Katolikana.com—Kabar sejuk berhembus dari kawasan timur Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, SMAK Santo Fransiskus Xaverius Ruteng di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memilih Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) beragama Islam.
Kendati peserta didik Muslim hanya 2 orang dari total 1.181 peserta didik, Aprilia Inka Prasasti berhasil memenangkan pemilihan Ketua OSIS periode 2022-2023.
Di sekolah yang berdiri pada 17 Juli 1987 ini, dari 1181 siswa, jumlah siswa Muslim 2 orang, 11 orang menganut agama Protestan, 1 beragama Hindu, dan sisanya menganut agama Katolik.
Dilansir dari Floresa.co, Inka unggul atas lima kandidat lain, yang membuatnya berhak meneruskan estafet kepemimpinan dari ketua sebelumnya, Maria F. N. Siba. Ia bersama anggota pengurus dilantik pada Senin, 24 Oktober 2022.
Romo Martin Wiliam, kepala sekolah di sekolah milik Keuskupan Ruteng itu menyebut terpilihnya Inka sebagai ‘sebuah gugatan’ atas praktek yang kerap terjadi saat ini di sejumlah tempat yang ‘mendewakan’ agama dan mengesampingkan ‘rasio’ dalam memilih pemimpin, bahwa segala sesuatu hanya boleh dan bisa atas nama agama.
“Peristiwa ini boleh dimaknai sebagai kritik atas legitimasi berbagai sikap atau tindakan destruktif atas nama agama itu,” katanya.
Ia menjelaskan, sekolah itu pada prinsipnya mendukung penuh siapapun peserta didik yang terpilih, sejauh memenuhi kriteria menjadi Ketua OSIS.
Kriteria itu, jelasnya, adalah terbaik dari utusan kelas yang dipilih oleh warga kelas, menyiapkan dan memaparkan visi misi yang dinilai oleh tim seleksi dan terpilih dalam pemilihan yang melibatkan guru dan siswa.
Dengan terpilihnya Inka dari komunitas minoritas agama di sekolahnya, kata dia, komunitas sekolah itu ‘sudah menunjukan bobot demokrasi yang baik dan benar’.
“Bahwa yang paling penting dan utama dalam kepemimpinan adalah kapabilitas kepemimpinan, yaitu memiliki intelek dan karakter yang baik,” katanya.
Ia juga berharap, karena Inka terpilih melalui proses demokratisasi yang rasional, maka semua warga sekolah mendukung program kerjanya.
Sementara Inka merasa bangga karena bisa terpilih, meski ia adalah Islam. Ia mengatakan, ada tugas di pundaknya yang mesti ia tunaikan.
“Saya berusaha untuk mewujudkan visi dan misi, dengan merangkul seluruh warga sekolah,” kata siswi kelas 11 jurusan MIPA ini.
Sangat Menginpirasi
Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) menyebut terpilihnya Inka ‘sangat menginspirasi di tengah praktik-praktik diskriminasi yang terjadi justru di sekolah-sekolah negeri terhadap peserta didik non-Muslim’.
Pernyataan Tantowi merujuk pada sejumlah praktek intoleransi yang dalam beberapa waktu terakhir terus mengemuka di dalam institusi pendidikan.
Salah satunya, penjegalan kandidat Ketua OSIS yang berasal dari penganut agama minoritas di sekolah, terutama sekolah-sekolah negeri.
Pertengahan Oktober 2022, Wakil Kepala Sekolah di SMA Negeri 52 Jakarta, menjegal murid non-Muslim untuk menjadi Ketua OSIS.
Dalam sebuah rekaman suara, wakil kepala sekolah itu mengatakan, kandidat Ketua OSIS non-Muslim “jangan sampai lolos.”
Kasus serupa juga terjadi di SMAN 58 Jakarta pada Agustus lalu, di mana kandidat Ketua OSIS non-Muslim mengaku sengaja tidak diloloskan karena masalah agama yang diyakininya.
