Hidup Perkawinan dalam Pandangan Yesus

Bagaimana Yesus memandang pernikahan dan perceraian?

Katolikana.com — Para Ibu dan Bapak serta Saudari dan Saudara yang baik, selamat pagi. Semoga Anda beserta keluarga, sanak-saudara, teman dan sahabt dalam keadaan baik. Selamat menikmati akhir pekan untuk sejenak beristirahat dan mencecap kembali semua kebaikan Allah yang sudah dilimpahkan kepada kita selama sepekan.

Hari ini kita merayakan hari Minggu Biasa ke-27 tahun B dalam kalender liturgi. Injil (Mrk 10:2-16) berbicara tentang perceraian dan anak-anak yang diberkati oleh Yesus.
Apa kaitan antara keduanya? Apa pula maknanya bagi kita sekarang? Marilah kita renungkan bersama dengan memperhatikan beberapa catatan berikut.

Pertama, dalam hukum Taurat (lihat Ul 24:1-4), seperti orang-orang Farisi ketahui, tindakan menceraikan seorang istri memang diizinkan asal dilakukan dengan cara yang ditetapkan, yakni dengan surat cerai resmi yang dibuat oleh suami; surat tersebut diserahkan kepada dan diterima oleh istrinya. Istri yang diceraikan dengan cara ini bisa menikah lagi dengan sah, tetapi bila suami kedua ini menceraikannya atau meninggal, maka bekas suami pertama tidak boleh menikahinya kembali.

Kedua, dalam hukum tadi ada gagasan bahwa lembaga perkawinan itu keramat dan ada ketetapan yang jelas dan wajib diikuti bila ikatan tadi dilepas. Gagasan ini melandasi amatan tajam Yesus mengenai diperbolehkannya suami menceraikan istrinya.

Ketiga, menurut Yesus, hukum itu diadakan karena “ketegaran hatimu” (ay. 5), maksudnya ketidakmampuan orang mengenali keramatnya perkawinan sendiri, yakni menyatakan kesatuan yang sejak awal dikehendaki Yang Maha Kuasa antara suami dan istri. Bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari pembicaraan ini?

Keempat, pembicaraan tentang perceraian tadi berkisar pada dua tataran, yakni tataran hukum adat atau agama di satu sisi, dan di sisi lain tataran batin yang melebihi sisi-sisi yuridis tadi. Orang Farisi bergerak dengan alam pikiran hukum belaka, yakni soal diperbolehkan atau tidaknya menurut aturan hukum yang berlaku. Dalam hal itu dalam masyarakat Yahudi dulu suami memang dapat menceraikan istri, dengan persyaratan jelas tadi.

Kelima, pada tataran batin, Yesus mengajak orang untuk melihat lembaga perkawinan sebagai tanda menjalankan kemauan ilahi. Inilah yang tercermin dalam pengajaran Yesus kepada murid-murid-Nya (ay. 11-12). Ajaran Yesus kepada mereka bukan untuk membuat mereka terpancang pada huruf, melainkan agar mereka lebih berpegang pada prinsip-prinsip hidup di hadapan Allah. Gereja mengembangkan kesadaran ini dengan mengangkat perkawinan sebagai sakramen kesatuan yang dikehendaki Pencipta sendiri. Inilah yang mendasari hukum Gereja mengenai perkawinan.

Keenam, dalam hukum perkawinan adat Yahudi waktu itu, alasan terkuat untuk menceraikan istri adalah bila si istri berbuat zinah. Zinah hanya diberlakukan bagi istri. Suami yang selingkuh dengan istri orang lain tidak disebut berzinah. Jelas ada diskriminasi.

Ketujuh, hukum tentang perzinahan juga hanya berlaku dalam hubungan dengan pasangan-pasangan yang telah menikah. Orang Yahudi zaman itu juga membedakan antara percabulan dengan perzinahan. Percabulan adalah perbuatan birahi yang tidak bisa dibenarkan. Perzinahan adalah hubungan seksual yang hanya bisa dilakukan oleh seorang istri dengan lelaki yang bukan suaminya.

Kedelapan, dengan latar seperti di atas (catatan ketujuh) penegasan Yesus bahwa seorang suami berzinah terhadap perempuan yang diceraikannya kalau ia menikahi perempuan lain setelah menceraikan istrinya (ay. 11) merupakan pernyataan yang amat mengagetkan. Dengan pernyataan tersebut, Yesus memandang perempuan dan lelaki setara dalam hak dan kewajiban.

Kesembilan, pandangan Yesus bahwa seorang perempuan memiliki kesetaraan dalam hak dan kewajiban, membuat Yesus juga menegaskan bahwa bila seorang perempuan menceraikan suaminya lalu menikah lagi, maka perempuan itu bertindak zinah terhadap suaminya (ay. 12). Pernyataan bahwa istri dapat menceraikan suami pasti membuat orang kaget! Hukum agama Yahudi tidak mengenal hal ini. Sebagai guru agama Yesus memberi tafsir yang berbeda.

