#TanyaRomo: Hamil di Luar Nikah, Ingin Menikah tapi Beda Agama

Ada kendala di mana mereka berbeda agama.

Katolikana.com — Nama saya Irvan. Saya ingin bertanya seputar perkawinan dalam Katolik. Saya memiliki teman yang pacarnya hamil di luar nikah. Setelah dibicarakan perkara ini oleh kedua belah pihak, keluarga memutuskun untuk menikahkan mereka karena memang keduanya ada rasa sama suka.

Ada kendala di mana mereka berbeda agama, yang pria beragama Katolik dan pacarnya beragama Islam. Tetapi si wanita bersedia mengikuti keyakinan teman saya. Dengan kata lain ingin masuk agama Katolik dan keluarga juga setuju.

Masalahnya, karena berbeda keyakinan dan hamil di luar nikah mereka bingung bagaimana cara mengurus terkait regulasi dan tahapan untuk menikah.

Pertanyaan saya:

  1. Bagaimana Gereja Katolik menyikapi kehamilan di luar nikah?
  2. Ketika ingin menikah, jika salah satu pihak bukan Katolik, lantas bagaimana?
  3. Apakah bisa langsung menikah menggunakan prosesi perkawinan campur, atau si wanita harus masuk Katolik dulu baru menikah?

Irvan

 

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Halo, Irvan. Terima kasih pertanyaan Anda. Dari kisah Anda ini, ada tiga “kunci kasus”: (a) hamil di luar nikah; (b) memutuskan akan nikah; dan (c) nikah beda agama.

Pertama, hamil di luar nikah. Bagaimana tanggapan Gereja? Tentu, melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan dosa; tindakan yang bertentangan dengan moral.

Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV), arti. 23 menyesali pudarnya rasa hormat terhadap sakralitas seksualitas. Menurutnya, dewasa ini ada banyak orang yang melakukan hubungan seksual dengan semaunya, bertentangan dengan moral Kristiani dan semata-mata untuk memuaskan keinginan-keinginan serta naluri-naluri pribadi; bahkan hanya didorong oleh cinta diri.

Anak-anak muda jangan pernah jatuh dalam seks pra-nikah. Jangan asal menuruti dorongan nafsu (bdk. 1 Petrus 1:14-16; 2 Tim 2:22). Lebih banyak akibat negatifnya daripada positifnya. Ditanggung seumur hidup pula!

Hanya saja begini: kalau kita berhadapan dengan teman-teman kita yang mengalami permasalahan semacam ini, kita berusaha menguatkan mereka. Perasaan mereka tentu campur aduk. Ada yang malu. Ada yang bingung harus bagaimana.

Kita dukung mereka untuk tidak menggugurkan bayi dalam kandungan. Jangan dosa ditutup dengan dosa lain. Jangan kesalahan ditutup dengan kesalahan lain. Hamil di luar nikah itu merupakan perbuatan yang salah. Maka, jangan ditutup lagi dengan perbuatan salah lain, seperti aborsi!

Kedua, memutuskan akan menikah. Dalam kisah ini, mereka menikah karena ada rasa suka sama suka. Apakah ini benar? Apakah bukan karena sudah hamil? Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1101 §1 ditegaskan agar apa yang ada di dalam batin, sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam kata-kata.

Jangan sampai menyatakan “mau menikah”, tetapi dalam hati tidak demikian. Ini pura-pura menikah; dan jika ‘tidak mau menikah’, maka ia melakukan “simulatio totalis” atau menolak perkawinan itu sendiri atau pura-pura menikah (bdk. Kanon 1101§2). Jika seseorang sebenarnya “menolak menikah”, namun karena sudah hamil di luar nikah, dia pura-pura menikah agar ada status bayinya, akibatnya fatal: perkawinan itu tidak sah!

