Katolikana.com, Bulungan — Budaya ‘nugal’ atau ‘menugal’ merupakan tradisi menanam padi yang dikenal oleh masyarakat Dayak dan Pulau Kalimantan secara umum. Tak terkecuali juga bagi umat Stasi St. Antonius Padua, Jalai, Paroki St. Carolus, Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Umat di stasi tersebut didominasi oleh warga etnis Dayak Berusu. Mayoritas mereka juga memiliki mata pencaharian sebagai petani. Maka tradisi bertani dengan cara nugal ini telah mereka lakukan turun-temurun dan masih tetap lestari hingga saat ini.
Namun ada satu keunikan yang membuat tradisi nugal di stasi ini sedikit berbeda. Bertepatan dengan misa Peringatan Wajib Malaikat Pelindung, Rabu, (2/10/2024), umat meminta pastor untuk memberkati bibit padi yang akan mereka tanam saat nugal nanti. Perayaan ini juga sekaligus membuka bulan rosario yang jatuh saban bulan Oktober.
Tradisi Peladang
Nugal adalah merupakan tradisi bertani ala petani peladang yang berbeda dengan tradisi bertani di sawah. Istilah nugal sendiri diambil dari aktivitas melubangi tanah ladang yang akan dimanfaatkan sebagai media tanam dengan menggunakan tugal. Tugal ialah sebatang kayu yang ujung bawahnya diruncingkan. Selanjutnya, ke dalam lubang tugalan itu dimasukkan bibit-bibit padi yang telah disiapkan.
Biasanya, kaum pria yang mendapatkan tugas untuk menugal. Sementara itu, kaum wanita akan mengikuti di belakang sembari menabur bibit ke lubang tugalan. Bibit padi yang ditaburkan bukan bibit yang dibeli melainkan bibit padi dari hasil panen tahun sebelumnya yang sengaja dipilih dan disimpan untuk musim tanam tahun berikutnya. Begitu seterusnya dilakukan dari tahun ke tahun.
Pada kebiasaannya, ‘nugal’ dilakukan secara gotong royong dan bergantian. Artinya, jika hari ini sebuah keluarga ‘menugal’ maka kerabat atau warga lain turut membantu di ladang keluarga tersebut. Selanjutnya bergiliran dengan ladang keluarga lainnya.
Pengalaman Budaya
RD. Ignatius Bachtiar, pastor rekan di paroki ini, mengungkapkan jika pemberkatan bibit padi jelang pelaksanaan nugal ini adalah hal baru baginya. Terlebih dia adalah seorang imam diosesan baru yang sejatinya berasal dari Keuskupan Bogor dan tengah diperbantukan di Keuskupan Tanjung Selor. Menurutnya ini adalah pengalaman budaya yang menarik.
“Unik dan menarik. Artinya mereka mau mengingat dan melibatkan Tuhan dalam proses hidup mereka. Iman mereka benar-benar diwujudnyatakan dalam budaya. Mereka bergantung pada Tuhan dalam proses bertani ini. Sama seperti sifat anak-anak dalam Injil hari ini. (Mat. 18:3-5)”, bebernya melalui chat WhatsApp.
Romo Bachtiar juga mengungkapkan kekagumannya atas sikap kerendahan hati yang ditunjukkan umat di sana. Selain memohonkan berkat agar mendapat hasil panen yang baik, ada sebuah ungkapan iman yang diutarakan seorang umat kepadanya. “Pastor, apa yang sudah Tuhan kasih sama kita, baik juga kita kasih bakti sama Tuhan lagi,” begitu ia menirukan kalimat yang sempat dilontarkan kepadanya.
Lebih jauh, ia juga mengapresiasi kesadaran umat untuk lebih mendahulukan memohon berkat dari gereja sebelum mereka melaksanakan upacara adat jelang waktu nugal.
“Biasanya mereka akan buat (upacara) adat lebih dulu sebelum nugal. Tapi kali ini mereka maunya dapat berkat dulu dari pastor dalam perayaan ekaristi,” lanjutnya.
Ia menambahkan, “Ini luar biasa dan menunjukkan sikap penyerahan diri yang utuh kepada penyelenggaraan Tuhan.”
Teladan Iman
Budaya gotong royong dan kebersamaan masyarakat Dayak ketika ‘nugal’ adalah kearifan lokal yang masih terpelihara hingga saat ini. Hal ini bahkan sudah dilakukan sejak masa persiapan sebelum ‘nugal’. Orang-orang sekampung akan saling berbagi tugas.
Ada yang menebas (memotong dan membersihkan rumput serta semak-semak di ladang), menumbang, hingga membakar lahan. Kaum wanita biasanya bertugas mempersiapkan kebutuhan dapur dan makan minum.
Saat membakar lahan pun tidak dilakukan dengan sembarangan. Mereka harus bergantian menjaga api agar kobaran api tetap terkendali dan tidak masuk ke dalam area hutan. Abu hasil pembakaran ini nantinya akan menjadi pupuk alami bagi tanaman mereka. Pembakaran ini juga diyakini akan menjadikan tanah subur, terlebih ketika turun hujan. Masyarakat Dayak tidak mengenal pupuk buatan dalam sistem nugal.
Selain itu, tidak seperti padi sawah yang membutuhkan sistem pengairan, padi dengan sistem ‘nugal’ hanya mengandalkan turunnya hujan. Mereka benar-benar percaya dan mengandalkan suburnya hasil panen pada kondisi alam.
Bagi Romo Bactiar, ini menjadi simbol iman Katolik yang nyata. “Sebagai manusia, tugas kita hanya berusaha dan berkarya. Selebihnya kita percayakan pada penyelenggaraan Tuhan lewat anugerah dan berkat yang kita temui setiap hari. Berkat lewat setiap perjumpaan maupun pengalaman hidup yang diharapkan semakin menguatkan iman kita sebagai orang Katolik,” tuturnya.
Selain itu, sebagai orang Katolik, kita juga diharapkan mampu memupuk rasa saling berbela rasa dan solider terhadap sesama manusia, makhluk hidup lainnya, dan kepada alam. (*)
Editor: Ageng Yudhapratama
Komsos Keuskupan Tanjung Selor