Katolikana.com—Kehadiran media digital telah menurunkan popularitas membaca buku cetak. Namun, sejumlah orang tetap mengandalkan buku cetak, karena kelebihannya.
Salah satu kelebihan buku cetak adalah lebih ramah di mata sedangkan media digital membutuhkan gawai agar dapat dibaca. Paparan gawai inilah yang kemudian akan merusak mata jika secara terus menerus dikonsumsi.
Membaca buku akan mengurangi kesempatan kita untuk terdistraksi akan hal-hal lain di luar kegiatan membaca.
“Tendensi untuk terdistraksi lebih minim jika membaca buku cetak, akan mudah terdistraksi jika membaca melalui digital literature,” ujar Fristian Setiawan.
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mencontohkan ketika kita membaca literasi lewat gawai lalu ada notifikasi pesan.
“Pasti kita akan terdistraksi untuk membuka pesan dan meninggalkan kegiatan membaca,” ujar Tian.
Pemuda asal Tasikmalaya ini menambahkan kekurangan membaca buku cetak mengharuskan untuk membeli di toko buku.
“Hal ini yang mungkin menyulitkan beberapa orang dari segi ekonomi. Sementara literasi digital menawarkan bacaan yang tidak mahal atau bahkan gratis,” ujarnya.
Awal Ketertarikan
Kesukaan dalam membaca buku mulai muncul dari diri Tian sejak SMA. Ketertarikan tersebut muncul ketika ia mengikuti pelajaran Agama Kristen.
Berbicara tentang agama, memang tidak ada hal pasti mengenai agama. Ketidakpastian inilah yang memicu Tian untuk bertanya atas beberapa pernyataan berkaitan dengan eksistensi manusia.
Namun, ia bingung harus mendapat jawaban dari mana. Lalu ia bertemu dengan guru Sosiologi yang kebetulan mendalami filsafat.
Mulai saat itu, guru Sosiologi itu menjadi sosok penting bagi Tian dalam mengembangkan minat baca. Suatu ketika ia menanyakan rekomendasi buku kepada guru tersebut.
Buku itu adalah Dunia Sophie, novel bergenre filsafat. Dari sinilah perjalanan membaca Tian dimulai.
Prestasi
Sebagai mahasiswa yang tertarik dengan buku, Tian menyalurkan hobinya lewat sejumlah lomba.
Ia pernah mengikuti lomba menulis esai filsafat berjudul ‘Meninjau Ulang Dromologi Melalui Sudut Pandang Humanisme Dikotomis’ yang diadakan oleh Universitas Parahyangan, Bandung.
Lalu, ia juga mengikuti lomba menulis tentang problem eksistensialisme dan humanisme yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada.
Ia keluar sebagai juara harapan II pada lomba di Universitas Parahyangan dan terpilih sebagai penulis terbaik pada lomba di UGM.
“Ide tulisan berasal dari buku yang tipis itu. Puji Tuhan bisa bikin saya mendapat juara harapan II. Bagi saya cukup membanggakan sebagai mahasiswa Ilmu komunikasi,” tutur Tian.
Datang dari Dalam Diri
Kelihaian Fristian dalam merangkai kata sehingga menjadi esai apik tidak datang tanpa suatu usaha. Membaca buku adalah kunci bagi Fristian dalam menulis.
Hobi membaca ini tidak serta merta muncul begitu saja ke dalam hidup Tian. Ia datang karena ada rasa penasaran yang timbul dalam diri Tian berkaitan dengan eksistensi manusia.
Rasa penasaran tersebut memberi stimulus kepada Tian untuk mulai membaca agar sedikit demi sedikit mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Mengapa budaya membacara harus dipertahankan? Menurut Tian, karena membaca buku melatih otak untuk terus berpikir.
“Saya pernah mencoba tidak membaca buku selama dua minggu dan hanya bermain. Itu memengaruhi saat diskusi di kelas. Saya tidak paham atas apa yang dijelaskan oleh dosen. Ketika rajin baca buku mulai muncul pertanyaan dan lebih mudah mencerna materi,” ungkap Tian.
Menurutnya, budaya membaca bisa ditumbuhkan jika ada motivasi dari dalam diri. Perlu ada kesadaran akan haus informasi sehingga budaya membaca bisa tumbuh dengan sendirinya. (*)
Kontributor: Gabriel Haris Putra Pratama
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Terima kasih Mas Gabriel, berkah dalem dan sehat selalu