Kehidupan Jalanan Sugeng Nugroho

Sebagai tukang parkir, sehari penuh dirinya membawa pulang uang Rp30.000,-

Katolikana.com—Hidup di jalanan menjadi pilihan bagi Sugeng Nugroho, pria asal Berbah Yogyakarta, kelahiran 1986.

Jalanan merupakan tempat untuk dirinya mengais rezeki. Hidup di jalanan sudah dijalaninya selama delapan tahun.

“Saya dulu pernah merantau ke Lampung hingga lima bulan, namun tak bertahan lama. Saya bekerja di Alfamart. Parkirnya juga lumayan. Saya juga setor setiap dapat Rp30.000-50.000,” ungkap Sugeng Nugroho kepada Katolikana, Sabtu (9/4/2022).

Tapi pengalaman itu hanya berjalan tak lebih dari dua bulan. “Saya diguyur oleh preman Panjang. Saya dimintai uang semuanya sampai saya tombok. Lalu saya putuskan untuk balik ke Jogja,” tambah Sugeng.

Sugeng bercerita, ketika kembali ke Jogja dia menjadi pengamen hingga pernah diangkut oleh Satpol PP.

Setelah kejadian itu dia memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya di jalanan sebagai tukang parkir di bawah Jembatan Janti.

“Kalau di sini kita rolling parkiran selama setengah jam,” kata Sugeng Nugroho.

Sugeng mengungkapkan, pendapatan yang dia dapatkan sehari sebagai tukang parkir masih kurang. Untuk sehari penuh dirinya membawa pulang uang Rp30.000.

“Itu saja aku di sini gak makan. Betah-betahin, buat anak istri. Karena aku laki-laki, harus punya tanggung jawab,” ungkap Sugeng.

Keluarga Kurang Mampu

Sugeng dilahirkan dari keluarga kurang mampu. Sebagai anak tunggal dia rela tidak melanjutkan sekolah dan memutuskan hidup di jalan demi menafkahi keluarga kecil dan kedua orang tuanya.

“Saya berasal dari keluarga yang kekurangan secara ekonomi. Saya berhenti sekolah agar bisa menafkahi orang tua yang saat itu dalam keadaan sakit,” ungkap Sugeng.

Menurut Sugeng, apa pun pekerjaan dia lakukan, yang penting halal dan asalkan dia tidak mencuri.

“Dulu saat orang tua dan mertuaku tahu, aku tidak diberikan ijin untuk hidup di jalan. Tapi dengan kenekatan, dalam arti aku ingin membahagiakan orang tuaku, aku tetap lakukan,” katanya.

Sugeng mengakui dirinya hidup sebatang kara setelah bapak dan ibu-Nya meninggal dunia.

Suka Duka

Bagi Sugeng, duka menjadi anak jalanan yang bekerja sebagai tukang parkir adalah saat tidak ada yang memberi uang. Namun itu tidak menjadi masalah baginya. Dirinya selalu ikhlas dan bersyukur menjalani hidup ini.

Sugeng menambahkan, dirinya pernah difitnah dan dianggap kalau parkir kok ngawur. Padahal menurut dia itu tidak benar karena ada saksi dan CCTV yang merekam kejadian itu.

“Lampu merah dari sebelah barat, ‘kan otomatis ngegas pol. Sebentar mas, dia gak mau. Akhirnya yang kena saya. Saya di bawa ke Pos Depok Barat,” kata Sugeng.

Bagi Sugeng, hidup di jalanan cari nafkah berapa pun yang ia terima besar kecilnya, selalu disyukuri.

Sugeng mengaku sering mengalami kendala dalam membayar uang sekolah anaknya. Sebagai seorang ayah, Sugeng merasa sedih karena pemasukan yang ia terima belum cukup untuk melunasi biaya pendidikan anak di bangku Sekolah Dasar (SD).

“Anak pertamaku belum bisa bayar uang sekolah. Aku sudah minta keringanan dari kepala sekolah namun tidak diberikan. Saya harus tetap melunasi,” tegasnya.

Sugeng mengaku sesekali ada orang baik yang memberikan uang hingga Rp50.000 bahkan lebih.

Sebagai tukang parkir di bawah jembatan Janti, ia tidak sendirian. Per orang dijatah waktu setengah jam. Foto: Given Erly

Aktivitas di Jalan

Sebagai tukang parkir di bawah jembatan Janti, ia tidak sendirian. Per orang dijatah waktu setengah jam. Waktu yang singkat menjadi kendala untuk mendapatkan uang.

“Tergantung orangnya, mereka berangkat semuanya atau tidak. Kalau berangkat semua, terpaksa tidak bisa membawa pulang uang,” ungkap Sugeng.

Sugeng menjelaskan, dia merasa nyaman bila tidak ada orang atau oknum yang mengganggu aktivitasnya di jalanan. Kalau ada, Sugeng memilih untuk mengalah.

Menurut dia, ini bukan jalan kita. Yang berwenang hanya polisi.

Dibilang nyaman ya nyaman. Dibilang tidak nyaman ya tidak nyaman karena di jalan,” tegas Sugeng.

Harapan

Sugeng mengaku sulit mencari pekerjaan. Orang masih menilai anak jalanan dengan sebelah mata, misalnya karena melihat tato. “Tato bukan berarti bajingan, tapi itu seni,” ujarnya.

Ia berharap ke depan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan halal.

Kontributor: Given Erly Nice Leiwakabessy (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

JalananKehidupanYogyakarta
Comments (0)
Add Comment