Katolikana.com—Tiga hari setelah gejala COVID-19 muncul, Rajendra Karan kesulitan bernafas. Rohitas Karan, putra Rajendra membawanya ke rumah sakit pemerintah di Lucknow, ibu kota negara bagian terbesar di India, Uttar Pradesh.
Tiba di rumah sakit, petugas tidak mengizinkannya masuk tanpa surat registrasi dari kepala petugas medis distrik. Saat putranya mendapatkan surat itu, Rajendra Karan telah meninggal di dalam mobil, tepat di luar pintu rumah sakit.
“Ayah saya akan hidup hari ini jika rumah sakit langsung menerima tanpa harus daripada menunggu selembar kertas,” kata Rohitas Karan.
Terjerat Birokrasi
Kisah kematian yang terjerat dalam birokrasi dan kegagalan sistem telah menjadi hal biasa di India.
Kematian akibat COVID-19 pada Rabu (28/4/2021) secara resmi melonjak melebihi angka 200.000. Namun angka tersebut kemungkinan jauh lebih rendah dari jumlah sebenarnya.
Di India, data kematian memang buruk bahkan sebelum pandemi. Kebanyakan orang meninggal di rumah dan kematian mereka sering tidak tercatat.
Praktik ini sangat lazim di daerah pedesaan, di mana virus sekarang menyebar dengan cepat.
Inilah sebagian alasan mengapa negara berpenduduk hampir 1,4 miliar itu mencatat kematian lebih sedikit daripada Brasil dan Meksiko, yang memiliki populasi lebih kecil dan lebih sedikit kasus COVID-19 yang dikonfirmasi.
Sulit Menentukan Angka Pasti
Meski sulit untuk menentukan jumlah pasti dalam suatu pandemi, para ahli mengatakan ketergantungan yang berlebihan pada data resmi yang tidak mencerminkan kebenaran menyebabkan pihak berwenang dibutakan oleh lonjakan besar dalam beberapa pekan terakhir.
“Orang-orang yang bisa diselamatkan sedang sekarat sekarang,” kata Gautam Menon, seorang profesor fisika dan biologi di Universitas Ashoka.
Ia mengatakan telah terjadi ‘penghitungan yang kurang serius’ dari kematian di banyak negara bagian.
India mengira situasi terburuk telah berakhir ketika kasus-kasus Covid-19 mereda pada September 2020 lalu. Namun, infeksi mulai meningkat pada Februari 2021.
Pada hari Rabu (28/4/2021) terdapat 362.757 kasus baru, rekor global baru, meningkatkan total kasus yang dikonfirmasi melewati 17,9 juta, kedua setelah AS.
Sistem Hancur dan Kacau
Media lokal melaporkan perbedaan antara penghitungan resmi mayat oleh negara dan jumlah sebenarnya di krematorium dan tempat pemakaman.
Banyak krematorium yang tumpah hingga ke tempat parkir dan ruang kosong lainnya saat pembakaran kayu bakar yang menyala-nyala menerangi langit malam.
Kematian harian di India meningkat hampir tiga kali lipat dalam tiga minggu terakhir. Ini mencerminkan sistem perawatan kesehatan yang hancur dan kekurangan dana.
Rumah sakit mencari lebih banyak oksigen, tempat tidur, ventilator dan ambulans sementara keluarga mengupayakan solusi sendiri karena tidak adanya sistem yang berfungsi.
Jitender Singh Shunty menjalankan layanan ambulans di New Delhi mengangkut jenazah korban COVID-19 ke krematorium sementara di tempat parkir.
Dia mengatakan, mereka yang meninggal di rumah umumnya tidak terdata di negara bagian, sementara jumlah jenazah meningkat dari 10 menjadi hampir 50 setiap hari.
“Saat saya pulang, pakaian saya berbau daging gosong. Saya belum pernah melihat begitu banyak mayat dalam hidup saya,” kata Shunty.
Tanah kuburan juga terisi dengan cepat. Kuburan Muslim terbesar di ibu kota kehabisan ruang, kata Mohammad Shameem, kepala penggali kubur. Dia sekarang mengubur hampir 40 mayat sehari.
Ribut Soal Jumlah Kematian Resmi
Di negara bagian Telangana selatan, para dokter dan aktivis meributkan jumlah kematian resmi.
Pada 23 April 2021, negara bagian mengatakan 33 orang telah meninggal karena COVID-19. Namun antara 80 hingga 100 orang meninggal hanya di dua rumah sakit di ibu kota negara bagian, Hyderabad, sehari sebelumnya.
Tak jelas apakah semuanya disebabkan oleh virus tersebut, tetapi para ahli mengatakan kematian akibat COVID-19 di seluruh India tidak tercantum.
