#TanyaRomo: Calon Suami Mau Dibaptis, Bagaimana Pemeriksaan Kanonik dan Perayaan Misa Perkawinan?

Pemeriksaan kanonik dilakukan dengan cara wawancara kepada calon pasutri secara bergantian.

Katolikana.com — Romo, saya perempuan beragama Katolik. Pasangan saya non-Katolik. Kami akan menikah tahun depan, tepatnya satu bulan setelah dia dibaptis. Kebetulan, pasangan saya bersedia untuk ikut katekumen tahun ini.  Sambil dia ikut katekumen, kami membereskan persiapan untuk pernikahan.

Pertanyaan:

  1. Pada saat penyelidikan Kanonik apakah akan dilangsungkan dengan cara perkawinan campuran?
  2. Apakah calon suami harus memilih dua saksi yang harus beragama Katolik?
  3. Apakah pada saat pernikahan nanti dapat dilangsungkan dengan perayaan Misa (Ekaristi)?

Putri

 

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Saudari Putri yang baik terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan. Semoga rencana dan persiapan perkawinan Anda berjalan lancar. Hal yang patut disyukuri adalah bahwa calon suami Anda akan dibaptis Katolik. Dukung dan semangati dia agar mengikuti katekumenat (proses pembelajaran dan persiapan menjadi Katolik) dengan sungguh-sungguh.

Dari kisah Anda ini, saya menangkap tiga pertanyaan. Pertama, apakah pada saat Kanonik akan dilangsungkan dengan perkawinan campuran? Mungkin maksudnya: apakah pada saat Anda dan calon suami mengikuti Pemeriksaan Kanonik di mana calon suami masih belum menerima baptis, perkawinan kalian akan dilangsungkan secara beda agama? Kedua, apakah calon suami harus memilih 2 saksi yang harus beragama Katolik? Ketiga, apakah pada saat pernikahan nanti dapat dilangsungkan dengan perayaan Misa (Ekaristi)?

Saya mencoba menjawab ketiga poin ini satu persatu.

 

1. Pemeriksaan Kanonik

Pada bagian ini saya memiliki beberapa jawaban. Pertama, perlu memahami dengan baik apa yang mesti dilakukan dalam “pemeriksaan kanonik” atau “penyelidikan kanonik”. Pemeriksaan kanonik dilakukan dengan cara wawancara kepada calon pasutri secara bergantian.

Pada kesempatan itu, pastor mengajukan berbagai pertanyaan kepada calon pasutri. Inti dari berbagai pertanyaan ini sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa:

  1. informasi data pribadi yang diperlukan dari calon pasutri adalah lengkap dan valid;
  2. tidak ada satu hal pun yang menghalangi perayaan perkawinan yang sah (ad validitatem) dan pantas (ad liceitatem);
  3. calon pasangan sungguh mengerti tujuan perkawinan Katolik dan berkomitmen melaksanakannya;
  4. calon pasangan mengetahui dan mau melaksanakan hal-hal fundamental yang tidak boleh dikecualikan dalam perkawinan dan untuk membangun keluarga (bdk. KHK kanon 1066-1067).

Pemeriksaan kanonik itu sangat penting. Sebab, ia menjadi bagian dalam proses persiapan perkawinan sehingga calon pasutri berkomitmen membangun keluarga dengan setia sampai mati! Calon pasutri membutuhkan kesiapan intelektual, moral, spiritual untuk melangsungkan sakramen perkawinan dengan hati tulus dan bebas di hadapan Allah dan Gereja yang kudus.

Itu sebabnya, pada 22 Januari 2011, Paus Benediktus XVI pernah mengatakan kepada para pejabat dan advokat Tribunal Rota Romana, di Vatikan, agar penyelidikan kanonik itu tidak sebatas tahapan birokratis (AAS 103, 2011: 111). Penyelidikan kanonik harus dilakukan dengan baik, benar dan bijak serta dalam waktu yang memadai.

