Oleh Mawa Kresna, pemilik akun X @mawakresna.
Katolikana.com—Tulisan ini adalah tanggapan untuk Mas Anies Baswedan (@aniesbaswedan) atas jawaban dari pertanyaan Sammy Notaslimboy (@NOTASLIMBOY) di acara Desak Anies.
Mas Anies.. Mas Anies.. saya mau cerita. Tahun 2006, kelompok intoleran ekstremis mengancam akan menyerang sebuah gereja di daerah Prambanan. Kelompok itu meminta bangunan gereja yang baru setengah jadi itu tidak digunakan untuk ibadah Minggu.
Saya sebut itu gereja, karena sejak lama, bangunan setengah jadi itu biasa digunakan untuk ibadah Minggu. Tapi tidak buat kelompok intoleran itu. Buat mereka, bangunan itu adalah bangunan tanpa izin, karena tidak mengantongi izin pembangunan rumah ibadah.
Waktu itu saya diajak seorang senior buat ikut berjaga di sana, ketika massa hendak datang. Beruntung polisi berhasil mencegah massa datang, tapi caranya harus menghentikan ibadah gereja!
Pada tahun yang sama, kelompok intoleran lain juga mengancam menutup sebuah gereja di Jalan Magelang. Saya juga ikut berjaga di sana, karena ormas mengancam membubarkan paksa ibadah. Saya ingat sejumlah mahasiswa Papua juga ikut berjaga di depan pagar gereja.
Akar masalahnya serupa, gedung gereja dianggap liar karena tidak mengantongi izin. Beruntung lagi, pemerintah berhasil mencegah massa datang, caranya Wakil Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti (sekarang jadi koruptor) menandatangani surat penutupan gereja.
Tahun 2015, ada upaya pembakaran gereja GBI Saman di Bantul. Beruntung, hal itu bisa diantisipasi sebelum api merambat. Saat saya datang ke sana, pintu gereja sudah hangus. Serangan itu merupakan buntut pengurusan izin gereja yang nyaris sukses, mengikuti SKB 2 Menteri.
Hanya nyaris sukses, karena berakhir gagal. Kelompok intoleran ekstremis, menghasut warga agar menarik tanda tangan dukungan izin pendirian gereja.
Sumber Masalah: 90 + 60
Berdasarkan SKB 2 Menteri izin pendirian rumah ibadah itu harus mendapat dukungan dari 60 warga setempat di mana bangunan rumah ibadah berada dan disahkan kepala desa.
Selain itu, paling sedikit harus ada 90 pengguna rumah ibadah dalam lingkup desa, dibuktikan dengan KTP, dan disahkan pejabat setempat.
Selain rekomendasi FKUB yang didominasi kelompok mayoritas dan pengesahan dari pejabat yang diskriminatif, dua syarat di atas adalah sumber masalah bagi kelompok agama minoritas.
Saya tidak suka menggunakan terminologi minoritas dan mayoritas, karena seharusnya di hadapan negara semua setara. Tapi secara politis, terminologi itu penting buat memahami konteks masalah.
Buat minoritas Kristen di Jawa, syarat itu rumit. Jangankan mengumpulkan 60 tanda tangan dukungan warga setempat, untuk mendapatkan 90 orang pengguna gereja dalam satu desa saja sudah rumit.
Perlu dipahami, Kristen memiliki denominasi yang sangat beragam, doktrinnya berbeda, tata ibadahnya pun juga. Sehingga untuk mendapatkan 90 pengguna gereja dengan doktrin yang sama dalam satu desa itu sulit.
Saya misalnya: warga GKJ, tinggal di Citayam. Tidak ada GKJ di Citayam. Ada dua orang yang saya kenal anggota GKJ dan tinggal di Citayam. Maka kami harus bergereja di GKJ yang ada di Depok atau Jakarta. Perjalanan ke gereja sekitar satu jam perjalanan.
Membangun GKJ di Citayam dengan 3 jemaat tidak mungkin, dalam banyak aspek. Sahabat saya yang Kristen, rumahnya beda gang, tapi dia anggota Gereja Kristen Protestan Bali, ada juga teman yang anggota HKBP.
Kalau pun jumlah kami lebih dari 90 orang tidak mungkin juga kami bikin satu gereja karena doktrinnya beda, yang satu Calvinian, yang satu Lutheran. Malah bisa ribut kalau disatukan.
Masalah pembatasan wilayah desa untuk 90 orang pengguna rumah ibadah itu cara berpikir kelompok mayoritas yang mengasumsikan semua agama lain sama, jadi bisa ditempatkan dalam satu tempat ibadah. Kenyataannya itu sulit sekali bisa terpenuhi.
