Beragama Saja Tidak Cukup

Bagaimana caranya masuk ke dalam Kerajaan Allah? Beragama saja tidak cukup!

Katolikana.com — Para Ibu dan Bapak serta Saudari dan Saudara yang baik, selamat siang. Semoga Anda berserta keluarga dan sanak-saudara, serta teman dan sahabat dalam keadaan baik. Selamat menikmati akhir pekan untuk sejenak beristirahat dan mencecap kembali semua anugerah yang sudah dilimpahkan kepada kita selama pekan ini.

Hari ini kita merayakan hari Minggu ke-28 tahun B dalam kalender liturgi. Bacaan Injil (Mrk 10:17-27) yang kita dengarkan dalam Perayaan Ekaristi berbicara tentang bagaimana “memperoleh hidup yang kekal” (ay. 17b) dan bagaimana “memperoleh kesempurnaan” (Mat 19:21a) [(“memiliki harta di surga” – ay. 21b) atau “masuk ke dalam Kerajaan Allah” (ay. 25)].

Apa maknanya bagi kita sekarang? Marilah kita renungkan bersama dengan memperhatikan beberapa catatan berikut.

Pertama, untuk “mendapatkan hidup kekal” (ay. 17) orang perlu “melakukan perintah-perintah agama”, yakni jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, jangan menipu, dan menghormati orang tua (ay. 19). Pandangan seperti inilah yang dipegang oleh banyak orang: berbuat baik supaya memperoleh keselamatan.

Kedua, sikap beragama yang tulus (lihat catatan pertama) dapat membawa orang ke hidup kekal (=selamat) dan membukakan “dimensi keramat” dalam kehidupannya, tetapi belum membawa orang betul-betul merasakan betapa nikmatnya tinggal bersama-Nya (“sempurna”, “memiliki harta di surga”, “masuk ke dalam Kerajaan Allah”).

Ketiga, untuk dapat “sempurna” (bdk. Mat 19:21a) atau “memiliki harta di surga” atau “masuk ke dalam Kerajaan Allah” orang perlu mengamalkan kekayaannya bagi kaum papa lalu mengikuti-Nya (ay. 21). Inilah undangan Yesus terhadap orang kaya yang menemui diri-Nya: untuk tidak puas dengan sekedar menjalani hidup beragama, melainkan berani melangkah maju dengan mengikuti Dia (ay. 21).

Keempat, Mazmur 15 kiranya dapat membantu kita memahami hal ini. Dalam ay. 1 pemazmur bertanya: siapa yang boleh menumpang dalam kemah Tuhan, siapa yang boleh tinggal di gunung-Nya yang kudus. Dengan kata lain, siapa yang boleh “tinggal bersama Tuhan”. Ayat 2 s/d 5 menyebutkan macam-macam perilaku yang menjadi petunjuk jalan masuk ke kediaman Tuhan. Semuanya termasuk “sikap beragama” yang terarah menuju ke kesempurnaan rohani, yakni “tinggal bersama Tuhan di kediaman-Nya”.

Kelima, pertanyaan pada awal Mazmur 15 nadanya mirip dengan pertanyaan orang kaya yang datang kepada Yesus dalam Mrk 10:17, namun titik tolaknya amat berbeda. Penulis Mazmur ingin tahu bagaimana caranya agar orang bisa ”berada bersama dengan Tuhan” karena inilah kepuasannya. Tetapi orang yang menemui Yesus tadi mencari kepastian bagaimana bisa menikmati hidup kekal. Baginya berada dengan Tuhan, “mengikuti Yesus” Mrk 10:21, bukan sumber kepuasannya! Anehnya, jalan yang ditempuh sang pemazmur 15 dan orang dalam Mrk 10:17-27 praktis sama.

Keenam, semua perbuatan baik itu termasuk kesungguhan hidup beragama. Namun, perbuatan baik yang sama dapat membawa orang ke dua arah yang amat berbeda satu sama lain. Yang satu ke “kepuasan atau kesempurnaan rohani”, yakni “tinggal bersama Tuhan” (ay. 20: “memiliki harta di surga” dan “mengikuti Dia”, dan ay. 24: “masuk ke dalam Kerajaan Allah”), sedangkan yang lain ke kemuraman, ke rasa pilu karena tidak mampu mengikuti Tuhan (ay. 22).

Ketujuh, untuk “menjadi sempurna” (Mat 19:21a), “tinggal bersama Tuhan” memang tidak mudah. Hal itu diungkapkan oleh Yesus dengan terus terang (ay. 23 dan 25). Bagaimana memahami kata “unta” dan “lubang jarum” dalam ay. 25? Seringkali kata “unta” (Yunani: “kamelos”; Arab: “jamal”) dipertukarkan dengan kata “tali” (Yunani: “kamilos”, artinya tali, kabel, seperti tali jemuran; Arab: “jumal”, artinya tali penambat perahu). Dengan mempertukarkan dua kata itu, “unta memasuki lubang jarung” diganti dengan “memasukkan tali ke lubang pada tiang tambatan perahu, yang diibaratkan lubang jarum.”

Kedelapan, namun bukan itulah (kalimat terakhir dalam catatan ketujuh) yang dimaksudkan oleh Yesus. Perumpamaan dalam ay. 25 itu perlu dikaitkan dengan ay. 27: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi tidak demikian bagi Allah. Sebab, segala sesuatu mungkin bagi Allah.” Maksudnya, perumpamaan dalam ay. 25 itu dimaksudkan oleh oleh Yesus sebagai sebuah kiasan untuk membuat orang makin menyadari bahwa kesempurnaan (bersatu dengan Allah) mustahil dicapai oleh manusia dengan upaya sendiri. Kesempurnaan adalah karya Allah bagi manusia; karya ilahi di dalam diri manusia.

Kesembilan, kaidah-kaidah moral yang disebut Yesus dalam Mrk 10:19 yakni “jangan membunuh, jangan berzinah, dst. hingga hormatilah ayah dan ibumu” muncul dalam Mat 19:19 dengan tambahan “dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Bagaimana hal ini perlu kita pahami?

Kesepuluh, kalau frasa “seperti dirimu sendiri” menjelaskan kata “kasihilah”, maka kita diajak untuk mengasihi orang lain dengan cara seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tetapi kalau “seperti dirimu sendiri” dipakai untuk menjelaskan kata “sesamamu”, maka kita diminta untuk mengasihi sesama, yang nasibnya seperti kita-kita ini. Dengan kata lain, kita diminta agar solider dengan orang lain, kita diajak untuk peduli terhadap orang lain yang senasib. Mana pemahaman yang benar?

Kesebelas, menurut cara bicara Ibrani atau Aram (dan Yunani Kitab Suci Perjanjian Baru), “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” sebaiknya dimengerti sebagai ajakan agar kita mengasihi sesama yang memiliki “keserupaan nasib” dengan kita, dengan segala kendala hidup dan hasrat serta cita-cita yang ada; bukan agar kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti kita memperlakukan diri kita sendiri.

Keduabelas, tambahan frasa dalam Mat 19:19 (lihat catatan kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas) itu justru dapat memberi ulasan lebih jauh mengenai serangkaian hukum yang menjamin hidup kekal dalam Mrk 10:19. Oleh penginjil Matius serangkaian hukum itu dipaparkan bukan sebagai kewajiban-kewajiban belaka, melainkan sebagai kepedulian yang mendalam terhadap orang lain yang senasib sepenanggungan dengan kita, entah mereka itu ayah-ibu, mitra bisnis, lawan beperkara, istri, suami, anak, atau pemilik barang-barang yang menggiurkan. Menumbuhkan kepedulian seperti ini menjadi jalan menuju hidup kekal.

Merenungkan Injil ini membantu kita untuk menyadari bahwa “sikap hidup beragama” (= giat dalam kehidupan menggereja, berkomunitas, membudayakan agama, menjadi agamais, membantu orang lain agar hidupnya lebih bermartabat, berusaha agar semua bentuk hak asasi diwujudkan, merawat bumi sebagai “rumah kita bersama” dan tempat Allah hadir untuk menjumpai umat-Nya, dsb.) yang dihayati bukan hanya sebagai memenuhi kewajiban hukum dan mencari popularitas pribadi, melainkan sebagai wujud kepedulian terhadap orang lain yang senasib dan sepenanggungan dengan kita, akan membawa kita baik kepada kehidupan kekal (keselamatan) maupun kesempurnaan (kesatuan kita dengan Allah di rumah-Nya).

Teriring salam dan doa.

 

Penulis: Romo Ignatius Loyola Madya Utama, SJdosen Seminari Tinggi Santo Petrus, Sinaksak—Pematang Siantar, dan pendiri Gerakan Solidaritas untuk Anak-anak Miskin

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Renungan Mingguan
Comments (0)
Add Comment