Membuka Ruang Inklusif dalam Pesantren Waria

Melindungi waria dari diskriminasi dan aksi intoleran

Katolikana.com – Hidup sebagai seorang waria bukanlah hal yang mudah. Di masa pandemi, mereka juga rentan terdiskriminasi. Untuk itulah Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah Yogyakarta hadir sebagai sarana bagi kaum waria untuk saling mendukung dan saling berbagi.

“Hidup sebagai waria itu bukan pilihan. Kami ini menjalani takdir dari Yang Maha Kuasa,” demikian Shinta Ratri menekankan. Shinta saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta. Ponpes ini sudah berdiri sejak 2008 dan jumlah anggotanya terus bertambah. Dari semula hanya memiliki 20 santri, hingga kini memiliki 62 santri.

Shinta sendiri menyebut ponpes ini adalah tempat bagi kaum waria memperdalam ilmu agama sekaligus belajar kemampuan pengembangan diri. Ponpes waria satu-satunya di Indonesia ini memberikan ruang pada kaum waria yang rindu untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik.

“Kami belajar ngaji setiap hari Minggu, mulai jam 16.00 sampai jam 18.00. Itu ada empat kelas  di sana. Ada kelas iqra, hafalan surat pendek, kemudian bacaan salat, dan kelas tajwid. Setelah salat berjamaah maghrib lalu kajian. Ada kajian fikih, akidah, tarikh,” terang Shinta.

Sementara pelatihan pengembangan diri turut diadakan karena Shinta menyadari pada umumnya kaum waria berpendidikan rendah sehingga mereka susah mencari pekerjaan. Kegiatan yang dinamakan sekolah sore itu diadakan saban Sabtu sore.

“Di situ kami belajar yang di luar agama. Seperti belajar membuat lilin aromatik, berkebun. Lalu melukis, juga kursus Bahasa Inggris,” Shinta menjelaskan.

Diskriminasi Berbuah Aliansi

Shinta mengakui dalam lima tahun terakhir, masyarakat berubah menjadi makin konservatif dalam beragama. Dulu penerimaan masyarakat terhadap waria sangat baik. Waria diberi ruang untuk bisa bermanfaat di tengah masyarakat. Akan tetapi, sekarang masyarakat mulai menjaga jarak dari komunitas waria.

“Pada tahun 2016, ketika isu anti-LGBT mulai naik, maka kawan-kawan waria ini selalu menjadi korban yang pertama. Karena waria itu paling mudah dilihat. Jadi kamilah yang selalu menjadi korban,” kenang Shinta.

Puncaknya, pada tahun itu Ponpes Waria Al-Fatah mengalami penggerudukan oleh massa ormas Front Jihad Islam (FJI). FJI menuntut ponpes ini ditutup dengan alasan waria tidak boleh beribadah sebelum bertobat menjadi laki-laki.

Peristiwa itu membuat Shinta mulai berpikir bahwa waria harus menggalang dukungan publik untuk dapat memperjuangkan hak-hak asasi mereka. Seperti hak beribadah, hak mencari kerja, sampai hak mengakses layanan publik. Momen ini mengawali Ponpes Waria Al-Fatah pro-aktif menggalang jaringan ke akademisi, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat.

“Setelah ada peristiwa 2016 itu, kami lalu bergabung di SOBAT KBB (Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang meliputi minoritas agama. Ada Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan penghayat. Lalu dari Syiah, Ahmadiyah, dan ponpes waria ini,” tutur Shinta.

Dimotori oleh LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), aliansi ini lantas menyusun kerja advokasi bersama-sama. Tak hanya unuk membela kelompok minoritas agama, tetapi juga kelompok rentan lainnya, seperti kaum perempuan, anak, disabilitas, buruh, dan waria.

Bahkan aliansi ini mengantarkan Ponpes Waria Al-Fatah untuk menjalin nota kesepahaman dengan Universitas Kristen Duta Wacana untuk dapat memfasilitasi keperluan ibadah waria yang beragama Kristen.

“Kami kan juga punya waria yang non-muslim. Kami harus adil juga. Untuk itu, kami membuat MoU dengan Universitas Kristen Duta Wacana. Dengan mereka, kami mendapat fasilit kapel untuk melakukan persekutuan doa. Itu kami lakukan setiap bulan dua kali, di hari Jumat,” kata Shinta.

