Batik KampuNG Berdiri dari Tekad dan Nekad

Huruf NG ditulis kapital untuk menunjukkan identitas pendiri Batik KampuNG: Ngadiwinatan dan Ngampilan.

Katolikana.com—Berawal dari keinginan sembilan orang warga Kampung Ngadiwinatan, Ng 1/1241 RT 68 RW 13 Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta, Kelompok Batik KampuNG terbentuk pada 2018.

Setahun sebelumnya Kelurahan Ngampilan Yogyakarta mengadakan pelatihan jumputan.

“Kami ingin mendirikan usaha batik, tapi tidak punya uang untuk modal,” ujar pendiri Batik KampuNG Monica Sumiyati.

Tanpa pikir panjang, sembilan anggota Batik KampuNG mengumpulkan uang secara patungan untuk modal awal mendirikan Batik KampuNG.

“Kami patungan 50 ribu per orang untuk modal awal jadi total 450 ribu. Lalu dikumpulkan selama satu tahun. Keuntungannya dibagi pas akhir tahun,” lanjutnya.

Sampai saat ini, cara iuran tersebut terus dilakukan para anggotanya Batik KampuNG supaya usaha mereka tetap terus berjalan.

Nama Batik KampuNG menarik karena dua huruf belakang kampung ditulis dengan huruf kapital. Bukan tanpa maksud, huruf NG ditulis kapital untuk menunjukkan identitas pendiri Batik KampuNG.

“Kami ini kan tinggal di Kampung Ngadiwinatan, Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. NG besar itu perwakilan kata NGadiwinatan dan Ngampilan,” jelas Monica Sumiyati.

Batik KampuNG memiliki visi dan misi penting. Pertama, sebagai percontohan dan memotivasi bahwa memulai usaha tidak membutuhkan modal besar, dengan bermitra, menyisihkan ego, kejujuran dan bekerja dengan hati.

Kedua, melestarikan batik dan mengedukasi serta menumbuhkan rasa bangga menggunakan batik tulis dan batik cap.

Ketiga, penggunaan zat pewarna alam sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan.

Berawal dari tekad dan nekat serta terus menerapkan visi dan misi, akhirnya Dinas UMKM Kota Yogyakarta menyediakan tempat bagi Batik KampuNG.

“Kami tidak mengiri bisa mendapatkan bantuan fasilitas dari Dinas UMKM. Tepatnya di Galeri KAMU lantai 1 Mall Galeria, bersama UMKM lain. Ada juga di Galeri Kota Gedhe Bandara YIA dan di Hotel Cavinton Yogyakarta,” jelas Monica Sumiyati.

Batik KampuNG juga mendapatkan bantuan dari warga setempat dengan memberikan rumah kosong miliknya sebagai tempat produksi Batik KampuNG.

“Ada warga yang melihat Batik KampuNG, lalu dia berbaik hati membantu kami untuk membuat bengkel kerja di rumahnya yang kosong,” ucap Monica Sumiyati.

Batik KampuNG juga diberi kesempatan oleh dinas untuk ikut pameran di beberapa tempat. Seperti di beberapa mall di Yogyakarta dan di kota-kota besar.

Tak hanya itu, Batik KampuNG diberi kesempatan untuk mengenalkan brand Batik KampuNG lewat acara fashion show.

“Puji Tuhan, kita pernah diajak Dinas UMKM untuk ikut pameran UMKM di sejumlah mall di  Jogja serta di luar kota sepertu Medan, Lombok, Bandung. Kami juga sering bergabung dengan Megapura, yaitu kelompok UMKM fashion di Kelurahan Ngampilan,” jelas Monica Sumiyati.

Kelompok Batik KampuNG ketika mengikuti salah satu pameran. Foto: Monica Sumiyati.

Setelah lima tahun berdiri, perkembangan produk lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

“Saat awal-awal, kami membuat jumputan dan shibori. Sekarang ada ecoprint, baju jadi, kerudung, pasmina, mukena dan sajadah, aneka macam tas dan sepatu, ikat pinggang, mug, kipas buku bersampul dari kertas ecoprint, dan kotak tisu,” jelas Tutik anggota kelima pendiri Batik KampuNG.

“Jumputan dan shibori masih dibuat, namun hanya jadi pelengkap saja,” lanjut Tutik.

Tentang Ecoprint. Infografis: Jericho

Batik KampuNG pernah diliput oleh televisi lokal seperti Krisna, SCTV, dan koran harian Kedaulatan Rakyat.

Di luar bantuan dinas dan warga, Batik KampuNG menghadapi tantangan bagaimana agar anggota Batik KampuNG bisa terus berkembang dan maju dengan barang masing-masing, tanpa meninggalkan Batik KampuNG dan tetap menghasilkan produk-produk yang modis, elegan dan mempertahan penggunaan warna alam.

“Selain itu, bagaimana bisa mewujudkan harapan untuk menjadi contoh bagi masyarakat menengah ke bawah bahwa usaha tidak membutuhkan modal berupa uang dalam jumlah besar. Kalau kita bisa bermitra dan berjejaring maka kendala berupa modal uang tersebut bisa teratasi tanpa hutang kepada pihak lain,” tambah Tutik.

Batik KampuNG sering mendapatkan peluang atau kesempatan pendampingan dari pihak lain tetapi ditolak.

“Kita harus berhutang walaupun dengan bunga kecil dan ada hal-hal yang memudahkan. Itu tetap kita tolak.  Prinsipnya, kami berusaha dan berkarya untuk mengisi waktu luang untuk menghasilkan tanpa dibebani hutang. Jika punya kendala keuangan maka kami akan patungan yang pasti akan meringankan kami,” jelas Tutik.

Berkat kegigihan prinsip dan tekad yang kuat, Batik KampuNG tidak pernah sepi ajakan untuk menjadikan Batik KampuNG tempat untuk belajar.

“Selama pandemi, masih banyak yang mengundang kami untuk mengajar khususnya tentang pembuatan ecoprint. Namun, untuk penjualan pasti jauh berkurang. Tapi pesanan-pesanan tetap jalan walaupun tidak banyak. Yang penting cukup untuk anggota Batik KampuNG,” tutup Monica Sumiyati.

Kontributor: Mateus Jericho (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

BatikYogyakarta
Comments (0)
Add Comment