Muka Dua Media Membingkai Terorisme dan Cara Memandang Papua

Bagi Papua, ada masalah krisis kekerasan, krisis penderitaan dan krisis lingkungan yang melibatkan negara dan pemberitaan media yang timpang sejak integrasi tahun 1963.

Katolikana.com—Di sore yang di guyur hujan ini di Jawa Tengah tiba-tiba suasana yang dingin menjadi renyah-hangat menjelang hari raya Imlek di tengah kekhawatiran melonjaknya varian Omicron.

Apa sebab? Gara-gara ada berita bahwa telah terjadi ledakan dari sebuah rumah di dekat pondok pesantren (ponpes) Grobogan, Jawa Tengah (28/1/2022, iNews TV).

Ledakan diduga bersumber dari petasan yang di bawah oleh seseorang yang juga adalah korbannya untuk mengusir kelelawar.

Silang sengkarut terjadi ketika wartawan mewawancarai Kepolisian Jawa Tengah untuk mencari tahu kronologi peristiwa. Saya menjadi kaget ketika pertanyaan wartawan menyerempet hubungan rumah yang meledak dengan dekatnya pondok pesantren yang ada dan dijawab oleh Kepolisian masih menunggu bukti.

Menurut saya, ini sembrono dari sang wartawan telah menciptakan pembingkaian (framing) dan polarisasi opini. Jika dicermati, banyak wartawan di era kekinian yang kurang pandai meramu pertanyaan dalam kaidah pers walau maksudnya adalah mencari informasi.

Sebagai awam, dalam benak saya pertanyaan itu mengarah ke soal hubungan agama dan terorisme karena lokasi kejadian dekat dengan pondok pesantren.

Benar saja. Ketika dalam sebuah acara perbincangan iNews TV menghadirkan Islah Bahrawi sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia dan Anwar Abbas sebagai wakil dari Majelis Ulama Indonesia, perbincangan yang ada menjadi liar. Di tengah rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait masjid yang terafiliasi paham radikal.

Anwar Abbas mengaitkan kenapa tuduhan terorisme selalu dialamatkan ke pondok pesantren yang merupakan asosiasi dengan agama Islam. Bagaimana dengan separatisme Papua kenapa tidak diusut?

Jawaban Islah Bahrai menarik: “dua-duanya bahaya bagi NKRI dan mengaitkannya tidak perlu iri-irian karena ini bukan masalah agama.”

Apakah separatisme Papua itu identik dengan agama? Apakah separatisme setelah Timor-Timur lepas hanya persoalan di Papua. Bagaimana dengan separatisme Aceh: apakah ia identik dengan agama juga?

Dari pendekatan ekonomi-politik dan penelitian akademis kesejarahan dua-duanya baik terorisme dan separatisme mendudukkan hubungan yang bias dengan agama. Dua – duanya rumit di bawah UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Walau tidak memungkiri ada masalah tafsir yang mendorongnya. Namun, soal tafsir ini tidak tunggal dalam realitanya, begitu kebanyakan pendapat dari ilmuwan sosial.

Tulisan saya berjudul “Bias Framing Konflik Nduga Papua” mencoba membandingkan judul pemberitaan media lokal nasional Indonesia dengan AlJazeera News yang sama-sama memberitakan konflik tersebut tapi menggunakan diksi (pilihan kata) yang berbeda.

Media lokal menggunakan judul: “Aparat dibantai di Nduga” sedangkan Al jazeera memberitakan “Terjadi Baku Tembak di Papua dan ada korban sipil”. Judul Aljazeera lebih kalem (soft) di benak pembaca dibandingkan media nasional yang mendapat banyak klik “suka” dan banyak “dibagikan”. Namun sesungguhnya konflik tersebut menyakitkan dan banyak memakan korban dari beragam latar belakang.

Begitu pun analisa saya terhadap perbincangan berita yang saya tonton terkait adanya ledakan dari sebuah rumah. Kenapa diksi yang digunakan ledakan dan menyerempet pertanyaan hubungan dengan pondok pesantren?

Pertanyaan tersebut sudah mendahului fakta lapangan. Padahal hal tersebut masih dalam penyelidikan dari otoritas terkait.

Itulah framing media yang kadang menunggangi polemik dan membuat publik yang tidak hadir di saat kejadian menjadi resah secara psikologi dan berkelahi-gaduh dengan persepsinya sendiri tanpa di dasari fakta akibat bias yang sudah dilontarkan.

Menurut penulusuran saya di mesin pencari, diksi ”ledakan” dibanding kasus “kebakaran” di Jawa Tengah lebih berbanding lurus dengan kebakaran daripada ledakan yang persepsinya berkaitan dengan amunisi atau bahan peledak.

Sejalan dengan hal tersebut Badan Pusat Statistik Jateng mengeluarkan rilis terkait Jumlah Kerusakan Rumah yang Diakibatkan Bencana Kebakaran Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jateng.

Kabupaten Grobogan mendapat angka tertinggi 44 kejadian di tahun 2018. Tertinggi di antara kejadian antarkabupaten lain di Jateng tanpa dijelaskan benda yang memicunya apa. Artinya, kejadian kebakaran rumah memang sering terjadi di Grobogan.

Pers bukanlah malaikat tanpa kesalahan ketika faktor ketidaksengajaan akibat kemampuan meramu berita kurang memadai.  Pers yang sehat dan bagus diharapkan mengedepankan Kode Etik Jurnalistik yang ketat dan ketika bersumber dari sumber yang imajiner (belum jelas) dan fakta yang ada masih buram baiknya kronologi disuguhkan dengan tidak mengulang-ulang, seakan itu fakta.

Untuk memahami isu terorisme dan gejolak sosial di Papua, kita bisa menilik gagasan Johan Galtung dalam mengembangkan etika makro untuk “Menghindari Kekerasan baik Verbal dan Tindakan” dari dampak pembangunan modernisme serta kontradiksi yang menyertainya relevan bagi menjawab kenapa ada individu atau sekelompok orang bergejolak melihat ketidakadilan yang ada sebagai akibat kenyataan sosial dan ekonomi yang timpang dari kuatnya sistem kapitalisme sehingga pihak yang kalah protes. Namun terkadang cara protesnya salah.

Di sisi lain Hans Kung pemikir Etika Global mengamini peran agama memberikan dasar untuk melawan ketidakadilan namun ia tidak setuju jika ada korban berjatuhan untuk mewujudkannya untuk mencapai tujuan kelompoknya.

Bagi Papua,ada masalah krisis kekerasan, krisis penderitaan dan krisis lingkungan yang melibatkan negara dan pemberitaan media yang timpang sejak integrasi tahun 1963.

Setelah reformasi tahun 98 Papua masih dilekatkan dengan dengan isu keterbelakangan dan liar. Walau statistik kekerasan bukan milik Papua semata.

Saya setuju dengan Made Supriatma seorang peneliti Daud Yusof Ishak Institute Singapura yang mengatakan: “Ada ingatan akan kekerasan turun-temurun” untuk kasus Papua yang berbeda dengan kekerasan kelas lainya dan gejolak sosial di Papua mempunyai sasaran yang spesifik yaitu negara-bangsa melawan negara setempat dan ekskalasinya tidak keluar dari Papua.

Dulu ketika Timor-Timur bergejolak ada juga kabar angin yang melontarkan bahwa Timor-Timur ingin merdeka karena faktor agama. Padahal, ada Mari Alkatiri di sana yang pernah menjadi perdana menteri dan ikut bergerilya di luar negeri untuk independensi negaranya di masa depan. Di Papua dalam gerakan dialog damai ada Thaha Al Hamid pendiri Presidium Dewan Papua.

Di Indonesia, kesejarahan isu separatisme bukan milik Papua saja. Aceh pasca perjanjian Helsinki juga bagai api dalam sekam walau statusnya sudah Daerah Istimewa dan pembangunan infrastruktur sudah terbangun.

Mengaitkan isu gejolak sosial di Papua ketika ada polarisme pemberitaan terkait terorisme sama saja meyakini standar ganda bahwa di satu sisi ketika ada korban kemanusiaan dari terorisme ikut mengutuk namun secara samar juga menyetujui tanpa mau mengurai selubung permasalahan yang ada. Mari bangun jurnalisme dan narasumber yang pakar akan fakta dan sehat di tengah dunia yang kata Bob Marley penuh masalah ini.**

Food traveler. Menulis Kajian Humaniora, Kuliner dan  Masalah Pembangunan. Tinggal di Denpasar, Bali.

FramingPapuaTERORISME
Comments (0)
Add Comment