“Dan kami juga perhatikan kawan-kawan yang lain di aliansi, misalnya penyandang disabilitas. Sebab diantara kawan-kawan waria ada yang penyandang disabilitas juga. Itu cara kami melakukan penanaman toleransi di kalangan kawan-kawan,” lanjutnya lagi

Masyarakat Harus Inklusif

Sementara itu, Masturiyah Sa’dan, penulis buku “Santri Waria” dan “Solidaritas Waria Yogyakarta” memiliki pandangan bahwa hidup menjadi waria tidaklah mudah. Karena itu, ia menilai masyarakat umum juga harus bersikap inklusif dan siap menerima keberadaan waria sebagai sesama manusia. Ia menceritakan pengalamannya sendiri sebagai contoh.

“Saya datang ke pesantren waria itu mulanya bukan untuk melakukan penelitian karena saya bukan akademisi. Niat saya datang ke pesantren waria itu membantu menemani mereka membaca Al-Quran,” katanya.

 

Masthuriyah Sa’dan, Penulis Buku Santri Waria/Foto: Katolikana

 

Dari aktivitas tersebut, lalu Masthuriyah mulai menulis catatan pendek yang rutin ia unggah di Qureta. Tak dinyana, tulisan-tulisan Masthuriyah yang berkisah mengenai kehidupan waria ternyata banyak menarik pembaca. Hingga akhirnya kumpulan tulisan tersebut diterbitkan menjadi buku.

“Tugas saya sebagai penulis adalah menulis untuk menyuarakan kelompok minoritas gender dan seksual, memperkenalkan kepada masyarakat umum tentang kehidupan yang berbeda bagi kelompok ini,” ungkap Masthuriyah.

Ia juga mengajak masyarakat bahwa untuk melihat tafsir agama secara kaku. Sebab tidak semua tafsir agama memojokkan kaum waria. “Kalau membaca kajian Islam secara lebih detail itu ada namanya penafsiran yang inklusif. Ada loh fikih minoritas. Ada loh penafsiran agama yang berpihak pada kelompok rentan,” paparnya kepada Katolikana.

Peluang Menghapus Diskriminasi Negara

Sedangkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Fisipol UGM, mengingatkan bahwa dalam masa pandemi, waria semakin rentan mendapatkan diskriminasi. “Atas nama kesehatan bersama, seringkali kita mengambil kebijakan yang abai pada teman yang mengalami realitas berbeda. Di situlah muncul potensi-potensi diskriminasi,” kata Ayu.

“Ibaratnya, jika masyarakat lain mungkin mulai kesulitan mencari penghidupan setelah pandemi berlangsung beberapa minggu, waria kesulitan mencari penghidupan sejak hari pertama pandemi, tuturnya.

Contoh paling mudah adalah sulitnya waria mengakses bantuan sosial. Hambatan ini ada, salah satunya, karena selama ini data diri kaum waria tidak dicatat dengan baik oleh negara. Banyak waria yang tidak memiliki KTP. Meski demikian, Ayu melihat ada peluang untuk memperbaiki keadaan ini.

“Bulan Juni tahun ini, Kemendagri sudah menyatakan bahwa kawan-kawan waria berhak memiliki KTP. Itu sesuatu yang sebelumnya tidak pernah mereka nyatakan. Itu menarik. Pertanyaannya, sejauh mana keterbukaan ini dilaksanakan dengan baik sampai level bawah?” ulas Ayu.

Hanya saja Ayu juga menekankan tugas negara tidak selesai dengan menerbitkan KTP saja. Ia menyebut, “Tanggung jawab negara sebenarnya besar ya. Seperti memastikan kelompok masyarakat sipil tidak berkonflik satu sama lain. Menekan pandangan-pandangan pro-kekerasan. Lalu kemudian memberikan akses yang setara di bidang pendidikan, dan ekonomi, dan seterusnya.”

“Di bidang ini kita masih harus berusaha bersama-sama,” pesan Ayu.

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama Katolikana dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Pesantren WariaPilihan EditorToleransi
Comments (0)
Add Comment