Waspada! Bahaya Languishing Saat Pandemi

Katolikana.com – Menghadapi pandemi Covid-19 ini, saya dan istri mulai mengalami penurunan daya dorong. Penurunan semangat.

Di awal masa pandemi, kami berada pada tingkat waspada penuh. Menjaga diri kami lakukan dengan penuh semangat. Tetapi semangat tinggi itu hanya bertahan dalam hitungan bulan. Mungkin sampai menjelang akhir 2020. Memasuki 2021 suasananya sudah berubah. Saya semakin abai pada situasi.

Bahkan yang lebih parah, suasana emosi pun mulai berubah. Mulai muncul pertanyaan, emang virus bisa hilang? Kalau nggak bisa hilang, bagaimana menghadapinya? Vaksin? Pertama kami belum dapat vaksin. Tapi yang dapat vaksin toh kena juga. Seorang teman PNS bilang, sebelum vaksin kantornya selalu bersih. Setelah vaksin, di satu ruang kantornya lima orang terkena Covid, termasuk teman dekat saya. Jadi, apakah vaksin bisa menjadi solusi?

Ketika sibuk dengan pergulatan itu, saya menemukan artikel di New York Times yang ditulis oleh Adam Grant. Judul artikelnya, “There’s a Name for the Blah You’re Feeling: It’s Called Languishing.”

Adam Grant adalah profesor psikologi organisasi dari Wharton University. Bisa dipastikan dia adalah salah satu profesor psikologi organisasi papan atas di dunia. Sejumlah bukunya tercatat sebagai buku bestseller global, dan ada yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa buku yang ramai dibicarakan antara lain “Give and Take”, “Originals”, “Option B”, dan yang terbaru “Think Again.”

Kembali ke topik.

Istilah Languishing belum ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi dari beberapa kamus dan dari penjelasan Adam Grant sendiri, kurang lebih maksudnya begini, languishing adalah kondisi emosional yang tidak jelas. Dia berada pada rentang antara depresi dengan antusias. Orang yang languished seperti mandek, tak punya pendorong, tak punya penarik. Di depannya seperti ada kabut, sehingga jarak pandang menjadi pendek, dan akhirnya orang kehilangan harapan.

Menurut Adam Grant, ini adalah kondisi umum masyarakat ketika memasuki tahun 2021. Orang tak “seantusias” yang lalu ketika harus berperang melawan pandemi. Tetapi pada saat yang sama juga tidak tahu, kapan pandemi akan berakhir. Irama hidup jadi berubah. Tempo melambat, nada menurun. [Bahasa saya: 5L. Letih, lesu, lemah, loyo, lungkrah – tapi lebih di sisi mental, bukan fisik.]

Secara psikologis, languishing mirip dengan penyakit mental yang biasa menjangkiti “anak tengah”, yakni merasa diabaikan, merasa nggak diperhitungkan. Languishing tidak menunjukkan gejala sakit mental, tapi juga tidak menunjukkan gejala sehat mental. Bukan depresi, tapi juga bukan antusias. Tapi jelas, orang menjadi sulit mikir, sulit fokus, dan kehilangan semangat.

Languishing adalah fenomena psikologis personal. Tetapi dia mudah sekali menular. Keloyoan, keletihan, dan kelesuan satu orang bisa mudah sekali merembet ke orang lain yang terdekat.

Pertanyaan saya, apakah languishing juga sudah datang kemari?

Saya khawatir iya. Mal, pasar, tempat tongkrongan, dan kemacetan yang sudah nyaris sama dengan sebelum pandemi sepertinya terkait dengan fenomena languishing itu. Fenomena bagi sembako atau bagi nasi bungkus yang ramai di awal pandemi juga sudah hilang. Semuanya sudah balik “normal”, tapi normal dalam tanda petik. Kegiatannya sudah sama seperti sebelum pandem, tapi dengan suasana emosi yang berbeda.

Maka “balik normal” itu bisa jadi (1) ekspresi dari languishing, atau (2) mekanisme otomatis untuk melawannya. Saya melihat beberapa posting setengah bercanda di medsos yang mengatakan, lebih baik mati kena covid daripada ‘mati bete’ di kamar. Nah… jangan-jangan fenomena nekad mudik, walaupun jelas dilarang, sebagian juga karena alasan ini… alasan “ngapain pusing…”

Adam Grant mengajak kita untuk sekadar check up; apakah kita sudah tertular languishing; apakah di sekitar kita, keluarga kita, ada yang sudah tertular. Menyadari masalah adalah langkah pertama untuk mencari solusi, kata Adam Grant.

Alat ukur sekaligus solusi untuk languishing ini adalah apa yang disebutnya sebagai “flow” – yakni saat dimana orang secara mental, pikiran, perasaan terlibat dan terfokus, bertungkus-lumus pada satu hal. Orang yang bisa masuk dalam kondisi flow (intens dengan apa yang dikerjakannya) selama jam kerja pagi (sampai makan siang) berarti masih cukup oke. Berarti dia masih bisa berpikir jernih dan fokus selama sekian lama.

Tetapi jika sekian lama belakangan kita tidak bisa lagi flow, maka flow bisa menjadi “terapi”, yakni berusaha menciptakan flow kita sendiri dalam rentang waktu itu, dan terus mengulanginya.

Fiuh… kayaknya saya juga sudah kena (dan tulisan ini jadi terapi saya). Sampeyan aman?

Penulis dan pegiat literasi. Pernah menjadi wartawan di media nasional dan internasional. Ia juga pernah mengelola media gerejani.

Covid 19KolomLanguishing
Comments (0)
Add Comment