Tradisi Kawin Tangkap di Sumba Meresahkan? Ini Tanggapan Dua Perempuan asal Sumba

Penegakan hukum sering terkendala adanya pemakluman karena dianggap bagian dari ‘tradisi’.

Katolikana.com—Keresahan masih menghampiri dua perempuan asal Sumba, Nur Rizki Sumbawati (21) dan Nerliyati Putarato (19), akan adanya piti rambang atau kawin tangkap. Kawin tangkap merupakan tradisi suku Sumba, terutama di Desa Loli di Waikabubak.

Misalnya, di akhir 2019, di Twitter beredar video yang memperlihatkan perempuan yang sedang duduk di depan rumahnya dibopong secara paksa ke tempat yang diduga di mana calon suami berada. Video berdurasi 30 detik ini diunggah oleh akun @RallyTsog.

Nur Rizki Sumbawati (21)
Nerliyati Putarato (19):

“Jika kawin tangkap dilakukan tanpa paksaan dan dilakukan sukarela dari pihak wanita, menurut saya hal itu sah-sah saja,” ujar Nur kepada Katolikana, Rabu (6/4/2022).

Pemaksaan perkawinan dilakukan oleh laki-laki di Suku Sumba yang berlapis menjadi kekerasan fisik pada perempuan.

Laki-laki menjalankan kawin tangkap selayaknya penculikan pada perempuan yang mereka temui di pasar, mata air, atau di sungai, tanpa ada percakapan adat di antara keduanya.

“Sumba itu tidak seperti kenyataan yang sekarang ini terjadi. Kawin tangkap yang ada dalam tradisi silam itu punya maksud tertentu, ada semacam latar belakangnya,” ujar Nerli kepada Katolikana, Kamis (7/4/2022).

Mengancam Kebebasan Perempuan
Menurut kedua perempuan Sumba ini, budaya kawin tangkap sangatlah meresahkan. Mereka merasa bahwa budaya kawin tangkap saat ini mengancam kebebasan perempuan.

“Bagi saya kawin tangkap perlu dihentikan karena tindakan ini meresahkan dan mengancam kebebasan perempuan Sumba,” jelas Nerli.

Menurut Nur, di Kampung Pala masih sering ditemui kawin tangkap, tetapi masih selaras dengan peraturan budaya.

Nerli yang berasal dari Kampung Loli sering mendengar adanya warga kampung yang melakukan kawin paksa tanpa adanya persetujuan adat dan atau kepercayaan Marapu.

Menurut Nur, kawin tangkap ini tidak dapat dihilangkan karena hal ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama, dan praktiknya masih banyak terjadi sampai sekarang.

“Yang perlu diubah adalah pelencengan dari kawin tangkap yang dilakukan secara paksa dan kekerasan,” jelas Nur.

Komnas Perempuan menjelaskan bahwa pelaku kawin tangkap dapat dijerat pidana 9 sampai 12 tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 332 Ayat 2 KUHP serta pasal 333 KUHP.

Walaupun telah ada undang-undang yang menaungi kasus kawin tangkap, menurut Nur masih banyak kasus yang lolos dari pihak berwajib.

“Karena kita di kampung, banyak yang merasa susah untuk lapor ke polisi. Jadi, dibiarkan saja kawin ini terjadi,” ujar Nur.

Nur bercerita bahwa sering terjadi kawin tangkap karena permasalahan ekonomi.

Perempuan dari satu keluarga yang berhutang dengan keluarga laki-laki akan menyerahkan anaknya sebagai pengganti hutang mereka.

“Mungkin banyak orang Sumba yang tidak melapor karena mereka tahu, suara mereka tidak didengar oleh polisi,” ujar Nerli.

Grafik kawin tangkap dan sebabnya. Infografis : Shania RF Situmorang

Nerli merasa beberapa aparat hukum setempat akan memaklumi kawin tangkap karena hal ini menjadi budaya Sumba. Jadi masih ada perasaan jika semua kasus ditangani akan mematikan budaya.

“Kalau dihentikan kesannya membunuh tradisi atau membunuh salah satu kekayaan tradisi di Sumba. Jadi bagi saya perlu dibenahi kembali kepada pemaknaan awal,” jelas Nerli.

Menjadi budaya dari nenek moyang, masyarakat Sumba masih ingin menjunjung kebiasaan ini.

Penandatanganan MOU peningkatan perlindungan perempuan dan anak di 4 Kabupaten di Sumba, menindaklanjuti kasus “Kawin Tangkap” oleh Wakil Gubernur NTT bersama Bupati Sumba Timur, Bupati Sumba Tengah, Bupati Sumba Barat, dan Bupati Sumba Barat Daya. Foto: Kemenko PMK

Kedua perempuan asal Sumba ini menginformasikan bahwa kawin paksa yang terjadi sekarang tidak melihat umur.

“Ketika kawin tangkap ini dilakukan dengan cara pemaksaan dan kekerasan, maka hal tersebut salah. Saya pasti akan menentang praktik budaya ini. Apalagi, banyak perempuan di bawah umur yang jadi korban,” ujar Nur.

Walaupun keduanya berada di luar Sumba, tetapi mereka tetap merasa bahwa kawin tangkap dapat terjadi di mana pun.

Menurut mereka, Undang-undang yang dapat menaungi kejadian ini pun harus dipertegas, agar masyarakat dari seluruh daerah, khususnya Sumba, bisa memahaminya.**

Kontributor: Shania Rully Florensia Situmorang (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Kawin TangkapSumba
Comments (0)
Add Comment