Katolikana.com—Secara sosial, Gereja Katolik bergerak secara transformatif menyesuaikan diri dengan kemajemukan sekitarnya, termasuk keberagaman umat. Gereja menerima perbedaan dan memberikan tempat bagi siapa saja, salah satunya umat dengan identitas waria.
Isu terkait LGBTQ+ masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat hingga tahun 2021. Gereja yang selalu bertranformasi mengikuti perkembangan zaman dipandang masih hitam di atas putih dalam menanggapi isu LGBTQ+ khususnya mengenai keberadaan waria.
Zaman yang telah memasuki era modern ini nyatanya tidak serta merta bisa mengubah persepsi masyarakat untuk menerima perbedaan. Waria masih terus menerima perilaku tak adil seperti adanya stigma negatif hingga diasingkan oleh masyarakat sekitar.
Tidak sedikit waria yang mengimani Katolik juga mengalami pergolakan batin karena adanya hukum Gereja. Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan mengenai sikap Gereja dalam menangani fenomena tersebut.
Pertanyaan sikap Gereja tentang waria ini akhirnya dikupas dalam Live Talkshow #KatolikanaMuda berjudul ‘Waria di Mata Gereja: Sudah Sama atau Masih Berbeda?’ dengan narasumber Romo Alexius Andang Listya Binawan, S.J. dan Hendrika Mayora Victoria, di akun Youtube Katolikana, Minggu (16/05/2021).
Gereja Katolik Menerima dan Mengindahkan Perbedaan
Pastor sekaligus Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Romo Alexius Andang Listya Binawan, S.J. memberikan pengantar mengenai perbedaan LGBT.

Menurut Romo Andang, Lesbian, Gay, Bisexualilty (LGB) termasuk dalam orientasi seksual seseorang, sedangkan Transgender (T) adalah mereka yang mempunyai jenis kelamin tertentu namun antara gender lahiriah dengan perasaannya berbeda, sehingga ada kecenderungan untuk mengikuti gender batiniahnya. Waria dikategorikan dalam transgender atau biasa disebut pula sebagai transpuan.
Romo Andang menegaskan bahwa perbedaan harus diterima. Gereja selalu mengikuti perkembangan baik secara biologis, psikologis, hingga sosiologis. Gereja terus mendukung keberadaan waria sebagai umatnya supaya perlahan bisa mendapatkan kesamarataan di tengah masyarakat.
Gereja Katolik di Indonesia mulai mendukung keberadaan waria dengan memberi fasilitas berupa komunitas waria Katolik yang berpusat di Jakarta dan mempunyai rumah singgah di Bogor.
Di tengah dukungan gereja pada kelompok waria, hukum Gereja yang sesuai dengan Kitab Suci masih belum bisa membenarkan keberadaan waria.
Hal ini dikarenakan apa yang tertulis dalam Kitab Suci tidak bisa diubah begitu saja mengikuti perubahan zaman.

Walau demikian, moral Katolik tidak melarang keberadaan waria selagi perbuatannya tidak menyimpang.
Diungkap oleh Romo Andang bahwa Surat Santo Paulus tidak menuliskan bahwa keberadaan waria dilarang. Yang dilarang adalah tindakan yang melanggar ajaran-ajaran Katolik.
“Perlu diingat bahwa hukum hanya untuk mengarahkan, namun itu belum tentu benar. Gereja Katolik tetap mempunyai moral yang mengajarkan untuk menerima perbedaan,” ungkap Romo Andang.
Perjuangan Kelompok Waria Katolik: Menyibak Stigma Sembari Berlapang Dada
Adanya dukungan dari Gereja bukan berarti kelompok waria dapat dengan mudahnya diterima keberadaannya. Perjuangan demi perjuangan dilalui agar secara perlahan keberadaannya bisa diterima oleh masyarakat.
Hendrika Mayora Victoria, atau lebih dikenal dengan Bunda Mayora, adalah seorang waria sekaligus Ketua Komunitas Fajar Sikka, komunitas waria di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Bunda Mayora menceritakan perjalanan hidupnya sebagai seorang waria yang harus melewati perjuangan besar.
Menjadi waria bukanlah hal yang dengan mudahnya diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Pergolakan batin yang terus mempertanyakan jati diri terus muncul, tak jarang pula hal ini menyebabkan depresi.
Beban dalam diri semakin berat ketika keluarga, masyarakat sekitar, dan agama menentang realita yang ada. Keputusan untuk menerima jati diri terkadang harus mengorbankan banyak hal mulai dari perasaan hingga agama.
“Kadang, ada yang akhirnya menjadi agnostik karena mereka takut untuk mengungkap jati diri di depan agamanya,” ucap Bunda Mayora.
