Katolikana.com, Amerika Serikat — James David (JD) Vance, sosok politisi Partai Republik yang baru saja diumumkan sebagai calon wakil presiden Donald Trump dalam Pemilu 2024, berpeluang menjadi wakil presiden kedua Amerika Serikat yang beragama Katolik.
Jika berhasil memenangkan pemilu bersama Trump, tokoh muda ini akan mengikuti jejak rivalnya dari Partai Demokrat, Joe Biden. Bersama Barack Obama, Biden pernah mencetak sejarah sebagai umat Katolik pertama yang menjabat sebagai wakil presiden di Negeri Paman Sam pada tahun 2009-2017.
Bahkan akhirnya Biden juga berhasil mengalahkan Donald Trump di Pemilu 2020 dan terpilih sebagai presiden Katolik kedua di negara adidaya tersebut, menyusul John Fitzgerald “J.F.” Kennedy yang juga pernah menduduki jabatan yang sama di dekade 1960-an.
Baca juga: Pemilu AS, Joe Biden Menang: Menjadi Presiden Katolik AS Kedua setelah John Kennedy
Ateis yang Menjadi Katolik
Masih berusia 39 tahun, Vance adalah anggota termuda kedua di Senat AS. Dia baru mulai menjabat sebagai Senator Ohio sejak tahun 2023.
Uniknya lagi, Vance bukanlah penganut Katolik dari lahir. Dia baru dibaptis dan resmi menjadi umat Katolik pada usia 35 tahun di Biara St. Gertrude’s, sebuah biara Dominikan di Cincinnati.
Dalam artikel tahun 2020 di The Lamp yang berjudul “On Mamaw and Becoming Catholic,” Vance merefleksikan pengalamannya berpindah agama sebagai sebuah proses yang terjadi “secara perlahan dan bertahap” selama beberapa tahun.
Menurut Vance, perjalanan bertahapnya menuju keyakinan tersebut terinspirasi oleh teladan dari “Mamaw”, panggilan Vance untuk neneknya tercinta. Vance menggambarkan Mamaw sebagai “seorang wanita yang memiliki keyakinan yang dalam, namun sepenuhnya tidak dilembagakan.”
Setelah tumbuh besar di rumah miskin di Appalachian, bertugas selama empat tahun di Marinir, dan mendapatkan gelar sarjana hukum dari Yale, Vance mengatakan dia menganggap dirinya seorang ateis.
Meskipun ia mampu menghadapi tantangan dari didikan sederhana dan naik pangkat dalam bidang ekonomi dan sosial, Vance mengatakan ia tidak puas dengan keadaan hidupnya. Ia pun mulai menumbuhkan kecenderungan terhadap agama Kristen, dan secara khusus pada Katolik.
“Saya mulai bertanya-tanya: Apakah semua penanda kesuksesan duniawi ini benar-benar menjadikan saya orang yang lebih baik? Saya telah menukar kebajikan dengan pencapaian dan mendapati hal tersebut kurang. Ada suara di kepala saya yang menuntut saya lebih baik,” tulisnya.
“Saya merasa sangat membutuhkan pandangan dunia yang memahami perilaku buruk kita sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan individual, struktural dan moral; yang mengakui bahwa kita adalah produk dari lingkungan kita; bahwa kita mempunyai tanggung jawab untuk mengubah lingkungan tersebut, namun kita tetaplah makhluk bermoral dengan tugas individu; salah satu yang bisa menentang meningkatnya angka perceraian dan kecanduan (narkoba), bukan sebagai kesimpulan yang bersih mengenai eksternalitas sosial yang negatif, namun dengan kemarahan moral.”
Pengaruh Mamaw
Lebih dari filsafat politik apa pun, Vance menulis bahwa ia segera menyadari bahwa pandangan dunia yang selama ini ia cari adalah pandangan yang sudah lama ia kenal: “Itu adalah kekristenan Mamaw-ku.”
“Meskipun Mamaw tidak terbiasa dengan liturgi, pengaruh budaya Roma dan Italia, serta sosok Paus yang asing, perlahan-lahan saya mulai melihat Katolik sebagai ekspresi paling dekat dari jenis kekristenan, sebuah iman yang berpusat pada Kristus yang menuntut kesempurnaan dalam diri kita bahkan sebagai seorang Kristen. Dia mencintai tanpa syarat dan mudah memaafkan,” tulisnya.
“Itu adalah bagian Katolik dari hati saya,” sebut Vance.
Nilai Kekatolikan Vance
Menurut Vance, nilai-nilai kekatolikan menuntut dia memikirkan hal-hal yang benar-benar penting. Bahwa dia memperlakukan putranya dengan sabar, mengendalikan emosinya, menghargai keluarganya di atas pendapatan dan prestisenya, dan memaafkan mereka yang salah paham terhadapnya.
“Jika saya ingin bagian diri saya terpelihara dan bertumbuh, saya perlu melakukan lebih dari sekadar sesekali membaca buku teologi atau merenungkan kekurangan saya sendiri,” katanya.
“Saya perlu lebih banyak berdoa, berpartisipasi dalam kehidupan sakramental Gereja, mengaku dosa, dan bertobat di depan umum, tanpa mempedulikan betapa canggungnya hal itu,” lanjutnya lagi.
“Dan saya membutuhkan kasih karunia. Dengan kata lain, saya perlu menjadi Katolik, bukan sekadar memikirkan (untuk menjadi Katolik),” ungkap Vance.
Dalam wawancara pada bulan November 2022 dengan “EWTN News Nightly,” Vance menggambarkan sejarah dan kekayaan iman Katolik sebagai kekuatan yang memandu politiknya, dengan mengatakan bahwa “salah satu pelajaran penting dari tradisi Katolik adalah bahwa Anda berdua memiliki kebijakan publik yang melindungi kehidupan dan juga menghormati martabat pekerja Amerika.” (*)
Sumber: Catholic News Agency
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha