Pastor James Bharataputra, Membuka ‘Celah Dialog’ Katolik di Aceh

Membuka jalan dialog lintas iman melalui pendidikan

Katolikana.com – Sekitar tahun 1983, James Bharataputra, SJ mulai  berjuang sebagai imam Katolik di Tanah Rencong, Aceh. Ia menemui tantangan hebat di antara penduduk mayoritas Islam. Namun, langkahnya tak surut, hingga ia membuka ‘celah dialog’ lewat karya pendidikan.

James Bharataputra SJ, imam Jesuit diutus Superior Misi Yesuit di Hongkong untuk melayani dan berkarya di Keuskupan Agung Medang pada 1972. Selama sembilan tahun, 1972-198, ia berkarya di Paroki St. Anthonius Hayam Wuruk, Medan. Pada 1983 hingga 1991, karyanya bergeser ke Paroki Hati Kudus Banda Aceh.

Ketika berkarya di Aceh, pastor James menghadapi tantangan berat. Ia menjalani tugas pastoral saat konflik Aceh bergejolak. “Pada masa itu, Aceh tengah menjalani masa DOM (Daerag Operasi Militer). Kondisi ini, saya kira, membuat peluang terjadinya perlakuan intoleransi menjadi amat kecil,” ujarnya kepada penulis, pada 5 Februari 2020 silam.

“Saya senang mendapati sudah ada Yayasan Pendidikan Katolik (YPK) Budi Dharma di Banda Aceh. Sehingga tugas berikutnya, saya tinggal mengembangkan cakupan pelayanan dari TK ke SD, SMP hingga SMA,” kata Pastor James.

Menurut pastor James, pemerintah Aceh mendukung pelayanan pendidikan di sekolah ini, malah mengirim guru subsidi. Pak Yusuf, begitu namanya, salah bapak yang dikenal baik. Mereka memahami  lembaga pendidikan tidak membawa-bawa simbol agama.

“Akan tetapi, mereka tidak berkenan memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik di Banda Aceh. Terkecuali, dari kalangan pendatang yang merantau atau dinas di Aceh. Meskipun beragama Muslim, mereka senang anak-anaknya memperoleh pendidikan berkualitas di sekolah kita,” kata Pastor James.

Tanggapan pemerintah setempat yang baik terhadap sekolah yang ia kelola, memompa motivasinya untuk mengembangkan pendidikan ke stasi-stasi atau daerah lainnya. Ia melihat tak ada kegiatan gerejani yang berarti di tengah-tengah masyarakat di Aceh.

Saya perhatikan, kata Pastor James, umat di stasi tidak ada kegiatan nyata untuk menyatakan kesaksian iman mereka. Hanya sekedar ikut misa yang dipimpin seorang Imam, itu pun belum tentu sekali dalam sebulan, lalu kembali pulang ke rumah lakukan rutinitas rumah tangga.

“Maka, saya pikirkan harus ada kegiatan yang melibatkan umat untuk menunjukkan karya nyata gereja,” kata Pastor James.

Menurutnya, hal itu hanya bisa lewat pendidikan. “Kalau buka klinik, tidak dikasih izin. Hal sama juga terjadi, ketika hendak buka layanan sosial lainnya,” katanya.

Sejak itu, Pastor James bersama-sama dengan umat Katolik membuka tempat kursus atau les. Kegiatan itu dimulai ketika pesta perak stasi Takengon pada tahun 1985.

“Saya utus guru subsidi dari Banda Aceh untuk membantu pengajaran. Kemudian, saya terus membujuk umat agar memasukkan anak-anak mereka. Akhirnya tempat kursus ini berkembang, dan menarik perhatian masyarakat Aceh di Takengon. Bahkan berkembang hingga diakui pemerintah ke tingkat SD, SMP dan SMA,” kata Pastor James.

Saat bertugas di Aceh, Pastor James, memutuskan menjadi warga negara Republik Indonesia pada tahun 1989. Tugasnya di Aceh berakhir pada 1991, yang selanjutnya ia berkarya ke Papua. Pada 1992-1995 ia berkarya di Paroki Gembala Baik (Trans) Prafi pada 1992 hingga 1995. Selesai dari Papua ia kembali ke Medan.

Pada 1996 hingga 2000 ia ditugaskan memimpin pendidikan calon pastor, sebagai Rektor Seminari TOR St. Markus Pematangsiantar, lalu dipercaya menjadi pelaksana pembangunan Graha Maria Annai Velangkanni Medan, tahun 2000 hingga 2005. Sejak 2005 ia menjadi Rektor Graha Maria Annai Velangkanni Medan.

Graha Maria Annai Velangkanni: Membuka Jalan Dialog

Pengalaman berkarya di Aceh, ia pun terus mengembangkan tentang dialog umat Katolik dengan lintas agama di Keuskupan Agung Medan. Bagi Pastor James, bagi orang beriman, dialog tidak pernah ada masalah. Menurutnya, kehadiran umat Katolik di tengah-tengah masyarakat, terlah menjadi kesaksian sebagi umat Kristen. “Kita bisa hidup bersama, tanpa saling mengganggu,” ujarnya.

 

Foto Pastor James dengan latar miniatur-Graha Maria AnnaiVelangkanni/Foto: Ananta Bangun

 

“Dengan membuka layanan pendidikan, kita bisa mendidik kaum muda dari latar belakang keyakinan berbeda. Mereka akan melihat dengan sudut pandang berbeda. Yakni, melihat gereja itu mendidik anak-anak mereka. Iman mereka tidak akan terganggu. Maka, kita tidak perlu menegaskan ciri khas Katolik. Apa yang kita berikan bermutu, tentu baik bagi kemanusiaan,” ucap Pastor yang kini melayani sebagai Rektor Graha Maria Annai Velangkanni di Medan.

Visi senada yang juga menginspirasi Imam Jesuit tersebut tatkala membangun peziarahan Velangkanni. Jika pertama kali melihat, tidak akan ada yang menyangka bahwa bangunan ini merupakan sebuah gereja. Bentuk bangunannya lebih terlihat menyerupai sebuah vihara dibandingkan dengan gereja pada umumnya.

Dalam penuturan Pastor James, gereja ini didedikasikan pada Bunda Maria yang dikenal di India sebagai Annai Velangkanni Arokia Matha atau yang dapat diartikan sebagai Bunda Penyembuh (Our Lady of Good Health). Dibangun pada September 2001-September 2005, Gereja Graha Maria Annai Velangkanni diresmikan pada Oktober 2005 silam.

Selain didasari alasan ingin membuat bangunan ibadah yang bisa digunakan oleh semua agama, Gereja Graha Maria Annai Velangkanni disebut sebagai ‘Gereja Bhineka Tunggal Ika’ karena menyampurkan berbagai nuansa dalam bentuk bangunannya.

“Gereja ini adalah lambang Indonesia, Gereja Bhineka Tunggal Ika. Dibuat dalam berbagai gaya sehingga semua orang bisa datang ke sini. Tujuannya agar semua orang bisa datang, berdoa, dan mendapat pengalaman bersama Tuhan,” tutur Pastor James.

Dari tampak luar, gereja ini terlihat berbentuk seperti vihara, dengan bangunan yang berundak-undak dan ukuran yang semakin mengecil semakin ke atas. Sementara atapnya berbentuk kubah dengan desain Indo-Mughal atau India Muslim.

“Jadi semua orang bisa ibadah di sini, kalau yang muslim datang mau salat, mereka bisa gelar sajadah. Ada ruangan di bagian bawah yang bisa dipakai, karena lantai dasarnya itu aula,” ungkap Pastor James.

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama Katolikana dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Kontributor Katolikana.com di Medan. Redaktur Pelaksana Menjemaat, majalah Keuskupan Agung Medan. Penulis, trainer, dan speaker di Komisi Komunikasi Sosial – Keuskupan Agung Medan. Ia aktif dan senang menulis di blog anantabangun.wordpress.com.

DialogKatolik di AcehPilihan EditorToleransi
Comments (0)
Add Comment