Oleh RD. Gregorius Nyaming
Katolikana.com—Akhir-akhir ini, ungkapan ‘produk Katolik gak pernah gagal’ tampaknya sedang jadi tren. Tak berhenti di situ saja, masih ada sambungan lagi sebagai bentuk penegasan: ‘kalau gagal ya ndak mungkinlah’.
Beberapa kaum berjubah yang aktif di media sosial juga tidak ketinggalan turut serta menggunakan ungkapan tersebut.
Kita tidak tahu dengan pasti apa motif di balik lahirnya kata-kata itu. Kalau pun kita ingin menafsirkannya, buku Aku Klik Maka Aku Ada karya F. Budi Hardiman barangkali bisa menjadi sumber rujukannya.
Sekarang kita memang sedang hidup, bergerak dan ada di zaman revolusi digital. Sebuah zaman di mana kita, seperti dikatakan dalam buku itu, mengalami peralihan dari homo sapiens ke homo digitalis.
Untuk bereksistensi, seorang homo digitalis melakukannya dengan uploading, chatting, posting dan tentu saja selfie. Lewat tindakannya itu, ia berbagi atau pamer untuk kebutuhan akan pengakuan (2021:40).
Bukan kebutuhan akan pengakuan itu yang akan menjadi objek utama tulisan ini. Saya ingin meletakkan kata-kata itu dalam konteks hidup kita sebagai orang Kristiani, yang bagaimanapun status dan corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih” (Lumen Gentium, 40).
Menurut hemat saya, di dalam kata-kata itu ada tendensi di mana orang menyombongkan diri sebab dengan benderang menyatakan dirinya tidak tidak pernah dan tidak mungkin gagal.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa kesombongan adalah salah satu dari tujuh dosa pokok. Oleh karena itu, sungguhkah kata-kata itu menjadi ekspresi yang tepat dan mendukung atau justru malah menjadi penghalang bagi kita dalam mencapai apa yang Yesus perintahkan: “Hendaklah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna (Mat 5:47)?
Kisah Kegagalan dalam Perjanjian Lama
Adam dan Hawa ditempatkan oleh TUHAN Allah di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Kepada mereka diberikan perintah: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej 2:16).
Namun apa yang terjadi? Termakan oleh godaan ular, Hawa mengambil buah dari pohon itu dan memakannya. Buah itu kemudian ia berikan juga kepada Adam, suaminya, dan ia pun memakannya (lih. Kej 3:6).
Bangsa Israel menderita perbudakan di tanah Mesir. TUHAN Allah kemudian mengutus Musa untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Berkat penyertaan TUHAN, Musa berhasil memimpin bangsa Israel menyeberangi Laut Teberau.
Mengalami penyertaan TUHAN Allah yang begitu luar bisa, bangsa Israel menjadi takut akan TUHAN dan mereka percaya kepada-Nya (Kel 14:31).
Akan tetapi, rasa takut dan kepercayaan mereka tidak bertahan lama ketika dihadapkan pada kesulitan hidup selama berada di padang gurun.
Melihat bahwa air yang ada di padang gurun Mara rasanya pahit, mereka bersungut-bersungut kepada Musa: “Apakah yang akan kami minum?” (Kel 15:24).
Demikian juga ketika tidak ada roti untuk dimakan, mereka kembali bersungut-sungut: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan”. (Kel 16: 3).
Dan yang paling menyedihkan ialah ketika bangsa Israel, sementara Musa naik ke gunung Sinai menghadap TUHAN, membuat lembu tuangan dan kepadanya mereka sujud menyembah dan mempersembahkan korban, sambil berkata: “Hai Israel, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!” (Kel 32:4).
Kisah Kegagalan dalam Perjanjian Baru
Bila kita bergeser ke Perjanjian Baru, kisah tentang kegagalan itu masih tetap kita jumpai.
Dan, kedua belas murid barangkali adalah tokoh utamanya. Mereka dipilih dan dipanggil oleh Yesus sendiri. Kepada mereka Yesus memberi kuasa untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan (Mat 10:1); untuk menyertai Dia dan untuk memberitakan Injil dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan (Mrk 3:14-15).
Penginjil Lukas mencatat kalau Yesus berdoa semalam-malaman kepada Allah sebelum memilih dua belas orang yang akan menyertai Diri-Nya (Luk 6: 12).
Betapa mulianya tugas yang diemban oleh para rasul. Mereka sudah sepatutnya berbahagia kerena telah dipilih oleh Tuhan sendiri untuk menyertai-Nya.
Kepada mereka diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga (Lih. Mat 13:11). Karena itulah Yesus berkata: “Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan matamu karena mendengar… Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ngin mendengar apa yang kamu dengar, tapi tidak mendengarnya” (Mat 13:16-17).
Namun apa yang kita lihat dalam perjalanan mereka menyertai Tuhan? Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Salah seorang dari mereka mengkhianati-Nya dengan tiga puluh uang keping perak. Dan kegagalan mereka memuncak ketika Yesus ditangkap dan disalibkan. Mereka semua pergi meninggalkan-Nya, kecuali murid yang dikasihi-Nya yang tetap setia berdiri dekat salib bersama Ibu-Nya.
Allah itu Penyayang dan Pengasih
Kisah-kisah kegagalan yang kita jumpai dalam Alkitab memang seakan mau menunjukkan kalau upaya manusia untuk setia dan percaya kepada Tuhan; untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, kerap tidak berjalan dengan mulus. Bahkan bisa dikatakan lebih banyak gagalnya ketimbang berhasilnya.
Namun betapa pun sering manusia jatuh dan gagal, Allah selalu menaruh belas kasihan kepada mereka. Kepada Adam dan Hawa yang sadar bahwa dirinya telanjang setelah memakan buah dari pohon terlarang, TUHAN Allah membuatkan pakaian dari kulit binatang, lalu mengenakannya kepada mereka (Kej 3:21).
Kepada bangsa Israel yang tidak ada air untuk diminum karena rasanya pahit, TUHAN Allah menyuruh Musa melemparkan sepotong kayu ke dalam air. Lalu air itu pun menjadi manis (Kej 15:25). Begitu juga ketika tidak roti untuk dimakan, Dia menyediakannya dengan berlimpah ruah (lih Kej 16:13-35).
Ketika bangsa Israel membuat lembu tuangan untuk disembah, Dia menjadi begitu murka dan hendak membinasakan mereka. Tetapi atas bujukan Musa, Dia menyesal atas malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya (Kej 32:14).
Kepada Petrus yang telah menyangkal-Nya, Tuhan justru memerintahkannya untuk menggembalakan domba-domba-Nya (lih. Yoh 21:15-19).
Kepada para murid yang pergi meninggalkan-Nya saat Ia ditangkap, setelah bangkit dari mati Tuhan menampakkan diri dan dengan penuh kasih menyapa mereka: “Damai sejahtera bagi kamu” (lih Luk 24:36-49; Yoh 20:19-23).
Kepada manusia yang berdosa, Tuhan selalu melimpahkan rahmat kasih dan pengampunan.
Anak yang hilang, ketika kembali pulang diterimanya dengan penuh belas kasih; domba yang hilang dicari-Nya; Ia duduk makan bersama pelacur, pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Sungguh, Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8). Dia kaya dengan rahmat (Ef 2:4). Dia penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia (Mzm 103:8).
Rendah Hati
Demi melihat kisah-kisah kegagalan dalam Alkitab, kita ingin bertanya, sungguhkah produk Katolik ga pernah gagal?
Mungkin iya. Bagi mereka yang merasa diri tidak pernah gagal dalam menjadi orang Katolik yang sejati, jangan pernah lupa bersyukur. Sebab, tidak banyak orang yang bisa sampai pada taraf itu. Selain bersyukur, tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati.
Memiliki kerendahan hati menjadi kuncinya, sebab kata-kata ‘ga pernah gagal’ jika tidak dimaknai dengan hati-hati dan bijaksana bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang sombong dan angkuh.
Merasa diri tidak pernah gagal (sempurna), lalu kita mulai mengagungkan diri sendiri. Mengagung-agungkan kekuatan diri sendiri, lalu merasa Tuhan tidak lagi diperlukan dalam hidup kita.
Karena merasa diri sudah sempurna, kita lalu mulai seperti orang Farisi, yang ketika pergi berdoa ke Bait Allah memandang rendah orang lain dan menyombongkan diri di hadapan Tuhan.
“Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk 18:10-12).
Kita diajak untuk meneladan pemungut cukai yang pergi bersama-sama dengan orang Farisi itu.
Sementara orang Farisi dengan bangganya menyampaikan kepada Tuhan siapa diri dan segala pencapaiannya, si pemungut cukai justru berdiri jauh-jauh, tidak berani menengadah ke langit.
Ia bahkan memukul diri dan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13).
Dengan selalu membuka diri pada rahmat dan belas kasihan Allah, kita yakin bahwa kesempurnaan hidup Kristiani itu dapat kita raih.
Sekian banyak orang kudus dalam Gereja adalah bukti nyata kalau setiap kita menurut karunia dan tugas masing-masing dapat menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rm 6:22).
Namun kita harus tetap ingat bahwa ketidakpernahgagalan (kesempurnaan) itu bukanlah pencapaian yang harus disombongkan. Hal itu bisa kita capai semata-mata berkat bantuan rahmat Allah. Bersyukurlah untuk itu semua, dan jadikanlah pencapaian itu sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan dan sesama dengan lebih giat lagi.
Frasa “dipanggil untuk mencapai” yang terdapat dalam Lumen Gentium 40 hendak mengatakan bahwa kepenuhan hidup Kristiani (kesucian) merupakan sebuah proses yang akan terus kita gumuli.
Kesadaran bahwa kita adalah manusia lemah dan karena itu terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah, patut untuk kita tanamkan dalam diri masing-masing.
Kenosis
Kita memang harus merenungkan kembali apakah ungkapan “Produk Katolik ga pernah gagal” merupakan ekspresi yang selaras dengan upaya kita dalam bergumul menjadi sempurna seperti Bapa di surga yang adalah sempurna?
Apakah sungguh sejalan dengan penghayatan hidup sebagai orang-orang yang dipanggil dan dipilih oleh Allah sendiri? Poin ini menjadi permenungan tersendiri bagi kaum berjubah.
Tuhan yang telah memanggil dan memilih kita rasa-rasanya tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk mengaku diri sebagai orang yang tak pernah gagal. Tidak juga meminta kita untuk menonjolkan diri. Sebaliknya, Dia justru mengajarkan kita untuk mengosongkan diri.
Dalam rangka pengosongan diri inilah kiranya mengapa kedua belas murid ketika kembali dari perutusan mereka dan memberitahukan kepada Yesus semua yang telah mereka kerjakan dan ajarkan, tidak diminta untuk pergi ke pasar mengumumkan hasil pencapaian mereka.
Tetapi sebaliknya mereka diajak oleh Yesus ke tempat yang sunyi supaya mereka sendirian dan bisa beristirahat (lih. Mat 6:31).
Kebutuhan akan pengakuan yang ditawarkan oleh zaman revolusi digital nampaknya akan selalu menggoda kita.
Pilihan ada pada diri kita masing-masing apakah mengikuti tawaran itu atau mengikuti jalan pengosongan diri yang Yesus teladankan kepada kita.
Dia, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:5-8). (*)
RD Gregorius Nyaming, Seorang imam diosesan Keuskupan Sintang. Sedang studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.