Katolikana.com – Keuskupan Weetebula membentuk tim khusus untuk menangani kasus aksi kekerasan seksual yang diduga melibatkan seorang imamnya. Selain mengumpulkan informasi, Tim Keuskupan ini juga memfasilitasi mediasi antara korban dan terduga pelaku. Namun, mediasi mandul dan sanksi berat uskup tak mempan. Korban pun harus berada dalam penantian panjang untuk mendapatkan keadilan.
Uskup Weetebula, Mgr. Edmond Woga, CssR, menggunakan kewenangannya untuk menyikapi kasus aksi kekerasan seksual yang diduga melibatkan seorang imamnya terhadap Afra, seorang “mantan” biarawati. Keuskupan pun membuat tim khusus.
Tugas tim bentukan Keuskupan–sebut saja Tim Keuskupan – ini selain mengumpulkan informasi, antara lain memfasilitasi mediasi antara korban dan terduga pelaku. Tercatat mediasi yang diselenggarakan antara lain berlangsung pada 2-3 September 2020 di Kantor Keuskupan Weetebula, Sumba, NTT.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Katolikana dan The Jakarta Post, mediasi ini terjadi setelah beberapa pihak, antara lain Komisi Nasional Perempuan RI dan sebuah lembaga kemanusiaan di Maumere, NTT, mendesak Keuskupan untuk memulangkan MT sebagai terduga pelaku yang saat itu meninggalkan Sumba.
Sejak keluar dari Sumba, MT diketahui berada di Surabaya selama sekitar dua bulan. Ia dikabarkan sedang menjalani pendampingan rohani.
BACA! Laporan Khusus: Nyanyi Sunyi “Mantan” Biarawati Korban Aksi Kekerasan Seksual di Jantung Gereja
BACA! Testimoni Afra (1): “Mantan” Biarawati Korban Aksi Kekerasan Seksual oleh Seorang Pastor
Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Weetebula, Pater Agustinus Malo Bulu, CssR yang berbicara kepada Katolikana dan The Jakarta Post melalui call conference, pada 5 Januari 2021, mengungkapkan, mediasi yang dilakukan oleh Bapa Uskup tidak melahirkan titik temu kedua belah pihak.
Pater Agus, demikian sang Vikjen disapa, mengemukakan, prinsipnya kedua pribadi itu sendiri yang harus memutuskanya. Sebagai orang dewasa, tutur Vikjen, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah mereka lakukan.
“Itu yang ditempuh keuskupan setelah berbicara dengan keluarga, dan yang disebut korban,” ujarnya seraya menyebutkan, “Pihak Keuskupan dalam hal ini harusnya juga adalah korban, bukan dituduh sebagai pelaku.”
Dalam mediasi, korban menuntut terduga pelaku berinisial MT untuk bertanggung jawab. Sementara MT mengatakan bahwa kejadian hubungan tersebut terjadi karena hal yang situasional, bukan karena sungguh-sungguh mencintai.
Secara Katolik, kata Pater Agus, sulit untuk menikah kalau tanpa dasar cinta satu sama lain. Hal ini menjadi alasan lain mengapa pihak Keuskupan tidak memaksakan MT harus menikah dengan perempuan (korban) atau pihaknya tidak mengambil pilihan itu. Pernikahan (secara) Katolik, menurutnya, tidak bisa dipaksakan.
Sanksi Berat Uskup
Sejak peristiwa kasus aksi kekerasan seksual itu terungkap, pihak Keuskupan Weetebula yang telah menerima laporan tentang kasus itu mengambil sikap. Pada 4 Juni 2020, Uskup bersama Kuria Keuskupan: Vikjen, Sekjen, Ekonom, mengundang kakak korban, Romo Adrian, yang juga pastor kepala di tempat kejadian perkara.
Kepada Romo Adrian, pihak Keuskupan ingin mendengarkan seputar kasus yang melibatkan MT sebagai terduga pelaku. MT adalah imam diosesan yang menjadi pastor pembantu di paroki yang dipimpin Adrian.
Tim Keuskupan juga bergerak menyelidiki kasus tersebut. Pada 14 Juni 2020 sebuah delegasi yang terdiri dari kuria Keuskupan mendatangi korban dan keluarganya di rumah ibu korban di Sumba. Delegasi itu ingin mendengarkan keluhan dan harapan korban beserta keluarga, sekaligus menginvestigasi kasusnya.
Mgr. Edmond Woga, CssR, sang uskup, juga mengambil sikap tegas. Ia memberikan sanksi berupa suspensi kepada MT. Sanksi suspensi itu melarang (Romo) MT merayakan misa dan sakramen apa pun.
Menurut Pater Agus, suspensi dikeluarkan setelah Uskup mendapatkan laporan ihwal kasus tersebut. Tapi Agus megaku tidak ingat tanggal pasti pemberian sanksi itu. Namun sanksi memang telah dikeluarkan sekaligus telah disampaikan kepada para pastor paroki untuk disampaikan kepada umat.
“Tanggal pastinya saya tidak ingat. Tapi surat suspensi itu ada dan (telah) diedarkan ke pastor-pastor paroki,” ujarnya.
BACA! Testimoni Afra (2): “Berlindung” di Balik Jubah
Melalui Vikjen, Katolikana dan The Jakarta Post telah berusaha meminta salinan surat suspensi yang dikeluarkan oleh Uskup. Namun, menurut Vikjen, Uskup tidak mengizinkan pemberian salinan surat tersebut.
Ihwal pemberian sanksi suspensi itu juga telah disampaikan kepada Afra selaku korban. Dalam wawancara daring, Afra membenarkan bahwa dirinya telah diberitahu oleh Uskup pada saat mediasi di Keuskupan berlangsung.
Seperti diketahui mediasi itu tak membuahkan penyelesaian. Menurtut Pater Agus, mediasi yang berakhir tanpa titik temu itu kemudian menjadi pertimbangan Uskup untuk memberikan sanksi extra domus atau tinggal di luar kepada MT.
Extra domus berarti dikeluarkan dari lembaga keuskupan. Dengan turunnya sanksi extra domus atau tinggal di luar, berarti bahwa MT dilarang tinggal di lembaga-lembaga di bawah keuskupan (Weetebula).
Kesempatan tinggal di luar itu diberikan agar MT sebagai pihak yang dijatuhi sanksi menyelesaikan masalah yang dibuat dengan pihak perempuan (Afra). Konsekuensi dijatuhkannya extra domus, antara lain, keluarga perempuan tidak harus meminta izin kepada Uskup jika hendak berkomunikasi dengan MT sebagai penerima sanksi.
Menurut Pater Agus, ketika extra domus sudah dijatuhan, keberadaan secara fisik di luar keuskupan atau tidak, hal itu tidak mempengaruhi statusnya. Kata ‘di luar’ menurut Agus, jangan selalu ditafsirkan yang bersangkutan harus di luar secara fisik. Namun, ada alasan lain, MT masih diperbolehkan tinggal di dalam Keuskupan karena pertimbangan keselamatan.
Pihak Keuskupan mendengar bahwa MT mendapatkan ancaman sehingga ia harus ditolong. “Kalau situasinya seperti itu, ia boleh tinggal di sini. Tapi kalau keluarga (korban) ingin bertemu atau berbicara kasus, tidak harus meminta izin dari Bapa Uskup, karena statusnya sudah jelas,” ujar Vikjen.
Masih soal status extra domus, lanjut Pater Agus, selain pihak korban tidak perlu meminta izin Uskup untuk menemui terduga pelaku, penyelesaian perkaranya pun diserahkan sepenuhnya kepada kedua pihak. Hal itu termasuk jika kedua pihak ingin menempuh jalan hukum di luar Gereja.
“Jadi, kalau salah satunya tidak puas dan mau melaporkan ke polisi, kami tidak melarang. Itu hak. Jadi silakan saja. Sampai sekarang, kami juga tidak bertanya lagi apakah melapor atau tidak. Itu sepenuhnya hak mereka. Kami juga tidak bisa mengatur mereka untuk tidak melaporkan,” kata Pater Agus.
Penantian Panjang Korban
Hampir satu tahun kasus aksi kekerasan seksual dengan seorang imam diosesan berinisial MT selaku terduga pelaku belum menunjukkan titik terang bagi korban, Afra. Bersama keluarganya yang juga menjadi korban Afra terus berusha mencari keadilan.
Meskipun jalan keadilan yang ditempuh terasa penuh liku, korban dan keluarga tetap percaya bahwa keadilan dari pihak Gereja akan datang. Afra mengaku menyandarkan datangnya keadilan itu dari Bapa Uskup. Tetapi justru di sinilah Afra harus menghadapi penantian panjang yang tak kunjung berujung.
Bagi Afra dan keluarga penantian panjang itu juga terasa amat melelahkan. Berulang kali, pihak Keuskupan memberikan jawaban ‘sabar’, atau ‘tunggu waktunya’. Padahal pada hari kedua mediasi, 3 September 2020, Afra mengaku bahwa ia dengan terang-terangan sudah mengatakan apa yang dialami dan tuntutannya secara langsung kepada Uskup.