Dari paparan di atas terbaca jelas bahwa “pemeriksaan kanonik” bukanlah saat perkawinan dilangsungkan. Pemeriksaan kanonik dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Memang ada satu istilah yuridis tentang perkawinan Katolik. Dalam kanon 1108, ‘bentuk perayaan perkawinan Katolik’ disebut dengan istilah “forma canonica”.

Arti sederhananya adalah ‘bentuk perayaan perkawinan sesuai Hukum Gereja Katolik. Kendati tidak tepat, kadang-kadang bentuk perkawinan ini disebut juga “Perkawinan Kanonik”. Mungkin istilah terakhir ini yang pernah didengar oleh Saudari Putri sehingga muncul dalam kisah ini.

Kedua, perkawinan yang akan dilangsungkan bukan beda agama dan bukan pula perkawinan campur. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, perkawinan antara seorang yang dibaptis dengan seorang non-baptis disebut perkawinan beda agama (disparitas cultus). Sementara perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang dibaptis Protestan disebut perkawinan beda Gereja (mixta religio).

Dari kisah ini, Putri dan calon suami akan melangsungkan perkawinan tahun depan setelah calon suami menerima baptis dalam Gereja Katolik. Artinya, perkawinan yang akan Anda langsungkan bukan perkawinan beda agama lagi (bukan antara seorang Katolik dengan seorang non-Katolik). Sebab, pada saat Anda menikah, calon suami Anda sudah dibaptis.

Dalam ajaran Gereja Katolik, perkawinan yang terjadi di antara mereka yang sudah dibaptis merupakan sakramen. Hanya kematian yang memisahkan pasangan suami-istri. Oleh karena itu, silakan Putri bersama calon suami mempersiapkan perkawinan dengan matang dan memadai.

Ketiga, jika seorang Katolik menikah dengan seorang katekumen. Lain halnya jika Putri (Katolik) melangsungkan perkawinan dengan calon suami yang masih katekumen dan belum dibaptis. Di sini, perkawinan tetap dilangsungkan secara beda agama.

Mengapa? Alasannya sederhana. Sakramen Baptis adalah pintu bagi sakramen-sakramen lain. Baptis diperlukan untuk keselamatan jiwa-jiwa (bdk. Kanon 849). Bagi Katolik, perkawinan antara yang sudah dibaptis merupakan sakramen. Artinya, jika salah satu dari calon pasutri belum dibaptis, maka perkawinan itu bukanlah sakramen.

Dengan kata lain, perkawinan beda agama bukanlah perkawinan sakramental. Namun, jika perkawinan beda agama ini dilangsungkan secara sah dalam Gereja Katolik, dan ketika pasangan yang belum baptis akhirnya menerima baptisan, maka perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah diangkat oleh Yesus Kristus ke dalam martabat sakramen (bdk. Kanon 1055-1056).

Jika calon suami Anda belum dibaptis, berarti Anda menikah beda agama dengannya. Ada syarat-syarat yang yang harus dipenuhi ketika melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu:

  1. Calon pasangan meminta dispensasi nikah beda agama kepada salah satu pejabat Gereja Katolik: Bapak Uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial. Permohonan dispensasi ini diajukan melalui pastor paroki atau pastor vikaris paroki.
  2. Dispensasi nikah beda agama akan diberikan jika pihak katolik mau memenuhi syarat-syarat yang diminta sesuai Kanon 1125: (1) pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik; (2) berjanji dengan jujur bahwa sekuat tenaga akan membaptiskan anak-anak secara Katolik; (3) berjanji dengan jujur bahwa sekuat tenaga akan mendidik anak-anak dalam ajaran Katolik.

Umumnya, mereka yang sudah katekumen tidak memiliki kesulitan untuk memahami janji-janji pihak Katolik ini. Dia pun tidak akan keberatan!