Saya sempat mendengar ada satu gereja yang akhirnya bikin perumahan khusus warga jemaatnya supaya memudahkan memenuhi persyaratan 90 orang jemaat dan 60 dukungan warga, tapi itu tentu bukan solusi yang baik. Justru itu menciptakan eksklusivitas masyarakat, membangun tembok pengkotak-kotak, serta menanam bibit konflik di masa depan. Saya khawatir, tapi itu cara praktis dan masuk akal.
Itu baru urusan internal, Mas Anies. Belum urusan eksternal: 60 dukungan warga sekitar. Dalam banyak kasus meskipun dukungan 60 orang terpenuhi, namun satu orang warga saja tidak setuju, akan merembet dan jadi masalah. Belum lagi jika ada kompor kelompok intoleran.
Mas Anies mungkin lebih tahu dari saya soal kasus GBKP Pasar Minggu. Saat massa intoleran datang ke sana, saya ada di dalam gereja yang disegel itu. Penutupan GBKP Pasar Minggu terbukti tidak bisa diselesaikan oleh Mas Anies dengan meski menuruti persyaratan SKB 2 Menteri. Dukungan 60 orang warga sekitar tidak mungkin dipenuhi dengan provokasi kelompok intoleran.
Sekitar setahun lalu, saya mendatangi gereja yang pernah dibakar di Aceh Singkil untuk menulis cerita perjuangan warga gereja mendapatkan hak beribadah. Mereka kini beribadah di antara kebun-kebun sawit dengan atap terpal dan seng. Panas sekali kalau ibadah di sana.
Akar masalah di sana adalah memenuhi syarat 60 dukungan warga sekitar. Hidup di tengah-tengah mayoritas Islam, sulit sekali buat mereka mendapatkan izin pendirian gereja.
Saya bertemu dengan sejumlah pimpinan pondok pesantren dan pengurus FKUB. Sebagian progresif, mau terbuka berdialog soal kemungkinan diskresi pemberian izin, karena syarat 60 orang dukungan itu sulit didapatkan. Namun, mayoritas tetap berpegang teguh pada syarat SKB 2 Menteri.
Alat Politisasi Kepala Daerah
Sialnya, kepala daerah memilih tidak memberikan diskresi atau kebijakan yang tepat untuk masalah ini. Justru memberikan batasan jumlah gereja.
Kebijakan kepala daerah itu lumrah saja lantaran kepentingan politik lokal. Orang Indonesia nampaknya sudah memaklumi, kepentingan politik, apalagi elektoral, sudah biasa ditransaksikan dengan kelompok mayoritas. Mas Anies juga melakukan itu di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Itu membuktikan bahwa pemberian izin rumah ibadah jadi masalah kepala daerah, sehingga SKB 2 Menteri tak ubahnya pasal karet UU ITE, tergantung pada “kebijaksanaan” dalam penyelesaian sengketanya.
Betul kata Mas Anies, masalahnya ada di kepala daerah. Itulah kenapa SKB 2 Menteri perlu dicabut atau direvisi. Revisi harus menjamin tidak ada ruang politisasi di dalamnya. SKB 2 Menteri terbukti justru jadi alat para kepala daerah untuk lepas tangan dari urusan menjamin hak mendasar warga atau justru memanfaatkannya untuk kepentingan politik.
Akhir 2018, saya mendatangi sejumlah masjid dan pesantren di Manokwari untuk mendengar cerita tentang bagaimana penolakan pembangunan masjid raya di Manokwari sekaligus respons atas Raperda Manokwari Kota Injil. Saya melihat, SKB 2 Menteri jadi penghambat pembangunan masjid di sana.
Persoalannya bukan lagi soal syarat 90 umat pengguna dan dukungan 60 warga sekitar, tapi lebih kompleks: political will pejabat untuk melindungi dan menjamin hak warganya.
Ada atau tidak ada SKB 2 Menteri, suka tidak suka, pemberian izin rumah ibadah selalu jadi politis karena terkait “kepentingan” mayoritas. Dari Aceh sampai Papua substansi masalahnya sama.
Kalau ditanya, apa solusinya? Saya tidak tahu juga teknisnya, tapi yang pasti, aturan pengganti SKB 2 Menteri harus menggaransi tidak ada ruang politisasi. Misalnya menjadikan pemberian izin rumah ibadah sebagai kewajiban yang jika dilanggar pemerintah daerah, akan ada sanksi yang mengikutinya.
Saya paham, ini bola panas buat politisi di Indonesia. Tangannya bisa melepuh jika menyentuh isu ini tanpa latihan debus. Oleh karena itu kita perlu mulai latihan, dengan membiasakan diri memperbincangkan isu ini setiap ada kesempatan, dimulai dari sekarang.
(Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili organisasi mana pun.)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.