Hidup kita hari-hari ini dibanjiri oleh luapan informasi. Ada yang benar, ada yang tidak. Besarnya ruang kebebasan di media sosial, membuat siapa pun bisa (seenaknya) menyebarkan informasi dan berkomentar apa saja.
Ini sah-sah saja karena kita hidup di negara demokrasi. Semua orang berhak bersuara, mengeluarkan gagasan, unek-unek, atau apa saja yang dipikir dan dirasa penting untuk disebarkan. Semua itu baik selama tidak mengganggu orang lain.
Yang menjadi persoalan manakala orang menyampaikan gagasan tanpa berpikir matang, bahkan isi pembicaraan, Bahasa, dan gaya berkomunikasi cenderung provokatif dan bombastis.
Hal-hal semacam itu sering menimbulkan kesalahpahaman, misinformasi, penyebaran fitnah, karena yang disampaikan tidak benar dan menggunakan bahasa yang judgmental,
Tak jarang kita mendengar sejumlah orang diringkus petugas berwajib, atau diserang baik secara fisik maupun mental karena menyebarkan kebohongan dan penghinaan. Perpecahan di masyarakat menjadi tak terhindarkan.
Survei Digital Civility Index (DCI) untuk mengukur tingkat kesopanan digital global, menempatkan Indonesia pada peringkat paling bawah di kawasan Asia Tenggara. Dari 32 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat ke-29.
Hal ini diidentifikasi dengan beredarnya hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Secara tak langsung ini menunjukkan perilaku orang Indonesia di media sosial tidaklah menggembirakan, apalagi membanggakan.
Apa yang Perlu Kita Lakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Gereja mengenal Filipus, rasul yang dikenal sebagai seorang yang bermulutkan cahaya. Ia merupakan rasul ulung sekaligus agung dalam mewartakan kabar keselamatan kepada banyak orang.
Peran Filipus sebenarnya tak banyak sumber yang menulis. Dalam keempat Injil namanya hanya disebut beberapa kali. Perannya tidak banyak ditampilkan, kecuali dalam Injil Yohanes.
Bila kita lacak lebih jauh, sebenarnya ada Injil Filipus (apokrif). Injil ini bisa menggambarkan siapakah Yesus bagi Filipus. Namun, penulis memilih tidak menggunakan Injil itu karena tidak diakui Gereja secara resmi.
Menurut Deshi Ramadhani dalam buku “Menguak Injil-injil Rahasia (2007), sebenarnya Injil Filipus itu memuat tulisan-tulisan yang mengandung ajaran yang sangat indah dan sungguh mendalam. Misalnya, “Iman itu menerima dan, cinta itu memberi”.
Meski demikian, ada juga ajaran yang menampilkan persoalan mendasar yang bisa membingungkan jemaat seperti, “Dunia ada karena kekeliruan, dsb.”
Gambaran tentang penciptaan yang seperti itu ditangkap sebagai sebuah usaha yang dipengaruhi oleh aliran gnostik guna menggantikan keyakinan yang lebih dahulu berakar.
Paham-paham gnostik itulah yang nantinya dipakai dalam argumen novel The Da Vinci Code yang fenomenal itu dan tulisan-tulisan lainnya.
Mulut Cahaya
Nama Filipus dalam bentuk Latin bearti os lampadis, Inggris; mouth of a lamp-berarti mulut sebuah lampu atau os manus, mouth of hands; mulut tangan, atau terdiri dari kata philos, yang artinya cinta, dan yper, di atas. Mulut Filipus disebut sebagai pelita karena khotbahnya yang memberikan cahaya bagi kehidupan umat yang dirundung kegelapan.
Disebut “mouth of hands” karena pekerjaannya yang luar biasa, dan “Philos” karena cintanya pada hal-hal surgawi berkat kontemplasinya tentang surga.
Tentang karya Filipus yang luar biasa baik melalui perkataan dan perbuatannya itu, menurut Voragine terbukti melalui tulisan Isidorus dalam buku On the Life, Birth, and Death of the Saints (1993).
Dia menulis: “Filipus orang Galilea memberitakan Kristus dan memimpin orang-orang barbar, yang hidup dalam kegelapan di tepi lautan liar, menuju cahaya pengetahuan iman dan surga.”
Panggilan Filipus
Filipus merupakan murid Yohanes Pembaptis, tapi kemudian mengikuti Yesus setelah mendengarkan penjelasan Yohanes tentang siapakah Yesus. Ia berasal dari Galilea, khususnya dari wilayah Betsaida.
Betsaida merupakan kota asal rasul Andreas dan Petrus. Di sanalah pertama kalinya Filipus bertemu dengan Yesus dan diajak untuk mengikuti sang Mesias, katanya, “Ikutlah Aku!” Filipus adalah yang memperkenalkan dan mengantarkan Natanael kepada Yesus (Yoh. 1:43-35).
