Katolikana.com—Pada acara penutupan Kelas Pemikiran Gus Dur (KGP) yang berlangsung Rabu (12/4/2023), puteri Gus Dur, Alissa Wahid, bercerita mengenai upayanya untuk menggali, menemukan, dan melestarikan nilai-nilai kepemimpinan yang ada dalam diri Gus Dur.
Perjalanannya untuk memahami Gus Dur dimulai dengan inisiatif untuk mengumpulkan para sahabat khususnya teman seperjuangan Gus Dur. Durasinya cukup panjang yakni hampir satu tahun.
Setelah melewati berbagai tahapan akhirnya kita menemukan bahwa ada Gus Dur itu mengukur kehidupannya dan apa yang ingin ia lakukan berdasarkan sembilan nilai utama.
Beberapa kejadian seperti aksi goyang “ngebor” Inul yang sempat menuai pro dan kontra. Ada yang memuji, ada pula yang menghujat habis-habisan.
Bahkan Rhoma Irama, termasuk salah satu tokoh yang menghujat, dan menyerukan kepada televisi untuk memboikot Inul.
Bukan hanya Rhoma, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut mendesak stasiun televisi untuk mencekal Inul.
Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu berkomentar, “Kalau goyang biasa yang berpengaruh (syahwat) saja haram, apalagi goyang semacam itu. Bukan hanya haram, tapi juga berbahaya.”
Menurut Gus Dur, apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama dan MUI adalah pengekangan terhadap kebebasan ekspresi dan diskriminasi.
Tindakan ini berbahaya dalam kehidupan berdemokrasi. Misi pembelaan Gus Dur terhadap Inul adalah kemanusiaan yang bersumber dari katauhidan atau spiritualitasnya.
Bagi Gus Dur, Islam sebagai rahmat untuk semesta oleh karena itu apapun yang beliau lakukan selalu dalam dimensi mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk semesta.
Demikian juga ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah pada 1980 yang kemudian diperkuat dengan fatwa pada 2005, yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan, dan sudah keluar dari Islam.
Gelombang protes dan fatwa MUI juga menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan meskipun gerakan itu sahih sebagai organisasi.
Basis-basis Ahmadiyah marak menjadi sasaran, termasuk rumah pribadi, tempat ibadah dan bahkan banyak pula orang-orang ahmadiyah yang mendapat serangan fisik. Imbas dari fatwa MUI dituding memicu ‘kekerasan’ atas nama agama.
Menurut Gus Dur MUI tidak sepantasnya melakukan hal tersebut, karena Ahmadiyah memiliki hak untuk berkeyakinan dan kepercayaan.
Sembilan Keutamaan Gus Dur
1. Ketauhidan
Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-satunya Dzat hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang disebut dengan berbagai nama.
Ketauhidan didapatkan lebih dari sekadar diucapkan dan dihafalkan, tetapi juga disaksikan dan disingkapkan.
Ketauhidan menghujamkan kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya.
Pandangan ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama.
Ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
2. Kemanusiaan
Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi.
Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati.
Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.
3. Keadilan
Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat.
Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil, merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggungjawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
4. Kesetaraan
Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan.
Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat.
Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk di dalamnya adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.
5. Pembebasan
Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu.
Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.
6. Kesederhanaan
Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut.
Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri.
Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.
7. Persaudaraan
Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.
8. Kekesatriaan
Kekesatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih.
Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi: penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah.
Kesatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.
9. Kearifan Tradisi
Kearifan tradisi bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan tradisi Indonesia di antaranya berwujud pada dasar negara Pancasila, Konstitusi UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika, serta seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab.
Gus Dur menggerakkan kearifan tradisi dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban. (*)
Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.