Kesepuluh, bagaimana Yesus sampai berpendapat demikian? Ada dua penjelasan yang saling menopang. Pertama, Yesus melihat inti warta Alkitab tentang penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Mereka diciptakan setara satu sama lain, menjadi penolong yang setara (lihat Kej 1:27 dan 2:20-23). Kedua, dalam hukum Romawi dimungkinkan adanya kesetaraan dalam hak menceraikan dari kedua pihak, baik suami maupun istri. Orang Yahudi waktu itu dibawahkan pada hukum Romawi, meskipun mereka bisa menentukan sendiri dalam perkara adat, termasuk ikatan perkawinan. Pada zaman generasi kedua, pelaksanaan hukum Romawi semakin umum sedangkan hukum Taurat menjadi hukum adat setempat.

Kesebelas, bobot alasan menceraikan istri dapat bermacam-macam. Ada kelompok ahli hukum zaman itu yang mengajarkan bahwa hanya perbuatan zinah dengan lelaki lain atau ketidaknormalan birahi lain yang dapat menjadi alasan. Aliran lain menghalalkan kesalahan kecil, misalnya seorang istri tidak bisa menghidangkan makanan yang cocok dengan selera suaminya, atau istri tidak selalu tunduk kepada suaminya. Bagaimanapun juga, di kalangan Yahudi waktu itu kedudukan perempuan sebagai istri tidak dianggap setara dengan lelaki yang menjadi suaminya.

Keduabelas, orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus mengikuti paham kesetaraan antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Dengan demikian, mereka berseberangan pendapat dan penghayatan dengan orang-orang Yahudi tradisional. Untuk mengambil manfaat dari petikan ini perlu disepakati dulu beberapa hal:

  1. Pertama, persoalan yang dibicarakan dalam Injil ini adalah soal hukum agama Yahudi pada zaman Yesus. Bukan perkara hukum Gereja sekarang. Jadi tidak bisa diterapkan begitu saja pada peraturan perkawinan dalam Gereja maupun pemecahan masalah kehidupan rumah tangga orang Katolik di masa kini.
  2. Kedua, di kalangan pengikut Yesus, yang tercermin dalam Injil Markus, juga terdapat orang-orang yang bukan dari kalangan Yahudi sehingga adat kebiasaan serta hukum Yahudi tidak bisa diberlakukan bagi mereka. Dalam masyarakat yang lebih luas daripada masyarakat Yahudi ini, perempuan bisa pula menceraikan suaminya. Lagi pula, suami akan dianggap menyalahi kontrak pernikahan bila berselingkuh. Jadi prinsip moral dari kalangan lebih luas, misalnya masyarakat Romawi waktu itu, juga mendasari pembicaraan dalam Injil ini.
  3. Ketiga adalah prinsip teologis yang mendasari pendapat Yesus. Prinsip ini adalah maksud Pencipta dalam menjadikan lelaki dan perempuan, yakni agar mereka bersatu dan janganlah hubungan yang dikehendaki Pencipta dipisahkan (ay. 6-9). Inilah prinsip yang paling penting untuk memahami Injil hari ini.
  4. Keempat, Yesus adalah seorang tokoh agama yang dikenal dan dihormati juga dalam masyarakat Yahudi waktu itu. Perdebatan antara orang-orang Farisi dengan Yesus, yang sering dilaporkan dalam Injil, adalah kejadian yang lazim di antara para guru dan ahli agama. Perdebatan semacam itu bukan ditujukan untuk memecahkan sebuah kasus kongkret, melainkan untuk mempertajam permasalahannya dan mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai suatu masalah.

Ketigabelas, apa kaitan antara pembicaraan tentang perceraian dengan tindakan Yesus memberkati anak-anak yang dibawa kepada-Nya (Mrk 10:13-16)? Hanya dengan ketulusan dan keluguan seperti anak-anaklah orang dapat memasuki Kerajaan Allah (ay. 15). Begitu pula hubungan suami-istri dapat menunjukkan yang dikehendaki Pencipta—yakni menjadi penolong yang setara bagi satu sama lain dan karenanya relasi mereka tidak dapat dipisahka—bila dijalani dengan sikap tulus dan lugu seperti anak-anak.

Injil yang kita renungkan ini menampilkan kekeramatan (kesucian) ikatan suami-istri dalam hidup perkawinan. Kesucian tersebut akan tampil bukan sebagai ikatan hukum semata-mata, melainkan sebagai cara hidup yang dapat membuat ikatan antarmanusia (laki-laki dan perempuan) sebagai tanda kehadiran Allah. Sekaligus hendak disampaikan bahwa sikap lugu dan tulus seperti anak-anak mendatangkan berkat; dan berkat inilah yang menjaga kelanggengan hubungan suami-istri.

Teriring salam dan doa.

 

Penulis: Romo Ignatius Loyola Madya Utama, SJdosen Seminari Tinggi Santo Petrus, Sinaksak—Pematang Siantar, dan pendiri Gerakan Solidaritas untuk Anak-anak Miskin

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Renungan Mingguan
Comments (2)
Add Comment
  • Robertus agung

    Luar biasa sangat membantu memperluas wawasan tentang Katolik

  • Robertus agung

    Luar biasa sangat membantu memperluas wawasan tentang Iman