Sebaliknya, banyak yang dikaitkan dengan kondisi yang mendasari meski pedoman nasional meminta negara bagian untuk mencatat semua kematian yang diduga akibat virus, termasuk ‘dugaan kematian’ mereka yang kemungkinan meninggal karena COVID-19 tetapi tidak dites.
Misalnya, New Delhi secara resmi mencatat 4.000 kematian akibat COVID-19 pada 31 Agustus 2020, tetapi ini tidak termasuk dugaan kematian, menurut data yang diakses oleh The Associated Press di bawah permintaan hak atas informasi.
Kematian telah meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 14.500 orang. Pejabat tidak menanggapi pertanyaan tentang apakah kematian yang dicurigai sekarang dimasukkan.
Di Lucknow, para pejabat mengatakan 39 orang meninggal karena virus di kota itu pada hari Selasa (27/4/2021).
Tetapi Suresh Chandra, yang mengoperasikan krematorium listrik Bhaisakhund, mengatakan timnya telah mengkremasi 58 mayat COVID-19 pada Selasa malam, dan 28 mayat lainnya dikremasi di krematorium terdekat pada hari yang sama.
Ajay Dwivedi, seorang pejabat pemerintah di Lucknow, mengakui lebih banyak jenazah sedang dikremasi, tetapi mereka termasuk jenazah dari distrik lain.
Tahun lalu, pemerintah India menggunakan angka kematian dan jumlah kasus yang rendah untuk menyatakan kemenangan melawan virus Corona.
Pada Oktober 2020, sebulan setelah kasus mulai surut, Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan India menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada negara-negara kaya.
Pada Januari 2021, dia menyatakan di Forum Ekonomi Dunia bahwa kesuksesan India tidak ada bandingannya.
Inti dari pernyataan ini adalah adanya data yang meragukan yang membentuk keputusan kebijakan dan membutakan pihak berwenang.
Informasi tentang di mana orang terinfeksi dan sekarat dapat membantu India lebih mempersiapkan diri untuk lonjakan saat ini, kata Dr. Prabhat Jha, seorang ahli epidemiologi di Universitas Toronto yang telah mempelajari kematian di India.
Ini memungkinkan para ahli untuk memetakan virus dengan lebih jelas, mengidentifikasi titik api, mendorong vaksinasi, dan memperkuat sumber daya kesehatan masyarakat.
“Anda tidak bisa keluar dari pandemi tanpa data,” katanya.
Namun, meski tersedia data yang andal, hal itu tidak selalu diperhatikan.
Dengan infeksi yang sudah meningkat pada bulan Maret 2021, Menteri Kesehatan Harsh Vardhan menyatakan India mendekati ‘akhir permainan’.
Protokol Kesehatan Kendor
Ketika kasus harian mencapai ratusan ribu, Partai Bharatiya Janata Modi dan partai politik lainnya mengadakan rapat umum pemilihan besar-besaran yang diikuti ribuan pendukung tanpa masker.
Pemerintah juga mengizinkan festival Hindu tetap berlangsung yang menarik ratusan ribu orang ke tepi Sungai Gangga meski ada peringatan dari para ahli bahwa gelombang dahsyat telah dimulai.
Banyak orang yakin bahwa COVID-19 tidak terlalu mematikan karena jumlah kematian tampaknya rendah. Keputusan ini, kata para ahli, menambah sikap tak acuh karena negara lengah.
Kementerian kesehatan federal India belum menanggapi pertanyaan dari AP, dan menteri dari partai Modi mengalihkan pertanyaan tentang jumlah kematian.
Manohar Lal Khattar, kepala menteri negara bagian Haryana, mengatakan kepada wartawan hari Senin bahwa orang mati tidak akan pernah kembali dan bahwa “tidak ada gunanya memperdebatkan jumlah kematian.”
Tetapi Dr. Harjit Singh Bhatti, presiden dari Progressive Medicos and Scientists Forum, mengatakan bahwa menghitung kematian secara lebih rendah adalah “kenyataan pahit”.
Asosiasi Medis India pada Februari mengatakan 734 dokter telah meninggal karena COVID-19 sejak pandemi dimulai.
Beberapa hari kemudian, kementerian kesehatan India menyebutkan angka 313.
“Ini kriminal,” kata Bhatti. “Pemerintah dulu berbohong tentang kematian petugas kesehatan dan sekarang mereka berbohong tentang kematian warga biasa.” **
Sumber: Associated Press
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); delegatus Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Palembang; pengelola Tabloid Komunio dan Majalah Fiat milik Keuskupan Agung Palembang.