 

2. Saksi Pernikahan

Apakah saksi perkawinan harus Katolik? Apakah dua orang saksi itu harus dipilih oleh calon suami? Dalam Kanon 1108 hanya disebutkan bahwa dua orang saksi perkawinan itu merupakan syarat yang yang harus ada. Jika kurang dua orang, maka bentuk perayaan perkawinan menjadi cacat. Akibatnya sangat fatal: perkawinan yang telah dilangsungkan menjadi tidak sah.

Dalam kanon itu tidak disebutkan bahwa dua orang saksi perkawinan harus beragama Katolik. Kendati demikian, sangat baik jika calon pasangan memilih “dua saksi perkawinan” dari antara umat yang beragama Katolik dan bisa menjadi teladan dalam hidup perkawinan. Tentu ini bukan keharusan. Hanya pertimbangan pastoral. Tugas dua saksi perkawinan adalah menyaksikan bahwa kedua mempelai melangsungkan perkawinan secara sah dalam Gereja Katolik. Nama kedua saksi ini akan ditulis dalam Surat Penyelidikan Kanonik dan juga dalam Surat Perkawinan (Testimonium Matrimonii).

Saksi perkawinan itu bisa dua-duanya dipilih oleh calon suami atau sebaliknya oleh calon istri. Bisa juga satu orang dan calon suami dan satu orang dari calon istri. Tetapi, tidak ada keharusan bahwa calon suamilah yang bertanggungjawab memilih dua saksi itu. Tidak demikian!  Dalam konteks tertentu, pastor dapat juga memilih saksi perkawinan bagi kedua mempelai.

Siapakah yang bisa menjadi saksi perkawinan? Siapapun yang sudah mampu menggunakan akal budi, dapat menjadi saksi perkawinan. Bahkan bisa juga dari anggota keluarga mempelai itu sendiri. Secara pastoral, sangat baik jika saksi ini telah dipilih jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan perkawinan. Ini juga pertanda bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan memang sungguh dipersiapkan dengan baik.

Dalam beberapa kasus, ada saksi perkawinan yang ditunjuk mendadak. Bahkan hanya sesaat sebelum pelaksanaan perkawinan. Tindakan ini menjadi salah satu indikasi bahwa perkawinan itu kurang dipersiapkan dengan baik. Umat Katolik jangan meniru tindakan seperti ini.

 

3. Perayaan Perkawinan dalam Ekaristi

Dalam perayaan perkawinan antara mempelai yang dua-duanya Katolik sangat memungkinkan untuk melangsungkannya dengan perayaan Ekaristi (Misa). Namun, perayaan perkawinan itu juga bisa dilangsungkan dalam perayaan Sabda saja, tanpa Ekaristi. Dari paparan ini kita sudah tangkap maksudnya bahwa dalam perayaan perkawinan tidak diharuskan dilangsungkan dalam perayaan Ekaristi.

Perayaan perkawinan dalam Ekaristi harus mengindahkan ritus liturgi Ekaristi sehingga terungkap penghormatan yang agung terhadap Ekaristi Mahakudus sebagai sumber dan puncak kehidupan umat Kristiani.

Dalam Ketentuan Pastoral Keuskupan Regio Jawa, pasal 121, no. 2 dikatakan bahwa: “Perayaan perkawinan dapat dilaksanakan dengan memasukkan kebiasaan setempat yang sesuai dengan semangat Kristiani, menurut ketentuan para Uskup yang telah diperiksa oleh Tahta Suci”.

Untuk melaksanakan ini, maka pastor akan memberitahukan yang mana kebiasaan-kebiaaaan setempat yang boleh dan tidak boleh dimasukkan dalam perayaan perkawinan.

Demikian jawaban saya atas pertanyaan ini. Kami mendoakan Putri dan calon suami kiranya diberi kesehatan yang prima oleh Tuhan. Kami percaya bahwa Putri bersama suami mempersiapkan perkawinan dengan sebaik-baiknya dan dalam waktu yang memadai.

Tuhan memberkati.

Bandung, 6 Mei 2023 (*)

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah Pengajar Hukum Gereja di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar); Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.

Hukum KanonikPemeriksaan KanonikTanya Romo
Comments (0)
Add Comment