Katolikana.com—Penutupan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Piyungan selama 45 hari (22/7/2023 hingga 5/9/2023) membuat gelisah warga Jogja.
Bukan tak mungkin, bila TPA Piyungan ditutup akan memunculkan perilaku masyarakat dengan membuang sampah di sepanjang jalan atau di Selokan Mataram.
Hal ini pernah terjadi saat TPA Piyungan ditutup beberapa waktu lalu karena dilakukan penataan tumpukan sampah.
Dampaknya, pemandangan tak sedap terlihat di sepanjang jalan dan pinggiran Selokan Mataram akibat banyaknya tumpukan sampah dari warga.
Selain pemandangan yang tak sedap, timbul pula masalah kesehatan karena sampah yang tidak dikelola dengan baik menjadi inang berkembangnya kuman penyakit.
Menjawab kegelisahan itu, Pemuda Katolik DIY bersama warga masyarakat RT 01 RW 53 Padukuhan Sambilegi Lor, Kelurahan Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta berupaya mencari solusi untuk mengatasi kegelisahan tersebut melalui gerakan Bersahabat dengan Sampah, Memilih dan Memilah (BSMM).
Cara kerja gerakan ini sangat sederhana, yakni membiasakan memilih barang-barang konsumsi yang minim potensi sampah, seperti mengurangi produk dalam sachet, membungkus makanan/minuman dengan wadah, serta belanja tanpa kresek.
Sebelum dibuang, sampah rumah tangga dipilah terlebih dahulu menurut jenisnya.
“Meski mudah, faktanya banyak rumah tangga kurang peduli. Mereka umumnya langsung membuang sampah dan memasrahkan ke petugas pengambil sampah,” ungkap Yohanes Gandung Widiyantoro, Ketua Pemuda Katolik DIY sekaligus penggagas Gerakan BSMM.
Untuk memberi pemahaman kepada warga, Gandung bersama sejumlah warga merumuskan cara menanggulangi sampah untuk kepentingan dan kebaikan bersama warga di wilayahnya.
Konsep sederhana yang dicetuskan Gandung dan tim adalah mengajak masyarakat terlibat langsung dalam memilih dan memilah sampah an-organik (plastik, kertas, beling) dan sampah organik (sampah dapur).
Sampah an-organik dikirim ke pengepul (pengusaha rongsok), sedangkan sampah organik sisa dapur dimasukkan dalam drum-drum plastik untuk diolah menjadi pupuk kompos dengan proses fermentasi.
Proses fermentasi dilakukan dengan cara mencampur sampah dengan cairan yang mengandung bakteri dan ragi, ditambah dengan molase sebagai aktifator bakteri.
Menurut Gandung, gagasan berupa Gerakan BSMM ini tentu tidak akan sampai ke masyarakat jika tidak diperkenalkan ke masyarakat.
Sebelumnya, Gandung bersama tim kecil mengajak rembuk bersama ketua RT, ketua RW dan ketua Padukuhan.
Setelah disepakati, dilanjutkan sosialisasi dengan mengundang masyarakat terutama ibu-ibu pengurus Dasa Wisma untuk melakukan simulasi dan praktik pengolahan sampah organik (sampah dapur) diproses menjadi pupuk kompos, dan pupuk organik cair.
Simulasi dan praktik dilakukan di balai RT setempat. Saat pelaksanaan simulasi dan praktik pengolahan sampah, tim mengundang komunitas pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan positif untuk Gerakan BSMM.
Saat simulasi dan praktik pengolahan sampah organik berlangsung, masyarakat cukup antusias. Banyak pertanyaan muncul sehingga menjadi diskusi menarik.
Langkah selanjutnya, melalui dukungan ketua RT setempat dibagikan bantuan peralatan dan bahan pembuatan pupuk kompos dan pupuk cair kepada masyarakat.
Tujuannya, agar masyarakat penerima bantuan segera melakukan aksi pembuatan kompos dan menjadi ‘pemantik’ atau contoh bagi masyarakat untuk menjadi ‘sahabat sampah organik’.
“Kami berharap gerakan yang dimulai dari satu RT ini bisa meluas ke sekitar Padukuhan Sambilegi Lor. Kompos hasil pengolahan bisa diaplikasikan untuk perawatan tanaman melalui tangan ibu-ibu Dasawisma,” pungkas Gandung.
Kontributor: Wempi Gunarto
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.