Kristin Samah: Writing for Happiness, Menulis untuk Membuat Hidup Lebih Bahagia

Kristin Samah membuat pelatihan Writing for Happiness untuk menjaga supaya hidup kita jauh lebih bahagia dari sebelumnya.

Katolikana.com—Trauma karena kekerasan seksual, pelecehan, atau penyebab lain pasti sangat menyiksa diri. Orang yang mengalami trauma sering tak bisa mengidentifikasi perasaan, baik rasa takut, gelisah, marah, galau, atau apa pun itu.

Topik ini dibahas dalam Live Talkshow #RumahBibi yang dipandu oleh Emmy Kuswandari, Minggu (30/5/2021). Talkshow ini menghadirkan narasumber Kristin Samah yang berprofesi sebagai penulis.

Perempuan Lebih Rentan

Menurut Kristin, sebetulnya perempuan dan laki-laki punya kecenderungan atau kemungkinan untuk mengalami trauma.

Hanya saja karena perempuan terlalu banyak hal yang dipikirkan dan tak bisa langsung mengungkapkan kalau ada masalah, biasanya mereka memendam rasa itu.

“Ini yang membuat perempuan lebih cenderung berpotensi mengalami stres atau trauma. Karakter dasarnya karena laki-laki bisa dengan leluasa berbicara sementara perempuan lebih banyak untuk diam,” kata Kristin.

Menurut Kristin, sebetulnya bagian yang harus kita pelajari bagaimana kita berkomunikasi dan bisa mengkomunikasikan apa yang kita pikirkan dengan baik.

“Dalam banyak hal sebetulnya orang lain mungkin menyakiti hati kita tanpa sadar atau tanpa sengaja. Sebetulnya dia juga tidak tahu kalau apa yang dia lakukan itu tidak menyenangkan buat orang lain,” papar Kristin.

Kristin Samah. Foto: Istimewa

Kritik Tanpa Menyakiti

Menurut Kristin, yang terutama harus ada adalah kebersihan hati bahwa kita akan menyampaikan sesuatu bukan dalam rangka kebencian atau mengkritik berlebihan, tapi benar-benar berdasarkan situasi atau fakta yang ada.

“Saya baru menyadari banyak dari kita kurang mengalokasikan waktu untuk diri kita sendiri. Tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga pada laki-laki,” ujarnya.

“Banyak orang jarang mengalokasikan waktu pada diri sendiri, dalam arti bertanya pada diri sendiri: apakah selama ini yang kita lakukan dalam pekerjaan, hobi, relasi, sosialisasi dengan masyarakat, keluarga, itu sudah sesuai dengan keinginan kita atau belum?” tambahnya.

“Kurangnya kita mengalokasikan waktu pada diri kita itu bagian yang sangat penting untuk membuat kita lebih memahami diri sendiri,” tegasnya.

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Mengutip Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,  angka kekerasan pada perempuan dan anak-anak naik sangat  tinggi.

Namun, fenomena ini kurang mendapat perhatian karena mungkin pemerintah lebih fokus pada penanganan pandemi dan bagaimana memulihkan ekonomi.

“Hal ini terjadi karena rata-rata perempuan pada masa pandemi harus di rumah saja. Dia tidak bisa melakukan apa yang dituntut oleh keluarga, baik suami, orangtua, maupun anak-anaknya. Dia harus siap melakukan apa pun,” lanjutnya.

Kristin juga mencontohkan fenomena yang terjadi di Papua. Rata-rata mereka pernah mengalami atau minimal melihat kekerasan di lingkungan mereka.
“Trauma itu tidak hanya menimpa penduduk asli, tapi juga juga pendatang yang bermigrasi ke Papua. Misalnya suku Toraja, Makassar, Jawa, Batak dan sebagainya. Rata-rata mereka pernah mengalami kekerasan minimal pernah melihat kekerasan,” jelasnya.

Hal seperti itu meninggalkan trauma di masyarakat. “Tidak hanya terjadi di Papua tapi juga banyak di daerah di Indonesia,” tambahnya.

Pelatihan Menulis di Lapas Wanita

Kristin Samah bersama teman-temannya melakukan pelatihan menulis di Lapas Wanita Tangerang.

“Waktu itu ada keluhan banyak warga binaan bertengkar karena tidak bisa release stres dan permasalahan ada di batinnya,” ujarnya.

Kegiatan ini sudah berjalan tiga tahun setiap dua minggu sekali.  Hal ini dilakukan untuk memberikan pelatihan terhadap warga binaan untuk menulis.

Kristin Samah mengawali karier wartawan di Suara Pembaruan, Suara Bangsa, dan Sinar Harapan.

Ia pernah merintis Koran Perempuan bersama almarhum Tuti Gintini. Lima tahun lalu Kristin memutuskan full menjadi penulis dan konsultan komunikasi.

“Saya berpikir apa yang bisa saya kontribusikan dari talenta yang diberikan dalam kehidupan saya ini untuk bisa memberi manfaat bagi banyak orang?”

“Waktu itu saya berpikir kenapa tidak sharing kepada teman-teman perempuan, terutama untuk menjadikan menulis itu terapi untuk release dari stres yang umumnya dialami kaum perempuan,” ujarnya.

Dari situ ia membuat program Writing for happiness, menulis untuk membuat hidup kita lebih bahagia, dan memberi manfaat bagi kesehatan fisik dan mental.

Tahapan Writing for happiness yang penting adalah membuat peer group di mana kita punya ketertarikan dan kepedulian yang sama untuk menjaga supaya hidup kita jauh lebih bahagia dari sebelumnya, dengan mengilangkan toksin atau racun di dalam pikiran kita.

“Itu sebenarnya writing for happiness,” tegasnya.

Dia menyarankan, dalam program writing for happiness, ketika menulis disarankan untuk menulis tangan.

“Ketika menulis pakai tangan, kita akan merasakan goresan-goresan itu,” ujarnya.**

Mahasiswa asal Papua, Jurusan Ilmu Komunikasi Unika Widya Mandala Surabaya.

Writing for Happiness
Comments (0)
Add Comment