MT, kata Afra saat mediasi, sudah tidak layak menjadi pastor karena telah melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya. Bapa Uskup, lanjut Afra, mengatakan bahwa sanksi berat berupa suspensi dan extra domus sudah dijatuhkan.
Namun, di mata Afra dan keluarganya, dua jenis hukuman yang dijatuhkan kepada MT itu tidak cukup memberikan rasa keadilan. Afra merasa kecewa tersebab Uskup tidak memberikan keputusan tegas terhadap status MT.
Bagi Afra keputusan yang tegas adalah MT harus dikeluarkan dari posisi profesinya sebagai pastor. Bila dia tidak mau, menurutnya, Uskup bisa saja mengeluarkannya.
“Dia (harus) keluar sebagai awam. Hidup sebagai awam. Menurut saya itu lebih terhormat daripada tetap menjadi seorang imam yang munafik,” kata Afra.
Pada 17 Maret 2021, Katolikana dan The Jakarta Post menanyakan kembali perkembangan status MT terkait sanksi extra domus yang dijatuhkan kepada MT. Vikjen Agus menyampaikan bahwa MT masih dikenai status extra domus yang secara tidak langsung menegaskan belum adanya hal yang berubah berkaitan dengan sanksi yang harus dijalani MT.
“Segala langkah tindakan yang diambil (sudah) sesuai (dengan) norma dan tetap memihak korban. Bahwa yang bersangkutan masih tinggal di sini (keuskupan) hanyalah bentuk karitatif demi kelangsungan hidup. Proses masih berjalan dan terus dipantau,” tulis Pater Agus, melalui pesan tertulis via Whatsapp.
Kini, kata Afra, yang tersisa pada dirinya adalah melanjutkan perjuangannya dalam kondisi trauma, menderita, dan menanggung beban pskilogis yang berat. Hingga tulisan ini diturunkan ia mengaku masih harus terus memulihkan diri di tengah upayanya menuntut keadilan.
Melalui lembaga yang mendampinginya, Afra telah mengirimkan surat resmi kepada Uskup Keuskupan Weetebula, Mgr. Edmond Woga, CSsR, yang isinya meminta pihak Keuskupan menyelesaikan kasus sexual abuse ini dengan perspektif korban sesuai dengan dokumen moto proprio Vos estis lux mundi yang dikeluarkan Paus Fransiskus.
Tetapi menurut seorang pendamping korban, surat Afra belum mendapatkan tanggapan dari pihak Keuskupan. Pihak-pihak lain yang mendapatkan tembusan, seperti Konferensi Wali Gereja Indonesia di Jakarta, Duta Besar Vatikan Indonesia di Jakarta, juga tak merespons surat tersebut.
Katolikana dan The Jakarta Post, telah mengirimkan surat elektronik kepada Duta Besar Vatikan untuk Indonesia di Jakarta, Mgr. Piero Pioppo, untuk meminta konfirmasi permohonan wawancara dan tanggapan terhadap kasus ini melalui surat elekronik. Namun, hingga laporan ini diturunkan, Nuncius Papal di Jakarta tak membalas dan merespon permintaan wawancara dan tanggapan.
— Bersambung
Editor: JB. Pramudya
Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.
Kecewa sangat dengan penanganannya. Kenapa pula disebut tidak bisa menikah karena tidak berdasarkan cinta? Jaman dulu orang-orang tua menikah tanpa cinta bisa2 saja tuh. Alasan yang dicari2 dan mengada2.
Seharusnya gereja memberikan sanksi tegas dan berat kepada oknum pastor itu karena sudah melanggar kaul yang diucapkannya. Disini gereja seharusnya melindungi kehidupan sang ibu dan anak dalam kandungannya, bukan cuma si oknum pastor itu yang harus dilindungi. Semoga Roh Kudus menerangi hati dan pikiran para petinggi Gereja disana.
Si Pastor MT seharusnya gentle dengan mengundurkan diri karena sudah melanggar janji imamat…
Deo Reiki menunggu kelanjutan berita selanjutnya……
Biasalah pasti gereja lebih melindungi si pelaku untuk menjaga nama baik hierarkinya
Uskup malah melindungi orang spt MT, uskup banci.
Seharusnya pastor itu mengundurkan diri. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, tapi kesalahan itu harus dipertanggungjawabkan. Tapi kalau sudah begini, uskup harus tegas.