Bunda Mayora yang sempat ‘marah’ kepada Tuhan akan kondisinya, perlahan menerima diri dengan tekad kuat untuk terus mengobarkan iman Katolik pada diri.
Tekad tersebut direalisasikan dengan aksi-aksi yang positif hingga pada akhirnya terbentuklah Komunitas Fajar Sikka.
Komunitas Fajar Sikka menjaring seluruh waria dari berbagai latar belakang untuk bergabung dan melakukan perbuatan baik.
Edukasi turut dilakukan bagi waria yang bergabung sehingga mengurangi adanya perbuatan yang menyimpang.
Dinamika yang terjadi di dalam Komunitas Fajar Sikka diharapkan mampu menghapus stigma buruk waria yang disebut sebagai pekerja seks, hingga perilaku brutal.
Gereja di Sikka telah dengan terbuka menerima keberadaan waria, bahkan mereka diberi wadah untuk melakukan pelayanan.
Perlahan tapi pasti, masyarakat di Sikka mulai terbuka dan menerima kelompok waria. Pembuktian bahwa waria juga manusia yang bermartabat luhur melalui aksi positif membuahkan hasil yang memuaskan.
Meski begitu, disampaikan oleh Bunda Mayora, masih banyak kelompok waria di daerah lain yang masih menerima perlakuan tidak adil seperti kekerasan dan pelecehan.
Sebagai seorang Katolik sejati, Bunda Mayora berharap gereja di seluruh daerah dapat makin progresif dan menerima keberadaan waria sebagai manusia yang berbudi luhur.
Antusiasme Audiens
Talkshow ‘Waria di Mata Gereja: Sudah Sama atau Masih Berbeda?’ disambut antusiasme audiens.
Talkshow tersebut telah ditonton lebih dari 2.000 kali beberapa jam setelah siaran langsung selesai. Tanggapan dan pertanyaan dari penonton begitu banyaknya memenuhi kolom live chat.
Ungkapan-ungkapan dukungan hingga kekaguman untuk kelompok waria diungkapkan oleh para penonton.
“Selamat Siang, Bunda. Salut dengan sikap pasrah Bunda dalam menghadapi stigma negatif di Indonesia dan dunia,” ungkap akun Wiwoho Jatiwisoyo.
Ungkapan tersebut menjadi pemantik semangat untuk terus berkarya bagi Bunda Mayora.
Tak jarang sejumlah penonton tampak ingin menambah pengetahuan terkait tema atau memastikan informasi yang pernah didapat mengenai waria. Salah satunya, akun bernama Andreas Bastian.
”Nanya ke Romo Alex, pemahaman saya benar atau tidak: untuk pelaku LGBT yang ada sekitar Gereja, jika mereka mau serius ikut serta dalam aktivitas gereja tetap diarahkan sebagaimana kodrat pria dan wanita?”
Pertanyaan tersebut langsung ditanggapi oleh Romo dengan gurauan perihal panggilan namanya yaitu Romo Alex.
“Kalian tahu nggak arti nama Alex? Andang Elex (Andang Jelek),” canda Romo yang mengundang komentar lain akan pribadinya yang senang bercanda atau guyon.
Romo langsung menjawab dengan lugas pertanyaan tersebut sembari mengulang bahasan di sesi pertama, bahwa Gereja tetap mengikuti aturan atau hukum tertulis soal pengidentifikasian secara biologis dan lahiriah atau fisik.
Pertanyaan lain muncul dan ditujukan untuk Bunda Mayora. Kehadirannya hari itu cukup mengundang rasa ingin tahu penonton akan kehidupannya.
Sebut saja salah satu akun bernama Reandy Seestern yang menanyakan salah satu momen penting Bunda Mayora perihal identitasnya sebagai transpuan.
“Kapan pertama kali Bunda coming out ke keluarga inti dan bagaimana penerimaan mereka?” tanya akun tersebut.
Bunda Mayora menyampaikan bahwa keluarga sudah melihat geliatnya yang feminim dan menerima itu. Keluarga sudah melihat diri feminim Bunda Mayora sejak kecil atau sejak masih muda.
Penonton tidak hanya menunjukkan antusiasme mereka pada kolom live chat. Penonton juga turut serta berpartisipasi dalam berdonasi untuk membantu proses penyembuhan melalui operasi lepas pen Bunda Mayora melalui link Kitabisa.com/bantumayora.
Tercatat setelah talkshow, donasi yang terkumpul sejumlah Rp 32.417.299 dari Rp40.000.000. Terasa benar rasa toleransi dan kepedulian penonton kala itu.*
Kontributor: Anastasia Mellania Kartika P, Genoveva Sekar Jemparing, Cornelia Maria Radita, Ni Nyoman Vena R (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.