diartikan sebagai sebuah pembiaran atau bahkan sebuah pengabaian dengan menggunakan dalil “biarkan alam bercerita”, “duka mereka, bukan duka kita”, atau dalil teologi, “Tuhan sudah mengatur semuanya, “nanti Tuhan tolong”, dan seterusnya.
Atau, bahkan sekadar mengetahui informasi bahwa di NTT ada bencana dan berdampak pada masyarakat dan lingkungan sekitar.
Memahami di sini lebih mengacu pada pemberian diri. Membiarkan diri masuk, tercemplung, dan tenggelam dalam penderitaan orang lain. Dalam bahasa Emanuel Levinas: orang lain adalah wajah saya yang lain.
Memahami di sini amatlah berbeda dengan konsep “mengetahui”. Memahami dimaksudkan sebagai sebuah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dengan memahami, seseorang menjangkau pribadi yang lain.
Berbeda dengan mengetahui, orang yang berada pada taraf mengetahui, belum bisa disebut sebagai orang yang paham akan sesuatu. Sebab, dengan memahami, orang melibatkan diri untuk menangkap makna dari sesuatu, bukan sekadar sebuah penelitian untuk memperoleh data akan sesuatu.
Perbedaan itu bisa diungkapkan sebagai berikut: memahami dengan hati, sedangkan mengetahui dengan kepala; memahami keseluruhan dengan mengetahui sebagian (mengetahui); memahami kedalaman dengan mengetahui permukaan. Keduanya sangat berbeda (F. Budi Hardiman, 2015).
Duka di NTT sejatinya menggugat hati nurani dan kemanusiaan kita untuk memahami dan menolong korban yang menderita.
Sudah banyak sumbangan yang ditelurkan ke masyarakat yang terdampak di NTT, entah dari pemerintah, perorangan, lembaga, ataupun LSM.
Menteri Sosial, Tri Rismaharani pun turun langsung ke lapangan, bahkan melontarkan amarah ke pemda dan petugas terkait yang lamban dalam pendistribusian makanan dan kebutuhan pokok lainnya (Wartaekonomi.co.id, 7/4/21).
Inilah tanda solidaritas kita, tanda bahwa kita memahami penderitaan orang lain.
Selfie di Lokasi Bencana
Tak dapat dimungkiri, momen-momen seperti ini kadangkala diboncengi oleh kepentingan tertentu.
Aktivis dan anggota JPIC SVD Ende Pater Vande Raring, SVD, Selasa (6/4/2021) di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengatakan, ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan momen untuk mengampanyekan diri untuk mengikuti kontestasi politik tertentu atau memamerkan diri dengan cara berselfie sebagai bukti bahwa ia telah memberi sumbangan.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Pater Vande mengingatkan, di tengah bencana, kita mesti meninggalkan segala kepentingan itu.
Yang mesti dijunjung tinggi adalah kemanusiaan dan dorongan hati nurani untuk menolong sesama yang menderita. Realitas pamer diri mesti dijauhi.
Ketika memberi, orang memperlihatkan kepada seluruh dunia bahwa ia memberi dengan mengambil foto atau membuat dokumentasi.
Itu tentu penting, misalnya untuk pelaporan kepada atasan atau pendonor, tetapi intensi pemberian itu tidak boleh diboncengi.
Hati nurani kita mesti tergerak dengan sendirinya. “Apa yang diberikan oleh tangan kanan, hendaknya tidak diketahui oleh tangan kiri”.
Mari bersama-sama menjadikan duka di NTT sebagai duka kita, memahami duka di NTT sebagai bukti solidaritas kita kepada orang yang menderita seperti ditunjukkan oleh Yesus kristus, sang Juru selamat kita.
Mengutip seruan doa yang ditulis Paus Fransiskus: “Tuhan, ajarlah kami untuk pergi dan melihat”. []
Alumnus STFK Ledalero, Maumere, Tinggal di Maumere