Baik jika mereka berdua berkonsultasi kepada Romo Paroki. Sebab, Romo Paroki akan membantu keduanya untuk menyelidiki apakah keduanya memiliki motivasi yang benar, sungguh-sungguh dan penuh untuk menikah.

Akan tetapi, saya usul begini: jika salah satu (atau keduanya) belum siap menikah, lebih baik jangan buru-buru menikah. Perlu waktu kesiapan dan kemantapan komitmen menikah. Kalau memilih usul ini, berarti bayi ditunggu sampai dilahirkan, lalu dijaga dengan baik dan penuh cinta.

Namun, jika ada keduanya sudah siap dan mantap menikah, maka baik jika segera menghubungi Romo Paroki agar calon istri ini bersama calon suaminya didampingi dengan sungguh-sungguh dan dalam waktu yang memadai.

Ketiga, nikah beda agama. Dalam kisah ini, laki-laki beragama Katolik. Sementara perempuan beragama Islam (non-baptis). Jika mereka menikah, maka mereka akan menikah beda agama. Ada rencana bahwa perempuan ini mau mengikuti agama calon suaminya.

Kita tahu bahwa orang dewasa yang mau dibaptis Katolik wajib MENGIKUTI MASA KATEKUMENAT (masa pembelajaran) selama satu tahun. Apakah dia sempat dibaptis sebelum menikah? Saya usul begini: jika perempuan ini mau menjadi Katolik, maka ia ikut Katekumenat dulu. Di sela-sela ikut Katekumenat itu, dia juga mempersiapkan diri untuk menikah.

Tentu, dalam ajaran Katolik, “perbedaan agama” merupakan “halangan perkawinan yang sah” (Kanon 1086). Maka, agar dapat menikah dengan sah, keduanya mesti mendapatkan “dispensasi” dari salah seorang otoritas Gereja ini, yakni: dari uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial.

Namun, dispensasi atas nikah beda agama, tidaklah sembarangan diberikan. Ada syaratnya, sesuai Kanon 1125, yakni pihak Katolik harus menyatakan janji di hadapan Allah melalui kehadiran Romo dan umat yang berhimpun.

Janji-janji itu, yakni: pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik.

Kedua, berjanji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk membaptiskan anak-anak yang akan lahir secara Katolik. Ketiga, ia berjanji dengan sekuat tenaga bahwa akan mendidik semua anak dalam Gereja Katolik.

Dalam kanon 1125 itu pula ditegaskan bahwa janji-janji pihak Katolik hendaknya diberitahukan kepada pihak yang bukan Katolik. Mengapa? Alasannya sederhana: agar sebelum menikah, keduanya sudah menyepakati janji-janji pihak Katolik ini.

Setelah menikah, mereka berdua tidak ribut lagi soal pembaptisan dan pendidikan anak dalam Gereja Katolik. Umumnya, jika non-baptis ini sudah menjadi katekumen (calon baptis Katolik), maka ia pasti mendukung janji pihak Katolik ini. Tidak ada masalah, toh dia akan menjadi Katolik.

Selain itu, calon pasutri ini diajari mengenai tujuan perkawinan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh calon pasangan. Calon pasutri ini bisa didampingi secara personal oleh Romo (karena calon istri sudah hamil), atau bisa juga melalui kursus persiapan perkawinan.

Demikian jawaban saya atas pertanyaan ini.

Semoga dapat membantu. Tuhan memberkati.

Bandung, 22 April 2023 (*)

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah Pengajar Hukum Gereja di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar); Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).

 

Anda punya pertanyaan pribadi untuk ditanyakan kepada Romo? Kirimkan pertanyaan Anda melalui e-mail redaksi@katolikana.com dengan subjek “Tanya Romo”.

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.

Menikah Beda AgamaSeks pra-nikahTanya Romo
Comments (1)
Add Comment
  • Reni

    Apakah dalam kasus pernikahan karena hamil di luar nikah bisa dilakukan Romo bila belum melakukan Krisma