Umat Keuskupan Tanjung Selor Bersukacita Atas Tahbisan Diakonat Fr. Benidiktus Paulus

Fr. Benidiktus Paulus: Ibarat obat nyamuk bakar yang muter-muter, itulah gambaran perjalanan saya.

Katolikana.com—Umat Katolik Keuskupan Tanjung Selor bersukacita atas tahbisan diakonat Fr. Benidiktus Paulus, di Stasi Santa Maria Ratu Rosari, Pulau Bunyu, Paroki Santo Yosep Pekerja, Juata, Kalimantan Utara, Kamis (1/6/2023).

Tahbisan ini diberikan secara langsung oleh Uskup Keuskupan Tanjung Selor (KTS) Mgr. Dr. Paulinus Yan Olla, MSF.

Misa Tahbisan Diakon dimulai pukul 16:30 WITA. Prosesi Liturgi Tahbisan berlangsung seperti pada umumnya, dengan urutan:

  1. Pemanggilan Calon Diakon
  2. Penyerahan Calon Diakon
  3. Penerimaan Calon Diakon
  4. Homili Bapa Uskup
  5. Pengucapan Janji Calon Diakon
  6. Pengucapan Janji Setia
  7. Litani
  8. Penumpangan Tangan oleh Bapa Uskup
  9. Doa Tahbisan
  10. Pengenaan Stola dan Dalmatik
  11. Penyerahan Evangeliarium

Dalam homili, Bapa Uskup berpesan bahwa upacara ini bukanlah ajang kebanggaan atas sebuah pencapaian pribadi seorang calaon imam.

Lebih dari itu, kata Uskup, ini merupakan momentum perayaan atas kerendahan hati dalam menerima tugas perutusan.

Diakon Benediktus Paulus menerima berkat salib dari orang tua. Foto: Agustinus Fian

Rendah Hati dan Taat

“Arti kata diakonat dalam Bahasa Latin adalah pembantu. Pada zaman para rasul, sebutan ini disematkan kepada mereka yang membantu para rasul dalam karya karitatif. Sementara para rasul fokus pada karya kerasulan dan pengabaran Injil,” ungkap Bapa Uskup.

Menurut Bapa Uskup, salah satu tantangan para imam dan calon imam dalam karya kerasulan modern saat ini adalah kurangnya sikap rendah hati dan taat pada perutusan.

“Banyak imam dan calon imam yang egois dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku, sehingga sikap taat akan perutusan menjadi berkurang. Ini adalah realitas dunia modern saat ini,” imbuhnya.

Prosesi tahbisan diakon Benidiktus Paulus. Foto: Agustinus Fian

Inspirasi dari Bapak

Setelah misa, diadakan acara resepsi syukur di bawah tenda di halaman belakang gereja stasi.

Diakon Benidiktus Paulus menceritakan tentang liku-liku perjalanan panggilannya mulai dari seminari menengah hingga ditahbiskan sebagai diakon.

Bermula dari kekaguman melihat sang ayah yang juga salah satu tokoh perintis umat Katolik di Paroki Santo Petrus, Mara Satu, Sungai Kayan, Kalimantan Utara, dia tertarik menjadi seorang imam.

“Kesederhanaan Bapak dalam pelayanan menggereja menjadi kekaguman tersendiri dalam diri saya. Walaupun Bapak hanya seorang koster, tapi ketulusan dalam memberi diri pada gereja itulah yang tertanam dalam pikiran saya untuk menjadi seorang imam,” katanya.

Diakon Benidiktus Paulus dan Uskup KTS Mgr. Dr. Paulinus Yan Olla MSF.,Foto: Agustinus Fian

Ibarat Obat Nyamuk

Singkat cerita, ia pun memutuskan untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang imam.

Namun, tak semua berjalan lancar. Berbagai macam pergumulan dan jatuh bangun dalam menjalani panggilan sempat membuatnya putus asa dan hampir menyerah.

Sampai ia bertemu dan berkonsultasi dengan Bapa Uskup KTS, menjadi titik balik perjalanan panggilannya dan makin meneguhkan hati dan pikirannya dalam meneruskan panggilan ini.

“Perjalanan panggilan saya itu ruwet, rumit, tidak mulus. Ibarat obat nyamuk bakar yang muter-muter, seperti itulah gambaran perjalanan saya. Hingga akhirnya saya dapat peneguhan secara pribadi dari Mgr. Yan Olla,” ujar Diakon Benidiktus Paulus.

Dari sinilah dia mengambil motto panggilan: “Dalam kesesakan, aku telah berseru kepada Tuhan. Tuhan menjawab aku dengan memberikan kelegaan.” (Mzm. 118:5).

Resepsi dan ramah tamah ini menjadi satu rangkaian dengan perayaan syukur atas Lustrum I tahbisan episkopal Mgr. Dr. Paulinus Yan Olla, MSF. (*)

Komsos Keuskupan Tanjung Selor

Keuskupan Tanjung SelorTahbisan Diakon
Comments (0)
Add Comment