Pada tahun 2020, meski sudah terpilih, seorang siswa non-Muslim di SMA Negeri 6 Depok, Jawa Barat gagal menjadi Ketua OSIS karena ditolak oleh sesama siswa, termasuk oknum guru.
Pentingnya Pembiasaan
Romo Martin mengaitkan terpilihnya Inka dengan upaya sekolahnya yang selama ini secara konsisten melakukan penanaman nilai-nilai toleransi melalui hal-hal sederhana, yang menurut dia sangat penting diterapkan oleh lembaga pendidikan manapun.
Meski Katolik adalah mayoritas, jelasnya, mereka memberi kesempatan kepada peserta didik beragama lain memimpin doa sesuai keyakinan pada setiap Hari Senin dalam sepekan sebelum kegiatan belajar mengajar.
Setiap Jumat, kegiatan belajar mengajar berakhir pukul 12.00 Wita agar memberi kesempatan kepada siswa-siswi Muslim menjalankan ibadah.
“Pada setiap hari besar keagamaan apa saja, siswa dan siswi dari agama yang hari rayanya dirayakan diberi kesempatan mengikuti perayaan keagamaanya,” katanya.
Selain itu, kata dia, siswa dan siswi dibiasakan memberikan donasi sekali sebulan yang disumbangkan ke panti asuhan menjelang perayaan-perayaan besar keagamaan.
Ia berharap hal seperti ini dikembangkan oleh semua lembaga pendidikan, selain tentu saja memupuk dan menumbuhkembangkan ruang ekspresi akademik, seperti kebebasan berpikir, berdialog dan berdiskusi.
Ia menyatakan, pembiasaan hal-hal ini akan bisa menangkal bibit radikalisme dan intoleransi yang masih menjadi masalah laten di Indonesia.
“Kampanye atas hal ini tidak perlu melalui program dan kegiatan atau seminar mentereng, namun melalui hal-hal sederhana, yakni pembiasaan yang konsisten di lembaga pendidikan,” katanya.
Menerima Apa Adanya
Apa yang disampaikan Romo Martin diamini oleh Inka. Ia mengaku merasa nyaman mengenyam pendidikan di sekolah itu, sama halnya dengan yang ia rasakan di jenjang sebelumnya yang juga sekolah Katolik: SD Katolik Mano II di Mano, Manggarai Timur dan SMP Immaculata Ruteng.
“Sikap warga sekolah yang terbuka, membuat saya nyaman dan percaya diri,” katanya, sambil menambahkan bahwa ‘tidak ada perbedaan perlakuan oleh tenaga pendidik’ terhadapnya.
“Mereka menerima apa adanya tanpa melihat latar belakang, tanpa mempermasalahkan agama saya. Hal itu dirasakan bukan hanya pada saat awal masuk saja, namun selama kurang lebih dua tahun mengenyam pendidikan di sini,” tambah Inka.
Selain diizinkan untuk libur pada hari raya keagamaannya, teman-teman dan para guru yang antusias untuk memberikan ucapan juga dirasanya memberinya dukungan.
Inka mengatakan ia mendapatkan pelajaran agama Islam hanya di rumah dan lingkungan sekitar saja, sementara untuk di sekolah, orangtuanya memberikan kesempatan untuk mengenal dan mempelajari agama lain.
“Karena pada intinya semua [agama] sama, sama sama mengajarkan kebaikan hidup,” kata Inka, anak tunggal dari ayah yang berasal dari Lombok, NTB dan ibu dari Malang, Jawa Timur.
Ia juga mengatakan tidak memakai jilbab selama di sekolah, bukan karena dilarang sekolah, tetapi karena pilihannya sendiri.
Ia berharap kemenangannya dalam pemilihan memberi pesan kepada siapapun untuk bersedia “memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua orang untuk menyalurkan bakat, minat, serta kemauan.”
“Semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti yang tersirat di Pancasila sila kelima,” katanya. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.