Filipus melihat Yesus sebagai yang terbesar dari para-Nabi, seorang yang akan mewujud-nyatakan kehadiran Allah bagi orang-orang miskin, dan adalah raja yang adil, sekaligus raja dari segala raja.
Dia adalah sosok kerinduan mistik umat Israel yang akan mewartakan kabar sukacita Allah, menunjukkan cinta kasih Allah kepada para pendosa, melalui perkataan dan perbuatan-Nya (Xavier Leon-Dufour, 1990).
Keyakinan itulah yang kemudian membuatnya menjadi rasul yang mewartakan Tuhan bukan hanya kepada kalangan umat Yahudi, tetapi juga berperan memanifestasikan Yesus kepada orang banyak di luar Yahudi, secara khusus bagi bangsa Yunani.
Francis Martin dan William M. Wright, dalam Catholic Commentary on Sacred Scripture: The Gospel of John (2015. 62) menulis bahwa ketika mendengarkan undangan Yesus (Yoh 1: 43-45), Filipus langsung mengikuti Yesus yang secara intuisi sangat menarik dengan kesadaran yang mendalam.
Yesus memanggil Filipus agar memiliki hubungan yang intim dengan-Nya. Panggilan-Nya itu mengundang Filipus dan para murid untuk keluar dari zona nyaman dan mulai mengikuti Dia.
Awalnya mungkin sebuah panggilan untuk mulai membangun habitus doa, berhenti berbuat dosa, ataupun diajak untuk berdamai dengan seseorang yang dianggap jahat, dibenci, dsb.
Francis Martin dan William M. Wright (2015) pun merefleksikan lebih lanjut bahwa itulah panggilan Ilahi, ketika orang mau meninggalkan zona nyaman dan mulai tertarik dengan keindahan misteri dan janji-janji yang bersifat Ilahi.
Ini berarti ketika orang mulai mendengarkan dan mengikuti arah atau jalan yang ditawarkan Yesus Kristus, ia akan mulai berdoa, melakukan apa yang baik, dan semakin tertarik untuk mengenal Tuhan lebih dekat, dan siap memberikan kesaksian tentang-Nya.
Panggilan Kudus dan berahmat yang diterima Filipus tidak lantas ia simpan dan nikmati sendiri. Filipus keluar dari kondisi berahmat yang ia rasakan dan mengundang orang lain untuk melihat, merasakan, dan kemudian mengikuti sang Mesias yang sudah terlebih dahulu memanggilnya. Hal itu tampak sekali dalam kisah bagaimana Filipus memperkenalkan Yesus kepada Nathanael.
Inspirasi Pewartaan Filipus
Keberanian dan misi Filipus untuk merasul ke tengah-tengah orang yang belum mengenal Kristus adalah sebuah semangat yang perlu dicontoh. Memang perlu diakui bahwa konteks masyarakat Yunani kala itu sangat berbeda dengan kondisi dewasa ini.
Pola pewartaan dengan berkhotbah di titik-titik keramaian atau dari rumah ke rumah sudah tidak relevan untuk dilakukan, bahkan bila tidak hati-hati malah bisa mendapat penolakan dan ditindak hukum.
Meski demikian, mengenalkan Kristus kepada umat dewasa ini perlu terus dilakukan. Hanya saja caranya saja yang diubah. Tidak perlu berkoar-koar tentang Yesus kepada banyak orang, melainkan perlu lebih aktif mewartakan nilai-nilai Injil lewat kesaksian hidup dan hidup yang berbuah.
Umat Katolik diundang untuk mewartakan Yesus lewat cara hidupnya yang peduli pada yang menderita, murah hati, jujur, berintegritas, dan selalu memperjuangan bonum commune.
Apabila hendak berkata-kata, menyebarkan informasi atau berkomentar, misalnya di media sosial, hendaklah yang keluar adalah kata-kata yang sudah terfilter dengan baik; memiliki kedalaman refleksi yang dibalut dengan cinta yang memberi cahaya bagi yang tengah berada dalam kegelapan; merangkul yang tersisih, tersingkir sehingga kembali menemukan home dalam dekapan kasih Tuhan.
Dengan itu, nilai-nilai Kristiani akan lebih berbunyi dan bergetar di hati banyak umat karena iman akan Kristus itu berbuah dalam tindakan, bukan sekadar kata-kata sinis dan terkesan melukai, melainkan sungguh memberi iman, harapan, dan kasih bagi semua yang melihat dan mendengarnya.
Semoga dengan belajar dari rasul Filipus, mulut dan tingkah laku kita dapat menjadi lentera yang memberi cahaya bagi kegelapan informasi dan hidup di tengah masyarakat.
Filipus memang tak banyak diulas, meski demikian sejarahnya yang gemilang bermanfaat untuk dijadikan teladan iman umat beriman di tengah informasi yang menggempur secara membabi-buta.*
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta